Tampilkan postingan dengan label Materi Pesantren Romadhon. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Materi Pesantren Romadhon. Tampilkan semua postingan

Kamis, 08 Juni 2017

12 Keutamaan Sedekah Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits




12 Keutamaan Sedekah Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits  – Sedekah merupakan bukti iman dan ketaatan manusia pada Allah SWT. Sedekah itu tidak dapat dipaksakan, melainkan panggilan hati dan jiwa untuk melakukannya dengan ikhlas dan dapat menyenangkan hati orang lain. Sedekah tidak hanya dalam bentuk harta benda saja, seperti halnya ibadah-ibadah fisik non materi, seperti menolong orang lain dengan tenaga dan pikirannya, senyum, memberi nafkah keluarga, mengajarkan ilmu, berdzikir, bahkan juga melakukan hubungan suami istri itu disebut dengan sedekah. Cangkupan sedekah dalam Islam itu sangat luas sekali. Namun, agar lebih utama harta benda yang kita miliki juga harus disedekahkan kepada orang-orang yang membutuhkan.

Nabi bersabda: “Kamu menyingkirkan batu, duri dan tulang dari tengah jalan itu adalah sedekah bagimu.”(HR. Bukhari).
Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah“. (HR. At-Tirmidzi).

12 Keutamaan Sedekah Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits

Begitu banyak balasan yang Allah berikan bagi orang-orang yang gemar bersedekah. Untuk mengetahui lebih jelasnya, berikut ini akan dijelaskan keutamaan-keutamaan bersedekah.

Keutamaan Sedekah

Adapun keutamaan sedekah berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits diantaranya:

1. Orang-orang yang bersedekah akan dilipat gandakan pahalanya oleh Allah SWT.
Allah Ta’ala berfirman:
Keutamaan Sedekah
Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pahalanya) kepada mereka dan bagi mereka pahala yang banyak“. (QS. Al-Hadid: 18)
Dalam sebuah hadits Qudsi dikatakan yang artinya “Barang siapa berniat untuk bersedekah, kecepatan Allah membalasnya lebih dari gerakan sedekahnya“.
Allah berfirman yang artinya: “Perumpamaan orang-orang yang mendermakan (shodaqoh) harta bendanya di jalan Allah, seperti (orang yang menanam) sebutir biji yang menumbuhkan tujuh untai dan tiap-tiap untai terdapat seratus biji dan Allah melipat gandakan (balasan) kepada orang yang dikehendaki, dan Allah Maha Luas (anugrahNya) lagi Maha Mengetahui“. (QS. Al-Baqoroh: 261)

2. Sedekah dapat menghapuskan dosa-dosa
Nabi SAW bersabda:
Hadits Nabi Tentang Sedekah
Sedekah itu dapat menghapus dosa sebagaimana air itu memadamkan api“.(HR. At-Tirmidzi).
Akan tetapi, bukan berarti dosa-dosa akan terhapuskan begitu saja tanpa disertai dengan taubat dan perbuatan yang baik.  Seperti halnya orang-orang yang mendapatkan hartanya dari jalan yang salah atau diharamkan (tidak halal), harta yang diperoleh dari hasil riba ataupun perbuatan ma’siat. Tentu tidak akan dapat menghapuskan dosa-dosa yang dimiliki.

3. Sedekah dapat memisahkan diri dari neraka
Nabi SAW bersabda:
Sabda Nabi Tentang Sedeqah
Bersedekahlah kamu sekalian, karena sesungguhnya sedekah itu pemisah dari neraka“.
Bersedekah itu tidak hanya harta, jika memiliki makanan, pakaian, atau hal apapun yang bisa bermanfaat untuk orang lain juga termasuk sedekah.
Nabi bersabda: “Jauhkan dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan (sedekah) sebutir kurma“. (Muttafaqun ‘alaih)

4. Orang yang bersedekah akan mendapat naungan pada hari akhir
Salah satu jenis manusia yang akan mendapatkan naungan pada hari akhir yakni orang yang gemar bersedekah. Namun ia menyembunyikannya dari tangan kirinya. Nabi SAW bersabda:
Bersedeqah
Seorang yang bersedekah dengan tangan kanannya, maka ia menyembunyikan amalnya itu sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya“. (HR. Bukhari)

5. Sedekah dapat memadamkan panasnya alam kubur
Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya sedekah itu benar-benar akan dapat memadamkan panasnya alam kubur bagi penghuninya, dan orang mukmin akan bernaung dibawah bayang-bayang sedekahnya“. (HR. At-Thabrani)

6. Sedekah merupakan salah satu amal yang tidak putus sampai mati
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila anak cucu Adam itu mati, maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara yaitu: Shodaqoh jariyah, anak yang sholeh yang memohonkan ampunan untuknya (Ibu dan bapaknya) dan ilmu yang berguna setelahnya“.

7. Sedekah dapat memanjangkan umur
Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya sedekahnya orang muslim itu dapat menambah umurnya, dapat mencegah kematian yang buruk (su’ul khotimah), Allah akan menghilangkan darinya sifat sombong, kefakiran dan sifat bangga pada diri sendiri“. (HR. Thabrani).
Dalam sebuah hadits dikatakan:
Hadits tentang bersedekah
 Sesungguhnya didalam sedekah-sedekah itu ada lima perkara:
  1. Sedekah itu bisa menambah harta kekayaan mereka;
  2. Menjadi obat penyakit;
  3. Allah akan menghindarkan bahaya dari mereka;
  4. Mereka akan melewati jembatan shiratal mustaqim seperti halilintar yang menyambar; dan
  5. Mereka akan masuk kedalam surga tanpa dihisab dan disiksa”.
8. Sedekah dapat menambah harta kekayaan
Jangan takut berkurang rezekinya karena bersedekah. Karena sedekah itu akan meluaskan , melapangkan dan membuka pintu rezeki. Nabi bersabda: “Tidak akan berkurang rezeki orang yang bersedekah, kecuali bertambah, bertambah dan bertambah“.
Allah SWT berfirman dalam QS. Saba ayat 39: “Apapun harta yang kalian infakkan maka Allah pasti akan menggantikannya, dan Dia adalah sebaik-baik pemberi rezeki“.

9. Sedekah dapat mengobati penyakit 
Dengan bersedekah InsyaaAllah dapat menyembuhkan berbagai penyakit hati. Karena sedekah itu dapat membersihkan hati dan pikiran, dan atas seizinNya Allah akan ringankan dan menyembuhkan penyakit-penyakit orang-orang yang gemar bersedekah. Rasulullah SAW bersabda: “Obatilah orang-orang yang sakit di antara kalian dengan bersedekah“.

10. Sedekah dapat menghindarkan dari segala bala’ (marabahaya)
Sedekah itu merupakan penolak bala’, penyubur pahala, menahan musibah dan kejahatan serta rezeki yang dilipat gandakan oleh Allah SWT. Rasulullah saw bersabda: “Bersegeralah untuk bersedekah. Karena musibah dan bencana tidak bisa mendahului sedekah“.
Dari nabi SAW bersabda: “Asshodaqotu tasuddu sab’iina baaban minas suu-i” artinya: “Shodaqoh itu menutup tujuh puluh pintu kejahatan“.

11. Orang yang bersedekah akan melewati jembatan shiratal mustaqim dengan cepat
Jembatan shiratal mustaqim itu bagaikan rambut terbelah menjadi tujuh yang tajamnya melebihi silet, lebih tajam dari pedang, licin dan berduri. Jembatan ini berujung pada surga dan dibawahnya adalah neraka. Tidak sedikit manusia yang bisa melewatinya hanya dengan kedipan mata, seperti halilintar yang menyambar. Oleh karenanya, perbanyaklah bersedekah karena sedekah merupakan salah satu perbuatan dan amalan yang dapat menyelamatkan manusia pada hari akhir.

12. Orang yang bersedekah akan dimasukkan kedalam surga tanpa hisab dan siksa
Sedekah yang dimaksud adalah sedekah yang penuh keikhlasan, tidak diumbar-umbar dengan sifat kesombongan dan niatnya hanya karena Allah ta’ala. InsyaaAllah, akan membukakan pintu surga bagi orang-orang yang gemar bersedekah karna Allah. Ada empat macam pembalasan sedekah, yaitu:
  1. Sedekah yang dibalas dengan sepuluh kali lipat ialah sedekah yang diberikan kepada para fakir miskin;
  2. Sedekah yang dibalas dengan tujuh puluh kali lipas ialah sedekah yang diberikan kepada sanak famili;
  3. Sedekah yang dibalas dengan tujuh ratus kali lipat ialah sedekah yang diberikan kepada teman-teman;
  4. Sedekah yang dibalas dengan seribu kali lipat ialah sedekah yang diberikan kepada para penuntut ilmu.
Demikianlah pembahasan mengenai 12 Keutamaan Sedekah Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits semoga dapat memberikan motivasi kepada kita para Muslim dan Muslimah untuk gemar bersedekah walau hanya sedikit. Lakukanlah secara terus menerus karena shodaqoh jariyah tak akan pernah putus sampai kita mati. Sekian terimakasih
Sumber: Ihya Ulumuddin dan Durratun Nasihin

Rabu, 07 Juni 2017

SHOLAT DUHA



Doa sholat dhuha – Dalam agama Islam, selain mengerjakan sholat wajib umat Islam juga dianjurkan untuk mengerjakan sholat sunnah. Sholat sunnah ada beberapa macam, salah satunya adalah sholat dhuha. Sholat ini juga dikenal dengan shalat sunnah untuk memohon rizki dari Allah SWT.
Sholat Dhuha dikerjakan pada waktu setelah terbit matahari hingga menjelang masuk waktu dhuhur. 

Ciri-ciri waktu shalat dhuha ini dimulai dari matahari yang mulai muncul dan naik kurang kebih sepenggelah dan berakhir sampai sedikit menjelang masuk waktu sholat dhuhur. Tetapi, lebih baik dilakukan atau disunnahkan untuk dikerjakan ketika matahari agak tinggi dan panas juga agak terik.

Sedangkan bacaan surat pendek yang dibaca ketika sholat dhuha adalah disunahkan membaca surat Asy-Syam pada rakaat pertama dan surat Al-Lail pada rakaat kedua. Melakukan sholat dhuha ini bisa dua rakaat dengan satu kali salam. Untuk jumlah maksimalnya, setiap pendapat dari masing-masing ulama tentunya berbeda-beda.

Ada yang berpendapat maksimal mengerjakan sholat dhuha adalah 8 rakaat, ada juga yang mengatakan 12 rakaat, dan ada juga yang menyatakan bahwa tidak ada jumlah maksimal dalam mengerjakan sholat dhuha. Dengan adanya perbedaan tersebut, kita tidak perlu bingung untuk memilih mana yang benar. Karena Allah SWT tentunya menyukai hamba-Nya yang memperbanyak ibadah dan juga tidak melarang. Jadi lebih baik bagi anda untuk mengerjakan sholat dhuha semampunya.

Waktu Sholat Dhuha


Lalu kapan saat yang tepat untuk mengerjakan sholat dhuha? Waktu sholat dhuha adalah setelah terbit matahari hingga menjelang masuk waktu dhuhur. Tetapi lebih baik jika dilakukan pada pagi hari saat matahari sedang naik atau sekitar pukul 09.00 WIB.

Tata Cara Sholat Dhuha

Untuk anda yang ingin mengerjakan sholat dhuha tetapi belum mengetahui tata cara sholat dhuha. Berikut adalah tata cara mengerjakan sholat dhuha.
  1. Pertama yang harus dilakukan adalah membaca niat. Niat sholat dhuha adalah sebagai berikut:
ﺃﺻَﻠِّﻲ ﺳُﻨَّﺔَ ﺍﻟﻀُﺤَﻰ ﺭَﻛَﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻟِﻠﻪِ ﺗَﻌﺎﻟﻰَ
“Usholli sunnatatd-dhuha rak’ataini lillahi ta’alaa”.

Yang artinya “aku niat shalat sunat dhuha dua rakaat karena Allah ta’ala”. Perlu diingat shalat dhuha ini dikerjakan minimal dua rakaat dan maksimal dua belas rakaat dan dilakukan secara munfarid (tidak berjamaah). Bacaan niat dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram.
  1. Selanjutnya membaca doa iftitah, surat al-fatihah, dan membaca salah satu surat yang terdapat dalam Al-Qur’an, tetapi lebih diutamakan membaca surat Adh-Dhuha, Asy-Syamsu, Al-Lailu, dan Surat Asy-Syarh.
  2. Lalu melakukan ruku’ dan membaca tasbih tiga kali.
  3. Selanjutnya I’tidal dan membaca bacaannya.
  4. Sujud pertama dan membaca tasbih tiga kali.
  5. Lalu duduk di antara dua sujud dan membaca bacaannya.
  6. Setelahnya sujud kedua dan membaca tasbih tiga kali.
  7. Selanjutnya lakukan rakaat kedua seperti cara rakaat pertama tanpa membaca niat dan doa iftitah.
  8. Lalu kerjakan tasyahud akhir.
  9. Yang terakhir salam dua kali.
  10. Seusai salam, dianjurkan untuk berdzikir lalu membaca do’a setelah sholat dhuha.

Doa Sholat Dhuha


Setelah selesai mengerjakan sholat dhuha, disunnahkan untuk membaca doa sholat dhuha. Doa setelah sholat dhuha tidak dibatasi. Kita boleh berdoa apa saja yang kita inginkan, tentunya bukan doa yang berisi tentang keburukan. Kita juga boleh membaca doa yang kita sukai. Namun, hendaknya kita memulai doa dengan menyebut nama Allah SWT, memuji syukur kepada Allah SWT, dan bershalawat atas Nabi Muhammad SAW.

َللهُمَّ اِنَّ الضُّحَآءَ ضُحَاءُكَ، وَالْبَهَاءَ بَهَاءُكَ، وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ، وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ، وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ، وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ. اَللهُمَّ اِنْ كَانَ رِزْقِى فِى السَّمَآءِ فَأَنْزِلْهُ وَاِنْ كَانَ فِى اْلاَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَاِنْ كَانَ مُعَسَّرًا فَيَسِّرْهُ وَاِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَاِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضُحَاءِكَ وَبَهَاءِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ آتِنِىْ مَآاَتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ

ALLAHUMMA INNADH DHUHA-A DHUHA-UKA, WAL BAHAA-A BAHAA-UKA, WAL JAMAALA JAMAALUKA, WAL QUWWATA QUWWATUKA, WAL QUDRATA QUDRATUKA, WAL ISHMATA ISHMATUKA. ALLAHUMA INKAANA RIZQI FIS SAMMA-I FA ANZILHU, WA INKAANA FIL ARDHI FA-AKHRIJHU, WA INKAANA MU’ASARAN FAYASSIRHU, WAINKAANA HARAAMAN FATHAHHIRHU, WA INKAANA BA’IDAN FA QARIBHU, BIHAQQIDUHAA-IKA WA BAHAAIKA, WA JAMAALIKA WA QUWWATIKA WA QUDRATIKA, AATINI MAA ATAITA ‘IBADIKASH SHALIHIN.

Artinya :
“Wahai Tuhanku, sesungguhnya waktu dhuha adalah waktu dhuha-Mu, keagungan adalah keagunan-Mu, keindahan adalah keindahan-Mu, kekuatan adalah kekuatan-Mu, penjagaan adalah penjagaan-Mu, Wahai Tuhanku, apabila rezekiku berada di atas langit maka turunkanlah, apabila berada di dalam bumi maka keluarkanlah, apabila sukar mudahkanlah, apabila haram sucikanlah, apabila jauh dekatkanlah dengan kebenaran dhuha-Mu, kekuasaan-Mu (Wahai Tuhanku), datangkanlah padaku apa yang Engkau datangkan kepada hamba-hambaMu yang soleh”.
Doa sholat dhuha ini merupakan salah satu dari keutamaan sholat dhuha, dimana kita lebih mudah meminta agar Allah bukakan pintu rezeki. Sesuai dengan hadist Nabi berikut ini :
“Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat pada waktu permulaan siang ( Shalat Dhuha ) niscaya pasti akan Aku cukupkan kebutuhanmu pada akhir harinya “ (HR.Hakim dan Thabrani).

Keutamaan Sholat Dhuha


Mengerjakan sholat dhuha memiliki banyak manfaat. Berikut adalah keutamaan sholat dhuha:

Sholat dhuha sebagai sedekah

Sholat dhuha dapat menjadi sedekah sesuai dengan hadist berikut :
Dari Abu Dzar al-Ghifari RA, ia berkata bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda : “Setiap pagi, setiap ruas anggota badan kalian wajib dikeluarkan shadaqahnya. Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap tahmid adalah shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, menyuruh kepada kebaikan adalah shadaqah dan melarang berbuat munkar adalah shadaqah. Semua itu dapat diganti dengan shalat dhuha dua rakaat.” (HR. Muslim)

Dibangunkan sebuah rumah di surga

Untuk yang rajin mengerjakan sholat dhuha maka akan mendapat sebuah rumah yang dibangun di dalam surga. Hal ini sesuai dengan isi hadist Nabi Muhammad SAW : “Barang siapa yang shalat dhuha sebanyak empat rakaat dan empat rakaat sebelumnya, maka ia akan dibangunkan sebuah rumah di surga.” (Shahih al-Jami’ : 634)

Pahalanya setara dengan pahala umrah

Mengerjakan sholat dhuha tentunya akan mendapatkan pahala. Pahala dari sholat dhuha setara dengan pahala mengerjakan umrah.

Sesuai dengan isi hadist dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan bersuci untuk melaksanakan shalat wajib maka pahalanya seperti seorang yang melaksanakan haji. Barangsiapa yang keluar untuk melaksanakan shalat Dhuha maka pahalanya seperti orang yang melaksanakan umrah. (Shahih al-Targhib : 673)

SHALAT TARAWIH NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DAN SALAFUSH SHALIH





Shalat tarawih adalah bagian dari shalat nafilah (tathawwu’). Mengerjakannya disunnahkan secara berjama’ah pada bulan Ramadhan, dan sunnah muakkadah. Disebut tarawih, karena setiap selesai dari empat rakaat, para jama’ah duduk untuk istirahat.
Tarawih adalah bentuk jama’ dari tarwihah. Menurut bahasa berarti jalsah (duduk). Kemudian duduk pada bulan Ramadhan setelah selesai dari empat raka’at disebut tarwihah; karena dengan duduk itu, orang-orang bisa istirahat dari lamanya melaksanakan qiyam Ramadhan.

Bahkan para salaf bertumpu pada tongkat, karena terlalu lamanya berdiri. Dari situ,kemudian setiap empat raka’at, disebut tarwihah, dan kesemuanya disebut tarawih secara majaz.
Aisyah Radhiyallahu anhuma ditanya: “Bagaimana shalat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan?” Dia menjawab, “Beliau tidak pemah menambah -di Ramadhan atau di luarnya- lebih dari 11 raka’at. Beliau shalat empat rakaat, maka jangan ditanya tentang bagusnya dan lamanya. Kemudian beliau shalat 3 raka’at.” [HR Bukhari]
.
Kata ثم (kemudian), adalah kata penghubung yang memberikan makna berurutan, dan adanya jeda waktu.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat empat raka’at dengan dua kali salam, kemudian beristirahat. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Adalah Rasulullah melakukan shalat pada waktu setelah selesainya shalat Isya’, hingga waktu fajar, sebanyak 11 raka’at, mengucapkan salam pada setiap dua raka’at, dan melakukan witir dengan saturaka’at.” [HR Muslim].
Juga berdasarkan keterangan Ibn Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa seseorang bertanya, “Wahai 

Rasulullah,bagaimana shalat malam itu?” Beliau menjawab,
مَشْنَى مَشْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِِرْ بِوَا حِدَةِ
“Yaitu dua raka’at-dua raka’at, maka apabila kamu khawatir (masuk waktu) shubuh, berwitirlah dengan satu raka’at. [HR Bukhari]
Dalam hadits Ibn Umar yang lain disebutkan:
صَلاَةُ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ رَكْعَتَانِ رَكْعَتَانِ
“Shalat malam dan siang dua raka’at-dua raka’at”. [HR Ibn Abi Syaibah. Ash Shalah, 309; At Tamhid, 5/251; Al Hawadits, 140-143; Fathul Bari, 4/250; Al Ijabat Al Bahiyyah,18; Al Muntaqa,4/49-51]
FADHILAH SHALAT TARAWIH

1.Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانَا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْذنْبِه
“Barang siapa melakukan qiyam (lail) pada bulan Ramadhan, karena iman dan mencari pahala, maka diampuni untuknya apa yang telah lalu dari dosanya.”

Maksud qiyam Ramadhan, secara khusus, menurut Imam Nawawi adalah shalat tarawih. Hadits ini memberitahukan, bahwa shalat tarawih itu bisa mendatangkan maghfirah dan bisa menggugurkan semua dosa; tetapi dengan syarat karena bermotifkan iman; membenarkan pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala tersebut dari Allah. Bukan karena riya’ atau sekedar adat kebiasaan. [Fathul Bari 4/251; Tanbihul Ghafilin 357-458; Majalis Ramadhan, 58; AtTamhid, 3/320; AI Ijabat Al Bahiyyah, 6]

Hadits ini dipahami oleh para salafush shaalih, termasuk oleh Abu Hurairah sebagai anjuran yang kuat dari Rasulullah untuk melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih, tahajud, dan lain-lain). [At Tamhid, 3/311-317: Sunan Abi Daud, 166]

2. Hadits Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu anhu,
إِِنَّ رَمَضَانَ شَهْرٌ فَرَضَ اللَّهُ صِيَامَهُ وَإِنِّي سَنَنْتُ لِلْمُسلِمِيْنَ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِعيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنَْ الذُّنُوبْ كَيَوْم وَلَدَتْهُ أُمُّه
“Sesungguhnya Ramadhan adalah bulan dimana Allah mewajibkan puasanya, dan sesungguhnya aku menyunnahkan qiyamnya untuk orang-orang Islam. Maka barang siapa berpuasa Ramadhan dan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka ia (pasti) keluar dari dosa-dosanya sebagaimana pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.(HR : Ahmad, Ibnu Majah. Al Bazzar, Abu Ya’la dan Abdur Razzaqmeriwayatkannya dari Abu Hurairah.)
Al Albani berkata, “Yang shahih hanya kalimat yang kedua saja, yang awal dha’if.”[Lihat Sunan lbn Majah, 146,147; AlIjabat Al Bahiyyah, 8-10]

3. Hadits Abu Dzar Radhiyallahu anhu,
مَنْ قَامَ مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَة
“Barang siapa qiyamul lail bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya (pahala) qiyam satu malam (penuh).” [HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibn Majah, Nasa’i, dan lain-lain, Hadits shahih. Lihat Al ljabat Al Bahiyyah, 7]
Hadits ini sekaligus juga memberikan anjuran, agar melakukan shalat tarawih secara berjamaah dan mengikuti imam hingga selesai.
Ada sebagian orang berpendapat,shalat Tarawih berjama’ah baru dikerjakan pada zaman khalifah Umar binKhaththab. Benarkah demikian? Mari kita tengok sejarah melalui hadits-hadits serta riwayat-riwayat shahih apa yang terjadi pada zaman Nabi dan bagaimana yang terjadi pada masa Khulafa’ur Rasyidin.

SHALAT TARAWIH PADA ZAMAN NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan dan memimpin shalat tarawih. Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan fadhilahnya, dan menyetujui jama’ah tarawih yang dipimpin oleh sahabat Ubay bin Ka’ab. Berikut ini adalah dalil-dalil yang menjelaskan, bahwa shalat tarawih secara berjama’ah disunnahkan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan dilakukan secara khusyu’ dengan bacaan yang panjang.
1.      Hadits Nu’man bin Basyir, Radhiyallahu anhu : Ia berkata: “Kami melaksanakan qiyamul lail (tarawih) bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam 23 bulan Ramadhan, sampai sepertiga malam. Kemudian kami shalat lagi bersama beliau pada malam 25 Ramadhan (berakhir) sampai separoh malam. Kemudian beliau memimpin lagi pada malam 27 Ramadhan sampai kami menyangka tidak akan sempat mendapati sahur.” [HR. Nasa’i, Ahmad, Al Hakim. Shahih]
2.      Hadits Abu Dzar Radhiyallahu anhu : Ia berkata: “Kami puasa, tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memimpin kami untuk melakukan shalat (tarawih), hingga Ramadhan tinggal tujuh hari lagi, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat, sampai lewat sepertiga malam. Kemudian beliau tidak keluar lagi pada malam ke enam. Dan pada malam ke lima,beliau memimpin shalat lagi sampai lewat separoh malam. Lalu kami berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Seandainya engkau menambah lagi untuk kami sisa malam kita ini?’, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersada,

3.      مَنْ قَامَ مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَة

Barang siapa shalat (tarawih) bersama imam sampai selesai. maka ditulis untuknya shalat satu malam (suntuk).’
Kemudian beliau ٍShallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memimpin shalat lagi, hingga Ramadhan tinggal tiga hari. Maka beliau memimpin kami shalat pada malam ketiga. Beliau mengajak keluarga dan istrinya. Beliau mengimami sampai kami khawatir tidak mendapat falah. saya (perawi) bertanya, apa itu falah? Dia (Abu Dzar) berkata, “Sahur.”[HR Nasai, Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Daud, Ahmad. Shahih]
3        Tsa’labah bin Abi Malik Al Qurazhi Radhiyallahu anhu berkata: “Pada suatu malam, di malam Ramadhan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah, kemudian beliau melihat sekumpulan orang disebuah pojok masjid sedang melaksanakan shalat. Beliau lalu bertanya, ‘Apa yang sedang mereka lakukan?’ Seseorang menjawab, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak membaca Al Qur’an, sedang Ubay bin Ka’ab ahli membaca Al Qur’an, maka mereka shalat (ma’mum) dengan shalatnya Ubay.’ Beliau lalu bersabda,
قَدْ أَحْسَنُوْا وَقَدْ أَصَابُوْا
‘Mereka telah berbuat baik dan telah berbuat benar.’ Beliau tidak membencinya.”[HR Abu Daud dan Al Baihaqi, ia berkata: Mursal hasan. Syaikh Al Albani berkata, “Telah diriwayatkan secara mursal dari jalan lain dari Abu Hurairah,dengan sanad yang tidak bermasalah (bisa diterima).”. [Shalat At Tarawih, 9]

SHALAT TARAWIH PADA ZAMAN KHULAFA’UR RASYIDIN
1.      Para sahabat Rasulullah, shalat tarawih di masjid Nabawi pada malam-malam Ramadhan secara awza’an (berpencar-pencar). Orang yang bisa membaca Al Qur’an ada yang mengimami 5 orang, ada yang 6 orang, ada yang lebih sedikit dari itu, dan ada yang lebih banyak. Az Zuhri berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, orang-orang shalat tarawih dengan cara seperti itu. Kemudian pada masa Abu Bakar, caranya tetap seperti itu; begitu pula awal khalifah Umar.”
2.      Abdurrahman bin Abdul Qari’ berkata, “Saya keluar ke masjid bersama Umar Radhiyallahu anhu pada bulan Ramadhan. Ketika itu orang-orang berpencaran; ada yang shalat sendirian, dan ada yang shalat dengan jama’ah yang kecil (kurang dari sepuluh orang). Umar berkata, ‘Demi Allah, saya melihat (berpandangan),seandainya mereka saya satukan di belakang satu imam, tentu lebih utama,’ Kemudian beliau bertekad dan mengumpulkan mereka di bawah pimpinan Ubay bin Ka’ab. Kemudian saya keluar lagi bersama beliau pada malam lain. Ketika itu orang-orang sedang shalat di belakang imam mereka. Maka Umar Radhiyallahu anhu berkata,’Ini adalah sebaik-baik hal baru.’ Dan shalat akhir malam nanti lebih utama dari shalat yang mereka kerjakan sekarang.” Peristiwa ini terjadi pada tahun 14H.
3.      Umar Radhiyallahu anhu mengundang para qari’ pada bulan Ramadhan, lalu memberi perintah kepada mereka agar yang paling cepat bacaanya membaca 30 ayat (+/- 3 halaman), dan yang sedang agar membaca 25 ayat,adapun yang pelan membaca 20 ayat (+ 2 halaman).
4.      Al A’raj (seorang tabi’in Madinah,wafat 117 H) berkata, ;”Kami tidak mendapati orang-orang, melainkan mereka sudah melaknat orang kafir (dalam do’a) pada bulan Ramadhan.” la berkata, “Sang qari’ (imam) membaca ayat Al Baqarah dalam 8 raka’at. Jika ia telah memimpin 12 raka’at, (maka) barulah orang-orang merasa kalau imam meringankan.”
5.      Abdullah bin Abi Bakr berkata, “Saya mendengar bapak saya berkata,’Kami sedang pulang dari shalat (tarawih) pada malam Ramadhan. Kami menyuruh pelayan agar cepat-cepat menyiapkan makanan, karena takut tidak mendapat sahur’. ”
6.      Saib bin Yazid rahimahullah (Wafat 91 H) berkata, “Umar Radhiyallahu anhu memerintah Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari Radhiyallahu anhuma agar memimpin shalat tarawih pada bulan Ramadhan dengan 11 raka’at. Maka sang qari’ membaca dengan ratusan ayat, hingga kita bersandar pada tongkat karena sangat lamanya berdiri. Maka kami tidak pulang dari tarawih, melainkan sudah di ujung fajar.” [Fathul Bari, 4/250-254; Shalat At Tarawih, 11; Al ljabat Al Bahiyyah,15-18; Al Majmu’, 4/34]

BILANGAN RAKA’AT SHALAT TARAWIH DAN SHALAT WITIR

Mengenai masalah ini, diantara para ulama salaf terdapat perselisihan yang cukup banyak (variasinya) hingga mencapai belasan pendapat, sebagaimana di bawah ini.
1.      Sebelas raka’at (8 + 3 Witir),riwayat Malik dan Said bin Manshur.
2.      Tiga belas raka’at (2 raka’atringan + 8 + 3 Witir), riwayat Ibnu Nashr dan Ibnu Ishaq, atau (8 + 3 + 2),atau (8 + 5) menurut riwayat Muslim.
3.      Sembilan belas raka’at (16 + 3).
4.      Dua puluh satu raka’at (20 + 1),riwayat Abdurrazzaq.
5.      Dua puluh tiga raka’at (20 + 3),riwayat Malik, Ibn Nashr dan Al Baihaqi. Demikian ini adalah madzhab Abu Hanifah,Syafi’i, Ats Tsauri, Ahmad, Abu Daud dan Ibnul Mubarak.
6.      Dua puluh sembilan raka’at (28 +1).
7.      Tiga puluh sembilan raka’at (36 +3), Madzhab Maliki, atau (38 + 1).
8.      Empat puluh satu raka’at (38 +3), riwayat Ibn Nashr dari persaksian Shalih Mawla Al Tau’amah tentang shalatnya penduduk Madinah, atau (36 + 5) seperti dalam Al Mughni 2/167.
9.      Empatpuluh sembilan raka’at (40 +9); 40 tanpa witir adalah riwayat dari Al Aswad Ibn Yazid.
10.  Tiga puluh empat raka’at tanpa witir (di Basrah, Iraq).
11.  Dua puluh empat raka’at tanpa witir (dari Said Ibn Jubair).
12.  Enam belas raka’at tanpa witir.

BERAPA RAKA’AT TARAWIH RASULULLAH SHALLALLAHU A’ALAIHI WA SALLAM ?
 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan dan memimpin shalat tarawih, terdiri dari sebelas raka’at (8 +3). Dalilnya sebagai berikut.
1.      Hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma : ia ditanya oleh Abu Salamah Abdur Rahman tentang qiyamul lailnya Rasul pada bulan Ramadhan, ia menjawab:
إنَّهُ كَانَ لاَ يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ
“Sesungguhnya beliau tidak pernah menambah pada bulan Ramadhan, atau pada bulan lainnya. lebih dari sebelas raka’at. [HR Bukhari, Muslim]
Ibn Hajar berkata, “Jelas sekali, bahwa hadits ini menunjukkan shalatnya Rasul (adalah) sama semua di sepanjang tahun.”
2.      Hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan kami pada bulan Ramadhan 8 raka’at dan witir. Ketika malam berikutnya, kami berkumpul di masjid dengan harapan beliau shalat dengan kami. Maka kami terus berada di masjid hingga pagi, kemudian kami masuk bertanya, “Ya Rasulullah, tadi malam kami berkumpul di masjid, berharap anda shalat bersama kami,” maka beliau bersabda, “Sesungguhnya aku khawatir diwajibkan atas kalian. “[HR Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah, dihasankan oleh Al Albani. ShalatAt Tarawih, 18; Fath Al Aziz 4/265]
3.      Pengakuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang 8 raka’atdan 3 witir. Ubay bin Ka’ab datang kepada Rasulullah, lalu berkata,”Ya Rasulullah, ada sesuatu yang saya kerjakan tadi malam (Ramadhan). Beliau bertanya,”Apa itu, wahai Ubay?” Ia menjawab,”Para wanita di rumahku berkata,’Sesungguhnya kami ini tidak membaca Al Qur’an. Bagaimana kalau kami shalat dengan shalatmu?’ Ia berkata,”Maka saya shalat dengan mereka 8 raka’at dan witir. Maka hal itu menjadi sunnah yang diridhai. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan apa-apa.”[HR Abu Ya’la, Thabrani dan Ibn Nashr, dihasankan oleh Al Haitsami dan Al Albani. Lihat Shalat At-Tarawih, 68].
Adapun hadits-hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah shalat tarawih dengan 20 raka’at, maka haditsnya tidak ada yang shahih. [Fathul Bari, 4/254; Al Hawi. 1/413; Al Fatawa Al Haditsiyah, 1.195: ShalatAt Tarawih, 19-21]

BERAPA RAKAAT TARAWIH SAHABAT DAN TABIIN PADA MASA UMAR RADHIYALLAHU ANHU?
 
Ada beberapa riwayat shahih tentang bilangan raka’at shalat tarawih para sahabat pada zaman Umar Radhiyallahu anhu . Yaitu: 11 raka’at, 13 raka’at, 21 raka’at, dan 23 raka’at. Kemudian 39 raka’at juga shahih, pada masa Khulafaur Rasyidin setelah Umar; tetapi hal ini khusus di Madinah. Berikut keterangan pada masa Umar
1.      Sebelas raka’at.
Umar Radhiyallahu anhu memerintahkan kepada Ubay danTamim Ad Dari Radhiyallahu anhuma untuk shalat 11 raka’at. Mereka membaca ratusan ayat, sampai makmum bersandar pada tongkat karena kelamaan dan selesai hampir Subuh. Demikian ini riwayat Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib Ibn Yazid. Imam Suyuthi dan Imam Subkhi menilai, bahwa hadits ini sangat shahih. Syaikh Al Albani juga menilai, bahwa hadits ini shahih sekali.
2.      Tiga belas raka’at.
Semua perawi dari Muhammd Ibn Yusuf mengatakan 11 raka’at, kecuali Muhammad Ibn Ishaq. Ia berkata 13 raka’at (HR Ibn Nashr), akan tetapi hadits ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah yang mengatakan 11 raka’at. Hal ini bisa dipahami, bahwa termasuk dalam bilangan itu ialah 2 raka’at shalat Fajar, atau 2 raka’at pemula yang ringan, atau 8 raka’at ditambah 5 raka’at Witir.
3.      Dua puluh raka’at (ditambah 1 atau 3 raka’at Witir).
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Muhammad Ibn Yusuf dengan lafadz “21 raka’at” (sanad shahih). Al Baihaqi dalam As Sunan dan Al Firyabi dalam Ash Shiyam meriwayatkan dari jalur Yazid Ibn Khushaifah dari SaibIbn Yazid, bahwa mereka- pada zaman Umar di bulan Ramadhan shalat tarawih 20 raka’at. Mereka membaca ratusan ayat, dan bertumpu ‘pada tongkat pada zaman Utsman, karena terlalu lama berdiri.

Riwayat ini dishahihkan oleh Imam Al Nawawi, Al Zaila’i, Al Aini, Ibn Al Iraqi, Al Subkhi, As Suyuthi, Syaikh Abdul Aziz bin Bazz, dan lain-lain.
Sementara itu Syaikh Al Albani menganggap, bahwa dua riwayat ini bertentangan dengan riwayat sebelumnya, tidak bisa dijama’ (digabungkan). Maka beliau memakai metode tarjih (memilih riwayat yang shahih dan meninggalkan yang lain). Beliau menyatakan, bahwa Muhammad Ibn Yusuf perawi yang tsiqah tsabit (sangat terpercaya), telah meriwayatkan dari Saib Ibn Yazid 11 raka’at. Sedangkan Ibn Khushaifah yang hanya pada peringkat tsiqah (terpercaya) meriwayatkan 21 raka’at. Sehingga hadits Ibn Khushaifah ini -menurut beliau-adalah syadz (asing, menyalahi hadits yang lebih shahih). [Al Majmu’, 4/32; Shalat At Tarawih, 46; Al Ijabat Al Bahiyyah. 16-18]
Perlu diketahui, selain Ibn Khushaifah tadi, ada perawi lain, yaitu Al Harits Ibn Abdurrahman Ibn Abi Dzubab yang meriwayatkan dari Saib Ibn Yazid, bahwa shalat tarawih pada masa Umar 23raka’at. [HR Abdurrazzaq. Lihat At Tamhid 3/518-519]
Selanjutnya 23 raka’at diriwayatkan juga dari Yazid Ibn Ruman secara mursal, karena ia tidak menjumpai zaman Umar.
Yazid Ibn Ruman adalah mawla (mantan budak) sahabat Zubair Ibn Al Awam (36 H), ia salah seorang qurra’ Madinah yang tsiqat tsabit (meninggal pada tahun 120 atau130 H). Ia memberi pernyataan, bahwa masyarakat (Madinah) pada zaman Umar telah melakukan qiyam Ramadhan dengan bilangan 23 raka’at. [HR Malik, Al Firyabi, Ibn Nashr dan Al Baihaqi. Lihat Shalat At Tarawih,53; Al Ijabat Al Bahiyyah, 16; At Tamhid, 9/332, 519; Al Hawadits, 141]

BAGAIMANA JALAN KELUARNYA?
Jumhur ulama mendekati riwayat-riwayat di atas dengan metode al jam’u, bukan metode at tarjih, sebagaimana yang dipilih oleh Syaikh Al Albani. Dasar pertimbangan jumhur adalah:
1. Riwayat 20 (21, 23) raka’at adalah shahih.
2. Riwayat 8 (11, 13) raka’at adalah shahih.
3. Fakta sejarah menurut penuturan beberapa tabi’in dan ulama salaf.
4. Menggabungkan riwayat-riwayat tersebut adalah mungkin, maka tidak perlu pakai tarjih, yang konsekuensinya adalah menggugurkan salah satu riwayat yang shahih.
1.      BEBERAPA KESAKSIAN PELAKU SEJARAH
1. Imam Atho’ Ibn Abi Rabah mawla Quraisy, (budak yang dimerdekakan ole Quraisy) lahir pada masa Khilafah Utsman Radhiyallahu anhu (antara tahun 24 Hsampai 35 H), yang mengambil ilmu dari Ibn Abbas Radhiyallahu anhu, (wafat 67 / 68 H), Aisyah Radhiyallahu anuhma dan yang menjadi mufti Mekkah setelah Ibn Abbas hingga tahun wafatnya 114 H) memberikan kesaksian: “Saya telah mendapati orang-orang (masyarakat Mekkah) pada malam Ramadhan shalat 20 raka’at dan 3raka’at witir.” [Fathul Bari, 4/235]
2.      Imam Nafi’ Al Qurasyi,(mawla (mantan budak) Ibn Umar Radhiyallahu ahu (wafat 73 H), mufti Madinah yang mengambil ilmu dari Ibn Umar, Abu Said, Rail’ Ibn Khadij, Aisyah, Abu Hurairah dan Ummu Salamah, yang dikirim oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz ke Mesir sebagai da’i dan meninggal di Madinah pada tahun 117 H) telah memberikan kesaksian sebagai berikut: “Saya mendapati orang-orang (masyarakat Madinah); mereka shalat pada bulan Ramadhan 36 raka’at dan witir 3 raka’at.” [Al Hawadits, 141; Al Hawi, 1/415]
3.      Daud Ibn Qais bersaksi, “Saya mendapati orang-orang di Madinah pada masa pemerintahan Aban Ibn Utsman Ibn Affan Al Umawi (Amir Madinah, wafat 105 H) dan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (Al Imam Al Mujtahid,wafat 101 H) melakukan qiyamulail (Ramadhan) sebanyak 36 raka’at ditambah 3 witir.” [Fathul Bari, 4/253]
4.      Imam Malik Ibn Anas (wafat 179 H) yang menjadi murid Nafi’ berkomentar, “Apa yang diceritakan oleh Nafi’, itulah yang tetap dilakukan oleh penduduk Madinah. Yaitu apa yang dulu ada pada zaman Utsman Ibn Affan Radhiyallahu anhu.” [Al Hawadits, 141]
5.      Imam Syafi’i, murid Imam Malik yang hidup antara tahun 150 hingga 204 H. mengatakan, “Saya menjumpai orang-orang di Mekkah. Mereka shalat (tarawih, red.) 23 raka’at. Dan saya melihat penduduk Madinah, mereka shalat 39 raka’at, dan tidak ada masalah sedikitpun tentang hal itu.” [Sunan Thmidzi, 151; Fath Al Aziz, 4/266; Fathul Bari, 4/23]

BEBERAPA PEMAHAMAN ULAMA DALAM MENGGABUNGKAN RIWAYAT-RIWAYAT SHAHIH DI ATAS

1.      Imam Syafi’i, setelah meriwayatkan shalat di Mekkah 23 raka’at dan di Madinah 39 raka’at berkomentar, “Seandainya mereka memanjangkan bacaan dan menyedikitkan bilangan sujudnya, maka itu bagus. Dan seandainya mereka memperbanyak sujud dan meringankan bacaan, maka itu juga bagus; tetapi yang pertama lebih aku sukai.” [Fathul Bari, 4/253]
2.      Ibn Hibban (wafat 354 H) berkata, “Sesungguhnya tarawih itu pada mulanya adalah 11 raka’at dengan bacaan yang sangat panjang hingga memberatkan mereka. Kemudian mereka meringankan bacaan dan menambah bilangan raka’at, menjadi 23 raka’at dengan bacaan sedang. Setelah itu mereka meringankan bacaan dan menjadikan tarawih dalam 36 raka’at tanpa witr.” [Fiqhus Sunnah, 1/174]
3.      Al Kamal Ibnul Humam mengatakan,”Dalil-dalil yang ada menunjukkan, bahwa dari 20 raka’at itu, yang sunnah adalah seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan sisanya adalah mustahab.” (Ibid, 1/175)
4.      Al Subkhi berkata, “Tarawih adalah termasuk nawafil. Terserah kepada masing-masing, ingin shalat sedikit atau banyak. Bolehjadi mereka terkadang memilih bacaan panjang dengan bilangan sedikit, yaitu 11raka’at. Dan terkadang mereka memilih bilangan raka’at banyak, yaitu 20 raka’atdaripada bacaan panjang, lalu amalan ini yang terus berjalan.” [Al Hawi,1/417]
5.      Ibn Taimiyah berkata, “Ia boleh shalat tarawih 20 raka’at sebagaimana yang mashur dalam madzhab Ahmad dan Syafi’i. Boleh shalat 36 raka’at sebagaimana yang ada dalam madzhab Malik. Boleh shalat 11 raka’at, 13 raka’at. Semuanya baik. Jadi banyaknya raka’at atau’ sedikitnya tergantung lamanya bacaan dan pendeknya.” Beliau juga berkata,”Yang paling utama itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang shalat. Jika mereka kuat 10 raka’at ditambah witir 3 raka’at sebagaimana yang diperbuat oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ramadhan dan di luar Ramadhan-maka ini yang lebih utama. Kalau mereka kuat 20 raka’at, maka itu afdhal dan inilah yang dikerjakan oleh kebanyakan kaum muslimin, karena ia adalah pertengahan antara 10 dan 40. Dan jika ia shalat dengan 40 raka’at, maka boleh, atau yang lainnya juga boleh. Tidak dimaksudkan sedikitpun dari hal itu, maka barangsiapa menyangka, bahwa qiyam Ramadhan itu terdiri dari bilangan tertentu, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang, maka ia telah salah.” [Majmu’ Al Fatawa, 23/113; Al Ijabat Al Bahiyyah, 22; Faidh Al Rahim Al Kalman,132; Durus Ramadhan,48]
6.      Al Tharthusi (451-520 H) berkata, Para sahabat kami (Malikiyah) menjawab dengan jawaban yang benar, yang bisa menyatukan semua riwayat. Mereka berkata,”Mungkin Umar pertama kali memerintahkan kepada mereka 11 raka’at dengan bacaan yang amat panjang. Pada raka’at pertama, imam membaca sekitar dua ratus ayat, karena berdiri lama adalah yang terbaik dalam shalat. Tatkala masyarakat tidak lagi kuat menanggung hal itu, maka Umar memerintahkan 23 raka’at demi meringankan lamanya bacaan. Dia menutupi kurangnya keutamaan dengan tambahan raka’at. Maka mereka membaca surat Al Baqarah dalam 8 raka’atatau 12 raka’at sesuai dengan hadits al a’raj tadi.”
Telah dikatakan, bahwa pada waktu itu imam membaca antara 20 ayat hingga 30 ayat. Hal ini berlangsung terus hingga yaumul Harrah (penyerangan terhadap Madinah oleh YazidIbn Mu’awiyyah) tahun 60 H maka terasa berat bagi mereka lamanya bacaan. Akhirnya mereka mengurangi bacaan dan menambah bilangannya menjadi 36 raka’at ditambah 3 witir. Dan inilah yang berlaku kemudian.

Bahkan diriwayatkan, bahwa yang pertama kali memerintahkan mereka shalat 36 raka’at ditambah dengan 3 witir ialah Khalifah Muawiyah Ibn Abi Sufyan (wafat 60 H). Kemudian hal tersebut dilakukan terus oleh khalifah sesudahnya. Lebih dari itu, Imam Malik menyatakan, shalat 39 raka’at itu telah ada semenjak zaman Khalifah Utsman Radhiyallahu anhu.
Kemudian Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (wafat 101 H) memerintahkan agar imam membaca 10 ayat pada tiap raka’at. Inilah yang dilakukan oleh para imam, dan disepakati oleh jama’ah kaum muslimin, maka ini yang paling utama dari segi takhfif (meringankan). [Lihat Al Hawadits, 143-145]
7.      Ada juga yang mengatakan, bahwa Umar Radhiyallahu anhu memerintahkan kepada dua sahabat, yaitu “Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari Radhiyallahu anhuma, agar shalat memimpin tarawih sebanyak 11 raka’at, tetapi kedua sahabat tersebut akhirnya memilih untuk shalat 21 atau 23 raka’at. [Durus Ramadhan, 47]
8.      Al Hafidz Ibn Hajar berkata, “Hal tersebut dipahami sebagai variasi sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan manusia. Kadang-kadang 11raka’at, atau 21, atau 23 raka’at, tergantung kesiapan dan kesanggupan mereka.Kalau 11 raka’at, mereka memanjangkan bacaan hingga bertumpu pada tongkat. Jika 23 raka’at, mereka meringankan bacaan supaya tidak memberatkan jama’ah. [Fathul Bari, 4/253]
9.      Imam Abdul Aziz Ibn Bazz mengatakan: “Diantara perkara yang terkadang samar bagi sebagian orang adalah shalat tarawih. Sebagian mereka mengira, bahwa tarawih tidak boleh kurang dari 20 raka’at. Sebagian lain mengira, bahwa tarawih tidak boleh lebih dari 11 raka’at atau 13 raka’at. Ini semua adalah persangkaan yang tidak pada tempatnya, bahkan salah; bertentangan dengan dalil. Hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan, bahwa shalat malam itu adalah muwassa’ (leluasa, lentur, fleksibel). Tidak ada batasan tertentu yang kaku. yang tidak boleh dilanggar. Bahkan telah shahih dari Nabi, bahwa beliau shalat malam 11 raka’at, terkadang 13 raka’at, terkadang lebihsedikit dari itu di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Ketika ditanya tentang sifat shalat malam,beliau menjelaskan: “dua rakaat-dua raka’at, apabila salah seorang kamu khawatir subuh, maka shalatlah satu raka’at witir, menutup shalat yang ia kerjakan.” [HR Bukhari Muslim]
Beliau tidak membatasi dengan raka’at-raka’at tertentu, tidak di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Karena itu, para sahabat Radhiyallahu anhum pada masa Umar Radhiyallahu anhu di sebagian waktu shalat 23 raka’at dan pada waktu yang lain 11 raka’at. Semua itu shahih dari Umar Radhiyallahu anhu dan para sahabat Radhiyallahu anhum pada zamannya.

Dan sebagian salaf shalat tarawih 36 raka’at ditambah witir 3 raka’at. Sebagian lagi shalat 41 raka’at. Semua itu dikisahkan dari mereka oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dan ulama lainnya. Sebagaimana beliau juga menyebutkan, bahwa masalah ini adalah luas (tidak sempit). Beliau juga menyebutkan, bahwa yang afdhal bagi orang yang memanjangkan bacaan, ruku’. sujud, ialah menyedikitkan bilangan raka’at(nya). Dan bagi yang meringankan bacaan, ruku’ dan sujud (yang afdhal) ialah menambah raka’at(nya). Ini adalah makna ucapan beliau. Barangsiapa merenungkan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pasti mengetahui, bahwa yang paling afdhal dari semuanya itu ialah 11 raka’at atau 13 raka’at. Di Ramadhan atau di luar Ramadhan. Karena hal itu yang sesuai dengan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kebiasaannya. Juga karena lebih ringan bagi jama’ah. Lebih dekat kepada khusyu’ dan tuma’ninah. Namun, barangsiapa menambah (raka’at), maka tidak mengapa dan tidak makruh,seperti yang telah lalu.”[Al Ijabat Al Bahiyyah, 17-18. Lihat juga Fatawa Lajnah Daimah, 7/194-198]

KESIMPULAN

Maka berdasarkan paparan di atas, saya bisa mengambil kesimpulan, antara lain:
1.      Shalat tarawih merupakan bagian dari qiyam Ramadhan, yang dilakukan setelah shalat Isya’ hingga sebelum fajar, dengan dua raka’at salam dua raka’at salam. Shalat tarawih memiliki keutamaan yang sangat besar. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya -dan para sahabat punmenjadikannya- sebagai syiar Ramadhan.
2.      Shalat tarawih yang lebih utama sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu bilangannya 11 raka’at. Inilah yang lebih baik. Seperti ucapan Imam Malik rahimahullah, “Yang saya pilih untuk diri saya dalam qiyam Ramadhan, ialah shalat yang diperintahkan oleh Umar Radhiyallahu anhu, yaitu 11 raka’at, yaitu (cara) shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun 11 adalah dekat dengan 13.” [Al Hawadits, 141]
3.      Perbedaan tersebut bersifat variasi, lebih dari 11 raka’at adalah boleh, dan 23 raka’at lebih banyak diikuti oleh jumhur ulama, karena ada asalnya dari para sahabat pada zaman Khulafaur Rasyidin, dan lebih ringan berdirinya dibanding dengan 11 raka’at.
4.      Yang lebih penting lagi adalah prakteknya harus khusyu’, tuma’ninah. Kalau bisa lamanya sama dengan tarawihnya ulama salaf, sebagai pengamalan hadits “Sebaik-baik shalat adalah yang panjang bacaanya”.
Semoga tulisan ini bermanfaat. Jika benar, maka itu dari Allah. Dan jika salah, maka itu murni dari al faqir.
Ya Allah bimbinglah kami kepada kecintaan dan ridhaMu. Dan antarkanlah kami kepada Ramadhan dengan penuh aman dan iman, keselamatan dan Islam.