Shalat tarawih adalah bagian dari shalat nafilah
(tathawwu’). Mengerjakannya disunnahkan secara berjama’ah pada bulan Ramadhan,
dan sunnah muakkadah. Disebut tarawih, karena setiap selesai dari empat rakaat,
para jama’ah duduk untuk istirahat.
Tarawih adalah bentuk jama’ dari tarwihah. Menurut
bahasa berarti jalsah (duduk). Kemudian duduk pada bulan Ramadhan setelah
selesai dari empat raka’at disebut tarwihah; karena dengan duduk itu,
orang-orang bisa istirahat dari lamanya melaksanakan qiyam Ramadhan.
Bahkan para salaf bertumpu pada tongkat, karena
terlalu lamanya berdiri. Dari situ,kemudian setiap empat raka’at, disebut
tarwihah, dan kesemuanya disebut tarawih secara majaz.
Aisyah Radhiyallahu anhuma ditanya: “Bagaimana
shalat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan?” Dia menjawab,
“Beliau tidak pemah menambah -di Ramadhan atau di luarnya- lebih dari 11
raka’at. Beliau shalat empat rakaat, maka jangan ditanya tentang bagusnya dan
lamanya. Kemudian beliau shalat 3 raka’at.” [HR Bukhari]
.
Kata ثم (kemudian), adalah kata penghubung yang memberikan makna berurutan, dan adanya jeda waktu.
.
Kata ثم (kemudian), adalah kata penghubung yang memberikan makna berurutan, dan adanya jeda waktu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat
empat raka’at dengan dua kali salam, kemudian beristirahat. Hal ini berdasarkan
keterangan Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Adalah Rasulullah melakukan shalat pada
waktu setelah selesainya shalat Isya’, hingga waktu fajar, sebanyak 11 raka’at,
mengucapkan salam pada setiap dua raka’at, dan melakukan witir dengan
saturaka’at.” [HR Muslim].
Juga berdasarkan keterangan Ibn Umar Radhiyallahu
anhuma, bahwa seseorang bertanya, “Wahai
Rasulullah,bagaimana shalat malam itu?”
Beliau menjawab,
مَشْنَى مَشْنَى فَإِذَا
خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِِرْ بِوَا حِدَةِ
“Yaitu dua raka’at-dua raka’at, maka apabila kamu
khawatir (masuk waktu) shubuh, berwitirlah dengan satu raka’at. [HR Bukhari]
Dalam hadits Ibn Umar yang lain disebutkan:
صَلاَةُ
الَّيْلِ وَالنَّهَارِ رَكْعَتَانِ رَكْعَتَانِ
“Shalat malam dan siang dua raka’at-dua raka’at”.
[HR Ibn Abi Syaibah. Ash Shalah, 309; At Tamhid, 5/251; Al Hawadits, 140-143;
Fathul Bari, 4/250; Al Ijabat Al Bahiyyah,18; Al Muntaqa,4/49-51]
FADHILAH SHALAT TARAWIH
1.Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
مَنْ قَامَ
رَمَضَانَ اِيْمَانَا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْذنْبِه
“Barang siapa melakukan qiyam (lail) pada bulan
Ramadhan, karena iman dan mencari pahala, maka diampuni untuknya apa yang telah
lalu dari dosanya.”
Maksud qiyam Ramadhan, secara khusus, menurut Imam
Nawawi adalah shalat tarawih. Hadits ini memberitahukan, bahwa shalat tarawih
itu bisa mendatangkan maghfirah dan bisa menggugurkan semua dosa; tetapi dengan
syarat karena bermotifkan iman; membenarkan pahala-pahala yang dijanjikan oleh
Allah dan mencari pahala tersebut dari Allah. Bukan karena riya’ atau sekedar
adat kebiasaan. [Fathul Bari 4/251; Tanbihul Ghafilin 357-458; Majalis
Ramadhan, 58; AtTamhid, 3/320; AI Ijabat Al Bahiyyah, 6]
Hadits ini dipahami oleh para salafush shaalih,
termasuk oleh Abu Hurairah sebagai anjuran yang kuat dari Rasulullah untuk
melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih, tahajud, dan lain-lain). [At Tamhid,
3/311-317: Sunan Abi Daud, 166]
2. Hadits Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu anhu,
إِِنَّ
رَمَضَانَ شَهْرٌ فَرَضَ اللَّهُ صِيَامَهُ وَإِنِّي سَنَنْتُ لِلْمُسلِمِيْنَ
قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِعيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنَْ
الذُّنُوبْ كَيَوْم وَلَدَتْهُ أُمُّه
“Sesungguhnya Ramadhan adalah bulan dimana Allah
mewajibkan puasanya, dan sesungguhnya aku menyunnahkan qiyamnya untuk
orang-orang Islam. Maka barang siapa berpuasa Ramadhan dan qiyam Ramadhan
karena iman dan mencari pahala, maka ia (pasti) keluar dari dosa-dosanya
sebagaimana pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.(HR : Ahmad, Ibnu Majah. Al
Bazzar, Abu Ya’la dan Abdur Razzaqmeriwayatkannya dari Abu Hurairah.)
Al Albani berkata, “Yang shahih hanya kalimat yang
kedua saja, yang awal dha’if.”[Lihat Sunan lbn Majah, 146,147; AlIjabat Al
Bahiyyah, 8-10]
3. Hadits Abu Dzar Radhiyallahu anhu,
مَنْ قَامَ
مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَة
“Barang siapa qiyamul lail bersama imam sampai ia
selesai, maka ditulis untuknya (pahala) qiyam satu malam (penuh).” [HR Ahmad,
Abu Daud, Tirmidzi, Ibn Majah, Nasa’i, dan lain-lain, Hadits shahih. Lihat Al
ljabat Al Bahiyyah, 7]
Hadits ini sekaligus juga memberikan anjuran, agar
melakukan shalat tarawih secara berjamaah dan mengikuti imam hingga selesai.
Ada sebagian orang berpendapat,shalat Tarawih
berjama’ah baru dikerjakan pada zaman khalifah Umar binKhaththab. Benarkah
demikian? Mari kita tengok sejarah melalui hadits-hadits serta riwayat-riwayat
shahih apa yang terjadi pada zaman Nabi dan bagaimana yang terjadi pada masa Khulafa’ur
Rasyidin.
SHALAT TARAWIH PADA ZAMAN NABI SHALLALLAHU ALAIHI
WA SALLAM
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan dan memimpin shalat tarawih. Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan fadhilahnya, dan menyetujui jama’ah tarawih yang dipimpin oleh sahabat Ubay bin Ka’ab. Berikut ini adalah dalil-dalil yang menjelaskan, bahwa shalat tarawih secara berjama’ah disunnahkan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan dilakukan secara khusyu’ dengan bacaan yang panjang.
1.
Hadits Nu’man bin
Basyir, Radhiyallahu anhu : Ia berkata: “Kami melaksanakan qiyamul lail
(tarawih) bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam 23 bulan
Ramadhan, sampai sepertiga malam. Kemudian kami shalat lagi bersama beliau pada
malam 25 Ramadhan (berakhir) sampai separoh malam. Kemudian beliau memimpin
lagi pada malam 27 Ramadhan sampai kami menyangka tidak akan sempat mendapati
sahur.” [HR. Nasa’i, Ahmad, Al Hakim. Shahih]
2.
Hadits Abu Dzar
Radhiyallahu anhu : Ia berkata: “Kami puasa, tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak memimpin kami untuk melakukan shalat (tarawih), hingga Ramadhan
tinggal tujuh hari lagi, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengimami kami shalat, sampai lewat sepertiga malam. Kemudian beliau tidak
keluar lagi pada malam ke enam. Dan pada malam ke lima,beliau memimpin shalat
lagi sampai lewat separoh malam. Lalu kami berkata kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Seandainya engkau menambah lagi untuk kami sisa
malam kita ini?’, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersada,
3.
مَنْ قَامَ مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ
لَيْلَة
Barang siapa shalat
(tarawih) bersama imam sampai selesai. maka ditulis untuknya shalat satu malam
(suntuk).’
Kemudian beliau ٍShallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memimpin shalat
lagi, hingga Ramadhan tinggal tiga hari. Maka beliau memimpin kami shalat pada
malam ketiga. Beliau mengajak keluarga dan istrinya. Beliau mengimami sampai
kami khawatir tidak mendapat falah. saya (perawi) bertanya, apa itu falah? Dia
(Abu Dzar) berkata, “Sahur.”[HR Nasai, Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Daud, Ahmad.
Shahih]
3
Tsa’labah bin Abi
Malik Al Qurazhi Radhiyallahu anhu berkata: “Pada suatu malam, di malam
Ramadhan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah, kemudian
beliau melihat sekumpulan orang disebuah pojok masjid sedang melaksanakan
shalat. Beliau lalu bertanya, ‘Apa yang sedang mereka lakukan?’ Seseorang
menjawab, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak
membaca Al Qur’an, sedang Ubay bin Ka’ab ahli membaca Al Qur’an, maka mereka
shalat (ma’mum) dengan shalatnya Ubay.’ Beliau lalu bersabda,
قَدْ
أَحْسَنُوْا وَقَدْ أَصَابُوْا
‘Mereka telah berbuat baik dan telah berbuat
benar.’ Beliau tidak membencinya.”[HR Abu Daud dan Al Baihaqi, ia berkata:
Mursal hasan. Syaikh Al Albani berkata, “Telah diriwayatkan secara mursal dari
jalan lain dari Abu Hurairah,dengan sanad yang tidak bermasalah (bisa
diterima).”. [Shalat At Tarawih, 9]
SHALAT TARAWIH PADA ZAMAN KHULAFA’UR RASYIDIN
1.
Para sahabat Rasulullah,
shalat tarawih di masjid Nabawi pada malam-malam Ramadhan secara awza’an
(berpencar-pencar). Orang yang bisa membaca Al Qur’an ada yang mengimami 5
orang, ada yang 6 orang, ada yang lebih sedikit dari itu, dan ada yang lebih
banyak. Az Zuhri berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
wafat, orang-orang shalat tarawih dengan cara seperti itu. Kemudian pada masa
Abu Bakar, caranya tetap seperti itu; begitu pula awal khalifah Umar.”
2.
Abdurrahman bin Abdul
Qari’ berkata, “Saya keluar ke masjid bersama Umar Radhiyallahu anhu pada bulan
Ramadhan. Ketika itu orang-orang berpencaran; ada yang shalat sendirian, dan
ada yang shalat dengan jama’ah yang kecil (kurang dari sepuluh orang). Umar
berkata, ‘Demi Allah, saya melihat (berpandangan),seandainya mereka saya
satukan di belakang satu imam, tentu lebih utama,’ Kemudian beliau bertekad dan
mengumpulkan mereka di bawah pimpinan Ubay bin Ka’ab. Kemudian saya keluar lagi
bersama beliau pada malam lain. Ketika itu orang-orang sedang shalat di belakang
imam mereka. Maka Umar Radhiyallahu anhu berkata,’Ini adalah sebaik-baik hal
baru.’ Dan shalat akhir malam nanti lebih utama dari shalat yang mereka
kerjakan sekarang.” Peristiwa ini terjadi pada tahun 14H.
3.
Umar Radhiyallahu anhu
mengundang para qari’ pada bulan Ramadhan, lalu memberi perintah kepada mereka
agar yang paling cepat bacaanya membaca 30 ayat (+/- 3 halaman), dan yang
sedang agar membaca 25 ayat,adapun yang pelan membaca 20 ayat (+ 2 halaman).
4.
Al A’raj (seorang
tabi’in Madinah,wafat 117 H) berkata, ;”Kami tidak mendapati orang-orang,
melainkan mereka sudah melaknat orang kafir (dalam do’a) pada bulan Ramadhan.”
la berkata, “Sang qari’ (imam) membaca ayat Al Baqarah dalam 8 raka’at. Jika ia
telah memimpin 12 raka’at, (maka) barulah orang-orang merasa kalau imam
meringankan.”
5.
Abdullah bin Abi Bakr
berkata, “Saya mendengar bapak saya berkata,’Kami sedang pulang dari shalat
(tarawih) pada malam Ramadhan. Kami menyuruh pelayan agar cepat-cepat
menyiapkan makanan, karena takut tidak mendapat sahur’. ”
6.
Saib bin Yazid
rahimahullah (Wafat 91 H) berkata, “Umar Radhiyallahu anhu memerintah Ubay bin
Ka’ab dan Tamim Ad Dari Radhiyallahu anhuma agar memimpin shalat tarawih pada
bulan Ramadhan dengan 11 raka’at. Maka sang qari’ membaca dengan ratusan ayat, hingga
kita bersandar pada tongkat karena sangat lamanya berdiri. Maka kami tidak
pulang dari tarawih, melainkan sudah di ujung fajar.” [Fathul Bari, 4/250-254;
Shalat At Tarawih, 11; Al ljabat Al Bahiyyah,15-18; Al Majmu’, 4/34]
BILANGAN RAKA’AT SHALAT TARAWIH DAN SHALAT WITIR
Mengenai masalah ini, diantara para ulama salaf terdapat perselisihan yang cukup banyak (variasinya) hingga mencapai belasan pendapat, sebagaimana di bawah ini.
1.
Sebelas raka’at (8 + 3
Witir),riwayat Malik dan Said bin Manshur.
2.
Tiga belas raka’at (2
raka’atringan + 8 + 3 Witir), riwayat Ibnu Nashr dan Ibnu Ishaq, atau (8 + 3 +
2),atau (8 + 5) menurut riwayat Muslim.
3.
Sembilan belas raka’at
(16 + 3).
4.
Dua puluh satu raka’at
(20 + 1),riwayat Abdurrazzaq.
5.
Dua puluh tiga raka’at
(20 + 3),riwayat Malik, Ibn Nashr dan Al Baihaqi. Demikian ini adalah madzhab
Abu Hanifah,Syafi’i, Ats Tsauri, Ahmad, Abu Daud dan Ibnul Mubarak.
6.
Dua puluh sembilan
raka’at (28 +1).
7.
Tiga puluh sembilan
raka’at (36 +3), Madzhab Maliki, atau (38 + 1).
8.
Empat puluh satu
raka’at (38 +3), riwayat Ibn Nashr dari persaksian Shalih Mawla Al Tau’amah
tentang shalatnya penduduk Madinah, atau (36 + 5) seperti dalam Al Mughni
2/167.
9.
Empatpuluh sembilan
raka’at (40 +9); 40 tanpa witir adalah riwayat dari Al Aswad Ibn Yazid.
10.
Tiga puluh empat
raka’at tanpa witir (di Basrah, Iraq).
11.
Dua puluh empat
raka’at tanpa witir (dari Said Ibn Jubair).
12.
Enam belas raka’at
tanpa witir.
BERAPA RAKA’AT TARAWIH RASULULLAH SHALLALLAHU
A’ALAIHI WA SALLAM ?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan dan memimpin shalat
tarawih, terdiri dari sebelas raka’at (8 +3). Dalilnya sebagai berikut.
1.
Hadits Aisyah
Radhiyallahu anhuma : ia ditanya oleh Abu Salamah Abdur Rahman tentang qiyamul
lailnya Rasul pada bulan Ramadhan, ia menjawab:
إنَّهُ كَانَ لاَ يَزِيْدُ فِي
رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ
“Sesungguhnya beliau tidak pernah menambah pada
bulan Ramadhan, atau pada bulan lainnya. lebih dari sebelas raka’at. [HR
Bukhari, Muslim]
Ibn Hajar berkata, “Jelas sekali, bahwa hadits ini
menunjukkan shalatnya Rasul (adalah) sama semua di sepanjang tahun.”
2.
Hadits Jabir bin
Abdillah Radhiyallahu anhu ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam shalat dengan kami pada bulan Ramadhan 8 raka’at dan witir. Ketika malam
berikutnya, kami berkumpul di masjid dengan harapan beliau shalat dengan kami.
Maka kami terus berada di masjid hingga pagi, kemudian kami masuk bertanya, “Ya
Rasulullah, tadi malam kami berkumpul di masjid, berharap anda shalat bersama
kami,” maka beliau bersabda, “Sesungguhnya aku khawatir diwajibkan atas kalian.
“[HR Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah, dihasankan oleh Al Albani.
ShalatAt Tarawih, 18; Fath Al Aziz 4/265]
3.
Pengakuan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang 8 raka’atdan 3 witir. Ubay bin Ka’ab datang
kepada Rasulullah, lalu berkata,”Ya Rasulullah, ada sesuatu yang saya kerjakan
tadi malam (Ramadhan). Beliau bertanya,”Apa itu, wahai Ubay?” Ia menjawab,”Para
wanita di rumahku berkata,’Sesungguhnya kami ini tidak membaca Al Qur’an.
Bagaimana kalau kami shalat dengan shalatmu?’ Ia berkata,”Maka saya shalat
dengan mereka 8 raka’at dan witir. Maka hal itu menjadi sunnah yang diridhai.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan apa-apa.”[HR Abu Ya’la,
Thabrani dan Ibn Nashr, dihasankan oleh Al Haitsami dan Al Albani. Lihat Shalat
At-Tarawih, 68].
Adapun hadits-hadits yang menjelaskan bahwa
Rasulullah shalat tarawih dengan 20 raka’at, maka haditsnya tidak ada yang
shahih. [Fathul Bari, 4/254; Al Hawi. 1/413; Al Fatawa Al Haditsiyah, 1.195:
ShalatAt Tarawih, 19-21]
BERAPA RAKAAT TARAWIH SAHABAT DAN TABIIN PADA MASA
UMAR RADHIYALLAHU ANHU?
Ada beberapa riwayat shahih tentang bilangan raka’at shalat tarawih para
sahabat pada zaman Umar Radhiyallahu anhu . Yaitu: 11 raka’at, 13 raka’at, 21
raka’at, dan 23 raka’at. Kemudian 39 raka’at juga shahih, pada masa Khulafaur
Rasyidin setelah Umar; tetapi hal ini khusus di Madinah. Berikut keterangan
pada masa Umar
1.
Sebelas raka’at.
Umar Radhiyallahu anhu memerintahkan kepada Ubay danTamim Ad Dari Radhiyallahu anhuma untuk shalat 11 raka’at. Mereka membaca ratusan ayat, sampai makmum bersandar pada tongkat karena kelamaan dan selesai hampir Subuh. Demikian ini riwayat Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib Ibn Yazid. Imam Suyuthi dan Imam Subkhi menilai, bahwa hadits ini sangat shahih. Syaikh Al Albani juga menilai, bahwa hadits ini shahih sekali.
Umar Radhiyallahu anhu memerintahkan kepada Ubay danTamim Ad Dari Radhiyallahu anhuma untuk shalat 11 raka’at. Mereka membaca ratusan ayat, sampai makmum bersandar pada tongkat karena kelamaan dan selesai hampir Subuh. Demikian ini riwayat Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib Ibn Yazid. Imam Suyuthi dan Imam Subkhi menilai, bahwa hadits ini sangat shahih. Syaikh Al Albani juga menilai, bahwa hadits ini shahih sekali.
2.
Tiga belas raka’at.
Semua perawi dari Muhammd Ibn Yusuf mengatakan 11 raka’at, kecuali Muhammad Ibn Ishaq. Ia berkata 13 raka’at (HR Ibn Nashr), akan tetapi hadits ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah yang mengatakan 11 raka’at. Hal ini bisa dipahami, bahwa termasuk dalam bilangan itu ialah 2 raka’at shalat Fajar, atau 2 raka’at pemula yang ringan, atau 8 raka’at ditambah 5 raka’at Witir.
Semua perawi dari Muhammd Ibn Yusuf mengatakan 11 raka’at, kecuali Muhammad Ibn Ishaq. Ia berkata 13 raka’at (HR Ibn Nashr), akan tetapi hadits ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah yang mengatakan 11 raka’at. Hal ini bisa dipahami, bahwa termasuk dalam bilangan itu ialah 2 raka’at shalat Fajar, atau 2 raka’at pemula yang ringan, atau 8 raka’at ditambah 5 raka’at Witir.
3.
Dua puluh raka’at
(ditambah 1 atau 3 raka’at Witir).
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Muhammad Ibn Yusuf dengan lafadz “21 raka’at” (sanad shahih). Al Baihaqi dalam As Sunan dan Al Firyabi dalam Ash Shiyam meriwayatkan dari jalur Yazid Ibn Khushaifah dari SaibIbn Yazid, bahwa mereka- pada zaman Umar di bulan Ramadhan shalat tarawih 20 raka’at. Mereka membaca ratusan ayat, dan bertumpu ‘pada tongkat pada zaman Utsman, karena terlalu lama berdiri.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Muhammad Ibn Yusuf dengan lafadz “21 raka’at” (sanad shahih). Al Baihaqi dalam As Sunan dan Al Firyabi dalam Ash Shiyam meriwayatkan dari jalur Yazid Ibn Khushaifah dari SaibIbn Yazid, bahwa mereka- pada zaman Umar di bulan Ramadhan shalat tarawih 20 raka’at. Mereka membaca ratusan ayat, dan bertumpu ‘pada tongkat pada zaman Utsman, karena terlalu lama berdiri.
Riwayat ini dishahihkan oleh Imam Al Nawawi, Al
Zaila’i, Al Aini, Ibn Al Iraqi, Al Subkhi, As Suyuthi, Syaikh Abdul Aziz bin
Bazz, dan lain-lain.
Sementara itu Syaikh Al Albani menganggap, bahwa
dua riwayat ini bertentangan dengan riwayat sebelumnya, tidak bisa dijama’
(digabungkan). Maka beliau memakai metode tarjih (memilih riwayat yang shahih
dan meninggalkan yang lain). Beliau menyatakan, bahwa Muhammad Ibn Yusuf perawi
yang tsiqah tsabit (sangat terpercaya), telah meriwayatkan dari Saib Ibn Yazid
11 raka’at. Sedangkan Ibn Khushaifah yang hanya pada peringkat tsiqah
(terpercaya) meriwayatkan 21 raka’at. Sehingga hadits Ibn Khushaifah ini
-menurut beliau-adalah syadz (asing, menyalahi hadits yang lebih shahih). [Al
Majmu’, 4/32; Shalat At Tarawih, 46; Al Ijabat Al Bahiyyah. 16-18]
Perlu diketahui, selain Ibn Khushaifah tadi, ada
perawi lain, yaitu Al Harits Ibn Abdurrahman Ibn Abi Dzubab yang meriwayatkan
dari Saib Ibn Yazid, bahwa shalat tarawih pada masa Umar 23raka’at. [HR
Abdurrazzaq. Lihat At Tamhid 3/518-519]
Selanjutnya 23 raka’at diriwayatkan juga dari
Yazid Ibn Ruman secara mursal, karena ia tidak menjumpai zaman Umar.
Yazid Ibn Ruman adalah mawla (mantan budak)
sahabat Zubair Ibn Al Awam (36 H), ia salah seorang qurra’ Madinah yang tsiqat
tsabit (meninggal pada tahun 120 atau130 H). Ia memberi pernyataan, bahwa
masyarakat (Madinah) pada zaman Umar telah melakukan qiyam Ramadhan dengan
bilangan 23 raka’at. [HR Malik, Al Firyabi, Ibn Nashr dan Al Baihaqi. Lihat
Shalat At Tarawih,53; Al Ijabat Al Bahiyyah, 16; At Tamhid, 9/332, 519; Al
Hawadits, 141]
BAGAIMANA JALAN KELUARNYA?
Jumhur ulama mendekati riwayat-riwayat di atas dengan metode al jam’u, bukan metode at tarjih, sebagaimana yang dipilih oleh Syaikh Al Albani. Dasar pertimbangan jumhur adalah:
1. Riwayat 20 (21, 23) raka’at adalah shahih.
2. Riwayat 8 (11, 13) raka’at adalah shahih.
3. Fakta sejarah menurut penuturan beberapa tabi’in dan ulama salaf.
4. Menggabungkan riwayat-riwayat tersebut adalah mungkin, maka tidak perlu pakai tarjih, yang konsekuensinya adalah menggugurkan salah satu riwayat yang shahih.
Jumhur ulama mendekati riwayat-riwayat di atas dengan metode al jam’u, bukan metode at tarjih, sebagaimana yang dipilih oleh Syaikh Al Albani. Dasar pertimbangan jumhur adalah:
1. Riwayat 20 (21, 23) raka’at adalah shahih.
2. Riwayat 8 (11, 13) raka’at adalah shahih.
3. Fakta sejarah menurut penuturan beberapa tabi’in dan ulama salaf.
4. Menggabungkan riwayat-riwayat tersebut adalah mungkin, maka tidak perlu pakai tarjih, yang konsekuensinya adalah menggugurkan salah satu riwayat yang shahih.
1.
BEBERAPA KESAKSIAN
PELAKU SEJARAH
1. Imam Atho’ Ibn Abi Rabah mawla Quraisy, (budak yang dimerdekakan ole Quraisy) lahir pada masa Khilafah Utsman Radhiyallahu anhu (antara tahun 24 Hsampai 35 H), yang mengambil ilmu dari Ibn Abbas Radhiyallahu anhu, (wafat 67 / 68 H), Aisyah Radhiyallahu anuhma dan yang menjadi mufti Mekkah setelah Ibn Abbas hingga tahun wafatnya 114 H) memberikan kesaksian: “Saya telah mendapati orang-orang (masyarakat Mekkah) pada malam Ramadhan shalat 20 raka’at dan 3raka’at witir.” [Fathul Bari, 4/235]
1. Imam Atho’ Ibn Abi Rabah mawla Quraisy, (budak yang dimerdekakan ole Quraisy) lahir pada masa Khilafah Utsman Radhiyallahu anhu (antara tahun 24 Hsampai 35 H), yang mengambil ilmu dari Ibn Abbas Radhiyallahu anhu, (wafat 67 / 68 H), Aisyah Radhiyallahu anuhma dan yang menjadi mufti Mekkah setelah Ibn Abbas hingga tahun wafatnya 114 H) memberikan kesaksian: “Saya telah mendapati orang-orang (masyarakat Mekkah) pada malam Ramadhan shalat 20 raka’at dan 3raka’at witir.” [Fathul Bari, 4/235]
2.
Imam Nafi’ Al
Qurasyi,(mawla (mantan budak) Ibn Umar Radhiyallahu ahu (wafat 73 H), mufti
Madinah yang mengambil ilmu dari Ibn Umar, Abu Said, Rail’ Ibn Khadij, Aisyah,
Abu Hurairah dan Ummu Salamah, yang dikirim oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz
ke Mesir sebagai da’i dan meninggal di Madinah pada tahun 117 H) telah
memberikan kesaksian sebagai berikut: “Saya mendapati orang-orang (masyarakat
Madinah); mereka shalat pada bulan Ramadhan 36 raka’at dan witir 3 raka’at.”
[Al Hawadits, 141; Al Hawi, 1/415]
3.
Daud Ibn Qais
bersaksi, “Saya mendapati orang-orang di Madinah pada masa pemerintahan Aban
Ibn Utsman Ibn Affan Al Umawi (Amir Madinah, wafat 105 H) dan Khalifah Umar Ibn
Abdul Aziz (Al Imam Al Mujtahid,wafat 101 H) melakukan qiyamulail (Ramadhan)
sebanyak 36 raka’at ditambah 3 witir.” [Fathul Bari, 4/253]
4.
Imam Malik Ibn Anas
(wafat 179 H) yang menjadi murid Nafi’ berkomentar, “Apa yang diceritakan oleh
Nafi’, itulah yang tetap dilakukan oleh penduduk Madinah. Yaitu apa yang dulu
ada pada zaman Utsman Ibn Affan Radhiyallahu anhu.” [Al Hawadits, 141]
5.
Imam Syafi’i, murid
Imam Malik yang hidup antara tahun 150 hingga 204 H. mengatakan, “Saya
menjumpai orang-orang di Mekkah. Mereka shalat (tarawih, red.) 23 raka’at. Dan
saya melihat penduduk Madinah, mereka shalat 39 raka’at, dan tidak ada masalah
sedikitpun tentang hal itu.” [Sunan Thmidzi, 151; Fath Al Aziz, 4/266; Fathul
Bari, 4/23]
BEBERAPA PEMAHAMAN ULAMA DALAM MENGGABUNGKAN
RIWAYAT-RIWAYAT SHAHIH DI ATAS
1.
Imam Syafi’i, setelah
meriwayatkan shalat di Mekkah 23 raka’at dan di Madinah 39 raka’at berkomentar,
“Seandainya mereka memanjangkan bacaan dan menyedikitkan bilangan sujudnya,
maka itu bagus. Dan seandainya mereka memperbanyak sujud dan meringankan
bacaan, maka itu juga bagus; tetapi yang pertama lebih aku sukai.” [Fathul
Bari, 4/253]
2.
Ibn Hibban (wafat 354
H) berkata, “Sesungguhnya tarawih itu pada mulanya adalah 11 raka’at dengan
bacaan yang sangat panjang hingga memberatkan mereka. Kemudian mereka
meringankan bacaan dan menambah bilangan raka’at, menjadi 23 raka’at dengan
bacaan sedang. Setelah itu mereka meringankan bacaan dan menjadikan tarawih
dalam 36 raka’at tanpa witr.” [Fiqhus Sunnah, 1/174]
3.
Al Kamal Ibnul Humam
mengatakan,”Dalil-dalil yang ada menunjukkan, bahwa dari 20 raka’at itu, yang
sunnah adalah seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sedangkan sisanya adalah mustahab.” (Ibid, 1/175)
4.
Al Subkhi berkata,
“Tarawih adalah termasuk nawafil. Terserah kepada masing-masing, ingin shalat
sedikit atau banyak. Bolehjadi mereka terkadang memilih bacaan panjang dengan
bilangan sedikit, yaitu 11raka’at. Dan terkadang mereka memilih bilangan
raka’at banyak, yaitu 20 raka’atdaripada bacaan panjang, lalu amalan ini yang
terus berjalan.” [Al Hawi,1/417]
5.
Ibn Taimiyah berkata,
“Ia boleh shalat tarawih 20 raka’at sebagaimana yang mashur dalam madzhab Ahmad
dan Syafi’i. Boleh shalat 36 raka’at sebagaimana yang ada dalam madzhab Malik.
Boleh shalat 11 raka’at, 13 raka’at. Semuanya baik. Jadi banyaknya raka’at
atau’ sedikitnya tergantung lamanya bacaan dan pendeknya.” Beliau juga
berkata,”Yang paling utama itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang
shalat. Jika mereka kuat 10 raka’at ditambah witir 3 raka’at sebagaimana yang
diperbuat oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ramadhan dan di luar
Ramadhan-maka ini yang lebih utama. Kalau mereka kuat 20 raka’at, maka itu
afdhal dan inilah yang dikerjakan oleh kebanyakan kaum muslimin, karena ia
adalah pertengahan antara 10 dan 40. Dan jika ia shalat dengan 40 raka’at, maka
boleh, atau yang lainnya juga boleh. Tidak dimaksudkan sedikitpun dari hal itu,
maka barangsiapa menyangka, bahwa qiyam Ramadhan itu terdiri dari bilangan
tertentu, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang, maka ia telah salah.”
[Majmu’ Al Fatawa, 23/113; Al Ijabat Al Bahiyyah, 22; Faidh Al Rahim Al
Kalman,132; Durus Ramadhan,48]
6.
Al Tharthusi (451-520
H) berkata, Para sahabat kami (Malikiyah) menjawab dengan jawaban yang benar,
yang bisa menyatukan semua riwayat. Mereka berkata,”Mungkin Umar pertama kali
memerintahkan kepada mereka 11 raka’at dengan bacaan yang amat panjang. Pada
raka’at pertama, imam membaca sekitar dua ratus ayat, karena berdiri lama
adalah yang terbaik dalam shalat. Tatkala masyarakat tidak lagi kuat menanggung
hal itu, maka Umar memerintahkan 23 raka’at demi meringankan lamanya bacaan.
Dia menutupi kurangnya keutamaan dengan tambahan raka’at. Maka mereka membaca
surat Al Baqarah dalam 8 raka’atatau 12 raka’at sesuai dengan hadits al a’raj
tadi.”
Telah dikatakan, bahwa pada waktu itu imam membaca
antara 20 ayat hingga 30 ayat. Hal ini berlangsung terus hingga yaumul Harrah
(penyerangan terhadap Madinah oleh YazidIbn Mu’awiyyah) tahun 60 H maka terasa
berat bagi mereka lamanya bacaan. Akhirnya mereka mengurangi bacaan dan
menambah bilangannya menjadi 36 raka’at ditambah 3 witir. Dan inilah yang
berlaku kemudian.
Bahkan diriwayatkan, bahwa yang pertama kali
memerintahkan mereka shalat 36 raka’at ditambah dengan 3 witir ialah Khalifah
Muawiyah Ibn Abi Sufyan (wafat 60 H). Kemudian hal tersebut dilakukan terus oleh
khalifah sesudahnya. Lebih dari itu, Imam Malik menyatakan, shalat 39 raka’at
itu telah ada semenjak zaman Khalifah Utsman Radhiyallahu anhu.
Kemudian Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (wafat 101
H) memerintahkan agar imam membaca 10 ayat pada tiap raka’at. Inilah yang
dilakukan oleh para imam, dan disepakati oleh jama’ah kaum muslimin, maka ini
yang paling utama dari segi takhfif (meringankan). [Lihat Al Hawadits, 143-145]
7.
Ada juga yang
mengatakan, bahwa Umar Radhiyallahu anhu memerintahkan kepada dua sahabat,
yaitu “Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari Radhiyallahu anhuma, agar shalat
memimpin tarawih sebanyak 11 raka’at, tetapi kedua sahabat tersebut akhirnya
memilih untuk shalat 21 atau 23 raka’at. [Durus Ramadhan, 47]
8.
Al Hafidz Ibn Hajar
berkata, “Hal tersebut dipahami sebagai variasi sesuai dengan situasi, kondisi
dan kebutuhan manusia. Kadang-kadang 11raka’at, atau 21, atau 23 raka’at,
tergantung kesiapan dan kesanggupan mereka.Kalau 11 raka’at, mereka
memanjangkan bacaan hingga bertumpu pada tongkat. Jika 23 raka’at, mereka
meringankan bacaan supaya tidak memberatkan jama’ah. [Fathul Bari, 4/253]
9.
Imam Abdul Aziz Ibn
Bazz mengatakan: “Diantara perkara yang terkadang samar bagi sebagian orang
adalah shalat tarawih. Sebagian mereka mengira, bahwa tarawih tidak boleh
kurang dari 20 raka’at. Sebagian lain mengira, bahwa tarawih tidak boleh lebih
dari 11 raka’at atau 13 raka’at. Ini semua adalah persangkaan yang tidak pada
tempatnya, bahkan salah; bertentangan dengan dalil. Hadits-hadits shahih dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan, bahwa shalat malam
itu adalah muwassa’ (leluasa, lentur, fleksibel). Tidak ada batasan tertentu
yang kaku. yang tidak boleh dilanggar. Bahkan telah shahih dari Nabi, bahwa
beliau shalat malam 11 raka’at, terkadang 13 raka’at, terkadang lebihsedikit
dari itu di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Ketika ditanya tentang sifat
shalat malam,beliau menjelaskan: “dua rakaat-dua raka’at, apabila salah seorang
kamu khawatir subuh, maka shalatlah satu raka’at witir, menutup shalat yang ia
kerjakan.” [HR Bukhari Muslim]
Beliau tidak membatasi dengan raka’at-raka’at
tertentu, tidak di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Karena itu, para sahabat
Radhiyallahu anhum pada masa Umar Radhiyallahu anhu di sebagian waktu shalat 23
raka’at dan pada waktu yang lain 11 raka’at. Semua itu shahih dari Umar
Radhiyallahu anhu dan para sahabat Radhiyallahu anhum pada zamannya.
Dan sebagian salaf shalat tarawih 36 raka’at
ditambah witir 3 raka’at. Sebagian lagi shalat 41 raka’at. Semua itu dikisahkan
dari mereka oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dan ulama lainnya. Sebagaimana
beliau juga menyebutkan, bahwa masalah ini adalah luas (tidak sempit). Beliau
juga menyebutkan, bahwa yang afdhal bagi orang yang memanjangkan bacaan, ruku’.
sujud, ialah menyedikitkan bilangan raka’at(nya). Dan bagi yang meringankan
bacaan, ruku’ dan sujud (yang afdhal) ialah menambah raka’at(nya). Ini adalah
makna ucapan beliau. Barangsiapa merenungkan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, ia pasti mengetahui, bahwa yang paling afdhal dari semuanya itu ialah
11 raka’at atau 13 raka’at. Di Ramadhan atau di luar Ramadhan. Karena hal itu
yang sesuai dengan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
kebiasaannya. Juga karena lebih ringan bagi jama’ah. Lebih dekat kepada khusyu’
dan tuma’ninah. Namun, barangsiapa menambah (raka’at), maka tidak mengapa dan
tidak makruh,seperti yang telah lalu.”[Al Ijabat Al Bahiyyah, 17-18. Lihat juga
Fatawa Lajnah Daimah, 7/194-198]
KESIMPULAN
Maka berdasarkan paparan di atas, saya bisa
mengambil kesimpulan, antara lain:
1.
Shalat tarawih
merupakan bagian dari qiyam Ramadhan, yang dilakukan setelah shalat Isya’
hingga sebelum fajar, dengan dua raka’at salam dua raka’at salam. Shalat
tarawih memiliki keutamaan yang sangat besar. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menganjurkannya -dan para sahabat punmenjadikannya- sebagai
syiar Ramadhan.
2.
Shalat tarawih yang
lebih utama sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu
bilangannya 11 raka’at. Inilah yang lebih baik. Seperti ucapan Imam Malik
rahimahullah, “Yang saya pilih untuk diri saya dalam qiyam Ramadhan, ialah
shalat yang diperintahkan oleh Umar Radhiyallahu anhu, yaitu 11 raka’at, yaitu
(cara) shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun 11 adalah dekat dengan
13.” [Al Hawadits, 141]
3.
Perbedaan tersebut
bersifat variasi, lebih dari 11 raka’at adalah boleh, dan 23 raka’at lebih
banyak diikuti oleh jumhur ulama, karena ada asalnya dari para sahabat pada
zaman Khulafaur Rasyidin, dan lebih ringan berdirinya dibanding dengan 11
raka’at.
4.
Yang lebih penting
lagi adalah prakteknya harus khusyu’, tuma’ninah. Kalau bisa lamanya sama
dengan tarawihnya ulama salaf, sebagai pengamalan hadits “Sebaik-baik shalat
adalah yang panjang bacaanya”.
Semoga tulisan ini bermanfaat. Jika benar, maka
itu dari Allah. Dan jika salah, maka itu murni dari al faqir.
Ya Allah bimbinglah kami kepada kecintaan dan
ridhaMu. Dan antarkanlah kami kepada Ramadhan dengan penuh aman dan iman,
keselamatan dan Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar