Minggu, 07 Agustus 2016

Advokasi dalam Layanan Bimbingan dan Konseling

Kompetensi Advokasi Guru BK
Sebelum memaparkan lebih jauh tentang advokasi dalam layanan Bimbingan dan Konseling, terlebih dahulu mari kita lihat gagasan tentang pergerakan paradigma bimbingan dan konseling  yang disampaikan Carol A. Dahir dan Carolyn B. Stone (Moh. Surya, 2012) dalam tabel di bawah ini:
MASA LALU MASA KINI MASA DEPAN
Layanan konseling sekolah di abad 20:  Transformasi konseling sekolah dengan visi baru praktik proaktif: Program konseling yang intensional dan bertujuan, terpadu dengan program pendidikan:
  • Counseling
  • Counsultation
  • Coordination:
  • Counseling
  • Consultation
  • Coordination
  • Leadership
  • Advocacy
  • Teaming and Collaboration
  • Assesment and use of data
  • Technology
  • Counseling
  • Consultation
  • Coordination
  • Leadership
  • Social justice advocacy
  • Teaming and collaboration
  • Assesment and use of data
  • Technology
  • Acountability
  • Cultural mediation
  • Systemic change agent
Pemikiran Carol A. Dahir dan Carolyn B. Stone di atas memberi gambaran bahwa advokasi merupakan bagian penting dari konsep dan praktik layanan bimbingan dan konseling pada masa kini dan pada masa yang akan datang. Berkenaan dengan Advokasi dalam layanan Bimbingan dan Konseling, Fred Bemak mengatakan bahwa: “Advocacy is not an adjunct piece; it’s a core, fundamental piece of any counseling we do with anybody” (Laurie Meyer, 2014). Sementara itu, Myers, et. al (Christine E. Murray and Amber L. Pope, 2010) mengemukakan bahwa advokasi bagi seorang guru BK/Konselor merupakan “a professional imperative“.

Dalam tulisannya yang berjudul “Advocacy and the Professional School Counselor“, Sue Farran (2014) menyoroti tentang implementasi advokasi bahwa advokasi bukanlah sekedar mengajukan berbagai tuntutan dan “berteriak-teriak tak menentu”, melainkan sebagai upaya berbagi (sharing) peran antara guru BK/konselor dengan para guru, administrator, komite sekolah, dan legislator. Kepada mereka, kita menunjukkan bagaimana kita dapat membantu mereka untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan.
Upaya advokasi membutuhkan pengetahuan dan keterampilan khusus. American Counseling Association (ACA) telah merumuskan domain Kompetensi Advokasi Konselor di Amerika, yang divisualisasikan dalam gambar di bawah ini:
Gambar di atas menunjukkan bahwa ranah kompetensi advokasi konselor mencakup tiga wilayah yang merentang dari tataran mikro sampai dengan tataran makro:
  1. Konseli/Peserta didik, terdiri dari: (a) pemberdayaan konseli/peserta didik; dan (b) advokasi konseli/peserta didik.
  2. Sekolah/masyarakat, terdiri dari: (a) kolaborasi komunitas dan (b) advokasi sistem.
  3. Arena publik, terdiri dari: (a) informasi publik dan (b) advokasi politik/sosial.
(Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat dalam tautan ini: Domain Kompetensi Advokasi).
Berkaitan dengan kebijakan Bimbingan dan Konseling di Indonesia, dalam Permendikbud No. 111 Tahun 2014 tentang Layanan Bimbingan dan Konseling disebutkan bahwa advokasi adalah layanan bimbingan dan konseling yang dimaksudkan untuk memberi pendampingan peserta didik/konseli yang mengalami perlakuan tidak mendidik, diskriminatif, malpraktik, kekerasan, pelecehan, dan tindak kriminal.

Meski dalam Permendikbud No. 111 Tahun 2014 kita hanya mendapatkan informasi yang amat terbatas tentang advokasi, tetapi diharapkan dalam implementasinya, Guru BK/Konselor mampu memaknai dan menterjemahkannya lebih jauh lagi. Dalam arti, Guru BK mampu melaksanakan advokasi pada tataran mikro maupun makro. Guru BK/Konselor seyogyanya mampu: (1) memberdayakan peserta didik (konseli) dengan membantu mereka membangun keterampilan advokasi, (2) melakukan upaya negosiasi  yang relevan guna membantu peserta didik (konseli) mengakses sumber daya, (3) membangun hubungan kolaboratif dengan lembaga masyarakat yang relevan guna mengatasi berbagai tantangan, (4) melaksanakan gagasan advokasi pada level sistem, (5) mengkomunikasikan informasi yang relevan kepada publik, dan (6) melibatkan diri dalam kegiatan advokasi sosial/politik.

Kesuksesan Guru BK/Konselor dalam melaksanakan advokasi, selain memberi dampak terhadap kesejahteraan dan keadilan bagi peserta didik dan lingkungannya, juga dengan sendirinya akan membantu meningkatkan kepercayaan publik terhadap layanan Bimbingan dan Konseling dan sekolah, terhadap profesi Guru BK/Konselor secara keseluruhan dan tentu saja terhadap Guru BK/Konselor yang bersangkutan, bahwa dirinya adalah seorang yang profesional.
If we don’t promote ourselves, we will be gone. Need to help ourselves first if we are to be there to help our students” demikian nasehat dari Sue Farran kepada kita, para Guru BK/Konselor.

Permendikbud Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) Kurikulum 2013 SD, SMP, SMA



Menciptakan Iklim Sekolah yang Aman dan Nyaman dengan 5 Permendikbud

Menciptakan Iklim Sekolah yang Aman dan Nyaman dengan 5 Permendikbud
Bagaimana menciptakan iklim sekolah yang aman dan nyaman. Adapun yang menjadi prinsip atau landasan untuk menciptakan atmosfer tersebut adalah dengan 5 (lima) Permendikbud. Sudah menjadi maklum bahwa dalam kehidupan ini kita dituntut untuk terus berjalan bahkan jika diperlukan harus berlari. Karena kehidupan ini tidak akan berubah ketika kita hanya diam dan tidak melakukan inovasi-inovasi yang sistematis.

Berhubungan dengan bagaimana menciptakan iklim sekolah yang aman dan nyaman, kita sadari bahwa setiap individu, organisasi, bahkan lembaga pendidikan pasti memiliki tugas dan tanggung jawab yang harus diimplemtasikan untuk mencapai tujuannya. Dalam hal ini sekalah dengan seluruh perangkat-perangkatnya dari mulai kepala sekolah, tenaga pendidik dan kependidikan, sampai pada penjaga sekolah juga harus melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya untuk menciptakan iklim sekolah yang aman dan nyaman. Oleh karena itu, pemerintah membuat peraturan atau rambu-rambu yang harus sekolah aplikasikan berupa Permendikbud mengenai hal tersebut. Rambu-rambu ini dimaksudkan tidak lain hanya untuk mensupport keberhasilan siswa dalam belajar.

Ide tentang sekolah yang efektif sebagian muncul sebagai reaksi dan tantangan terhadap tuduhan bahwa madrasah atau sekolah dan guru bukanlah merupakan faktor penentu keberhasilan siswa (Creemers dan Reezigt, 1996; Reynolds, 1985). Jurnal-jurnal penelitian pendidikan tahun 60-an dan pertengahan 70-an secara umum memuat hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kamampuan kognitif dan prestasi siswa lebih bergantung kepada kemampuan intelektual bawaan dan latar belakang keluarga ketimbang guru dan sekolah tempat mereka belajar. Tetapi studi ulang mendalam terhadap jurnal-jurnal tersebut menunjukkan sebaliknya. Lalu peraturan atau rambu-rambu apa saja yang pemerintah buat sebagai usaha untuk menciptakan iklim sekolah yang aman dan nyaman itu? Berikut ini 5 Permendikbud sebagai prinsip menciptakan sekolah yang aman dan nyaman

Prinsip Menciptakan Sekolah Aman dan Nyaman

Setidaknya ada lima regulasi yang dikeluarkan Kemendikbud untuk mendukung terciptanya suasana sekolah yang aman, nyaman, dan menyenangkan. Regulasi tersebut berupa Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) yang dikeluarkan pada tahun 2015 dan 2016.
Kelima Permendikbud yang diterbitkan untuk mewujudkan sekolah aman dan nyaman adalah Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, Permendikbud No. 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah, Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, Permendikbud No. 8 Tahun 2016 tentang Buku yang Digunakan oleh Satuan Pendidikan, dan Permendikbud No. 18 Tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah Bagi Siswa Baru.
 
 
Permendikbud No. 23 Tahun 2015 mengatur tentang kegiatan sehari-hari di sekolah yang harus diterapkan, antara lain membaca buku non-pelajaran sekitar 15 menit sebelum jam pelajaran pertama dimulai, dan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan/atau satu lagu wajib nasional saat memulai pelajaran, serta mengakhiri pelajaran dengan menyanyikan lagu daerah.
Permendikbud No. 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah bertujuan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang bersih, sehat, dan bebas rokok. Untuk mendukung kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah, sekolah wajib memasang tanda kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah. Kepala sekolah juga wajib menegur dan/atau memperingatkan dan/atau mengambil tindakan terhadap guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik yang merokok di sekolah.
Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan dimaksudkan untuk menciptakan kondisi proses pembelajaran yang aman, nyaman, dan menyenangkan, serta menghindarkan semua warga sekolah dari unsur-unsur atau tindakan kekerasan. Permendikbud ini juga mengatur sanksi yang bisa dikenakan terhadap peserta didik yang melakukan tindakan kekerasan, atau sanksi terhadap satuan pendidikan dan kepala sekolah, jika masih terdapat praktik kekerasan di lingkungan sekolahnya. Selain itu, sekolah juga diwajibkan memasang papan layanan pengaduan tindak kekerasan pada serambi satuan pendidikan yang mudah diakses oleh peserta didik, orang tua/wali, guru/tenaga kependidikan, dan masyarakat.
Permendikbud No. 8 Tahun 2016 tentang Buku yang Digunakan oleh Satuan Pendidikan, mengatur agar buku yang digunakan di sekolah memuat Informasi tentang pelaku penerbitan pada bagian akhir buku, ayitu berupa informasi tentang Penulis, Editor, Illustrator, Penelaah, Konsultan, Reviewer, dan Penilai yang antara lain meliputi: nama lengkap, gelar akademis, riwayat pendidikan, alamat kantor atau alamat rumah, nomor telepon kantor dan/atau telepon genggam, akun facebook, dan alamat posel (email).
Dan yang terbaru adalah Permendikbud No. 18 Tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah Bagi Siswa Baru. Permendikbud ini khusus mengatur tentang larangan tindakan perploncoan yang kerap terjadi di masa orientasi siswa saat tahun pelajaran baru dimulai.

Demikianlah ulasan mengenai Menciptakan Iklim Sekolah yang Aman dan Nyaman dengan 5 Permendikbud. Semoga bisa dipahami dan diimplementasikan sekolah dalam rangka menciptakan sekolah yang aman dan nyaman guna mendukung keberhasilan belajar siswanya.

Sabtu, 06 Agustus 2016

Pandemi Pendidikan : Menyontek

Menyontek adalah satu istilah yang begitu terkenal dalam dunia pendidikan zaman sekarang. Mulai dari Anak Sekolah dasar hingga mahasiswa pascasarjana banyak yang terjerat dalam penyakit yang mematikan intelektualitas dan karakter ini. Untuk Indonesia, kecilnya angka kejujuran di UNAS seolah menjadi tanda-tanda bahwa menyontek adalah bencana nasional. Darurat nasional sepertinya harus segera diberlakukan.
Menyontek bukan hanya bencana nasional, namun telah menjadi pandemi atau bencana internasional. Seperti misalnya di Amerika Serikat, berdasarkan laporan penelitian yang dilakukan Profesor Donald McCabe dari Rutgers University pada tahun 2005, ditemukan bahwa 70% dari siswa SMA sampel penelitiannya ternyata sering melakukan menyontek dalam ujian. Kemudian 60% menyatakan sering mengopi (plagiasi) tugas-tugas artikel atau makalah. 
Kasus di Inggris yang menghebohkan adalah laporan mengenai 50.000 mahasiswa (dalam tiga tahun) tertangkap menyontek. Adapun angka menyontek tertinggi terdapat pada University of Kent. Disusul kemudian oleh University of Westmenster.
Peristiwa menyontek di ujian dan plagiasi menjadi semakin parah dengan semakin canggihnya teknologi informasi. Internet dan smartphone, dengan ukuran mini dapat menjangkau berbagai macam informasi dari seluruh dunia dengan cepat. Hal ini diperparah, terutama di daerah pinggiran, oleh kemampuan guru untuk beradaptasi dengan teknologi masih kalah dari siswa.
Mengapa ketidakjujuran akademik alias menyontek dilakukan? Sebuah penelitian psikologi yang dilakukan oleh Charles Drake pada tahun 1941 dan 1969 menyebutkan bahwa sebab utama aktivitas menyontek adalah tekanan dan rasa takut untuk gagal. Tekanan dan rasa takut pada anak-anak sekolah biasanya didapatkan dari orang tua yang kurang mengerti kondisi anak dan memberi mereka target yang tidak sesuai.
Tuntutan yang tidak realistis dari orang tua dapat menyebabkan anak menyontek
Bagi orang yang sudah lebih dewasa, kemungkinan menyontek bukan lagi berasal dari tekanan orang tua. Bisa jadi karena menyontek telah menjadi kebiasaan, pengaruh teman-teman sesama mahasiswa, keinginan berprestasi namun tidak mampu-malas dan juga peluang besar untuk melakukannya. Tentu saja sebab-sebab dari dalam diri sendiri lebih besar pengaruhnya daripada sebab-sebab eksternal seperti teman dan kesempatan.
Rujukan:
https://en.wikipedia.org/wiki/Cheating
http://www.independent.co.uk/student/news/uk-universities-in-plagiarism-epidemic-as-almost-50000-students-caught-cheating-over-last-3-years-a6796021.html

Pertanyaan untuk Pemahaman Siswa

Komunikasi merupakan kunci pembelajaran. Berbagai kemampuan atau keterampilan diajarkan oleh guru kepada siswa melalui proses komunikasi. Bagaimana partisipasi siswa dalam komunikasi di kelas menunjukkan kualitas pembelajaran. Semakin tinggi partisipasi siswa untuk berkomunikasi secara positif di dalam pembelajaran merupakan salah satu indikator bahwa proses pembelajaran telah berjalan dengan baik.
 
Guru Bertanya saat Pembelajaran
(Sumber: Cooper, 2011)
 
Siswa seringkali tidak berani untuk aktif di kelas. Untuk itulah guru harus memancing prtisipasi mereka. Guru harus pandai menyelipkan pertanyaan-pertanyaan dalam aktivitas mengajarnya. Melalui pertanyaan yang dilontarkan itu diharapkan siswa akan menjawab, berpendapat, menyanggah pendapat yang lain atau bahkan muncul pertanyaan lanjutan. Jika hal tersebut terjadi, maka kelas akan ramai, artinya partisipasi siswa dalam pembelajaran akan tinggi.
Berdasarkan penelitian yang banyak dilakukan, diperoleh temuan bahwa guru telah banyak menggunakan pertanyaan di dalam pembelajaran. Namun sayangnya, pertanyaan sebagian besar masih didominasi oleh pertanyaan tingkat rendah. Yaitu pertanyaan yang hanya mendorong siswa untuk mengingat atau menghafal materi yang telah disampaikan sebelumnya. Masih jarang guru menggunakan pertanyaan-pertanyaan tingkat tinggi, artinya pertanyaan yang mendorong siswa untuk berpikir. 
Contoh-contoh pertanyaan tingkat rendah adalah apa nama bagian bunga yang berfungsi untuk menarik serangga untuk hinggap? Siapa pencetus teori evolusi? atau jelaskan apa yang dimaksud dengan proses fotosintesis! Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut siswa hanya butuh mengingat kembali apa yang telah disampaikan sebelumnya oleh guru atau apa yang telah ia baca di buku.
Untuk mengetahui pemahaman siswa sebaiknya guru tidak hanya menggunakan pertanyaan-pertanyaan tingkat rendah. Variasi pertanyaan dibutuhkan untuk memperoleh gambaran mengenai pemahaman siswa, apakah mereka hanya dapat menghafal atau telah memahami materi secara mendalam. Tentu saja yang paling parah adalah mereka yang untuk mengingat materi pun tidak bisa. 
Beberapa contoh pertanyaan tingkat tinggi antara lain, Mengapa para petani mengganti tanaman mereka seiring dengan pergantian musim? atau Bagaimana kondisi hewan-hewan di kepulauan galapagos dapat mengarahkan Darwin menyusun teori evolusi? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu membuat siswa harus menggabung beberapa informasi dan mengolahnya sebelum dapat menjawab pertanyaan. Jawaban tidak dapat langsung siswa sampaikan hanya dengan mengingat suatu informasi. Kecuali tentu saja pertanyaan tersebut telah pernah dibahas dan siswa hanya mengulangi jawabannya.
Untuk memancing partisipasi siswa, sebaiknya pertanyaan dibuat menarik dan bervariasi. Misalnya dengan menghubungkan teori dan kasus terbaru yang terjadi di sekitar siswa. Penggunaan gambar atau benda-benda nyata kemudian memberi pertanyaan terkait dengan gambar atau benda nyata tersebut juga dapat memancing lebih banyak partisipasi.
Satu hal yang perlu diperhatikan guru ketika menggunakan pertanyaan tingkat tinggi adalah mengetahui level kemampuan dan pengetahuan siswa. Pertanyaan yang diberikan sebaiknya tidak terlalu mudah sehingga membuat siswa tidak tertarik, namun juga tidak terlalu sulit sehingga siswa stres dan malas untuk ikut berpartisipasi. Menurut Vygotsky, pertanyaan sebaiknya diberikan berada pada zona perkembangan proksimal (setingkat di atas pengetahuan siswa, namun masih mungkin untuk mereka upayakan).
Buku Rujukan:
Cooper, James M. 2011. Classroom Teaching Skill. Edisi Sembilan. Belmont: Wadsworth Cengage Learning

Ciri-ciri Sekolah yang Baik menurut William Glasser

"Anak-anak bermasalah kedisiplinan tidak akan muncul di sekolah atau kelas yang dapat memenuhi kebutuhan mereka" (Gough, 1987).

Ketika sebuah sekolah telah menyediakan sebagian besar kebutuhan psikologis siswa maka kecil kemungkinan bagi mereka untuk secara sengaja melakukan pelanggaran-pelanggaran kedisiplinan. Demikian pula akhirnya guru menjadi tidak terlalu stres oleh permasalahan manajemen kelas. 
Kita bayangkan saja sebuah tembat berbelanja yang telah mencukupi berbagai kebutuhan para konsumennya, maka kondisi tempat tersebut akan relatif tenang dan tanpa kegaduhan. Namun jika kebutuhan-kebutuhan tertentu tinggal sedikit sementara pembelinya banyak maka kegaduhan bahkan konflik akan muncul. 
Bagaimana sekolah yang bagus itu? Glasser menyatakan dengan ringkas bahwa sekolah yang bagus adalah tempat dimana hampir semua siswa yakin jika mereka mengerjakan tugas-tugas dan aktivitas yang diberikan maka itu akan memenuhi kebutuhan atau keinginan mereka, sehingga perasaan itu akan terus mempertahankan mereka untuk beraktivitas.
Selanjutnya Glasser juga memaparkan beberapa ciri penting dari sekolah yang bagus seperti pada definisinya di atas.
  1. Hampir semua anggota sekolah, terutama orang-orang dewasa, bersikap sopan. Semakin dewasa semakin menunjukkan kesopanan.
  2. Sering terdengar suara tawa yang muncul karena keasyikan dalam aktivitas-aktivitas belajar atau mengajar mereka (jadi yang menikmati bukan hanya siswa namun juga para guru).
  3. Pengajaran dipraktikkan, tidak hanya disampaikan atau dinasehatkan. Pengajaran pada aspek akademik atau moral tidak hanya bersifat teoretis tetapi langsung diterapkan dalam kenyataan. Aturan di sekolah dibentuk bersama, bukan bersifat pemaksaan sepihak.
  4. Struktur sekolah secara aktif mendukung dan berpartisipasi dalam upaya-upaya untuk menumbuhkan kedisplinan dan tanggung jawab.
Keceriaan guru dan siswa dalam aktivitas belajar-mengajar adalah salah satu ciri sekolah yang baik
Buku Rujukan:
Tauber, Robert T. 2007. Classroom Management, Sound Theory and Effective Practice. Westport: PRAEGER

Teori Manajemen Jacob Kounin untuk Pengelolaan Kelas

Salah satu teori manajemen kelompok yang sangat berpengaruh bagi para pendidik adalah teori manajemennya Jacob Kounin (seorang ahli psikologi pendidikan asal Ohio, Amerika Serikat). Dalam teori ini suatu kelompok (kelas dimana guru mengajar) dianggap sebagai suatu kelompok sosial kecil, dimana setiap interaksi yang terjadi akan selalu berpengaruh terhadap keseluruhan anggota kelompok. Agar kelas dapat berjalan dan mencapai tujuan-tujuannya maka seorang guru harus menunjukkan karakter sebagai seorang pemimpin yang baik.
Lima karakter kelas berdasarkan teori Kounin adalah sebagai berikut:
1. Menghindari kebosanan siswa
2. Transisi antara satu tugas dengan aktivitas yang lain berjalan halus
3. Semua siswa tetap fokus (konsentrasi)
4. Guru mengetahui kejadian di seluruh kelas.
5. Guru sadar bahwa interaksi dengan setiap siswa akan berpengaruh terhadap keseluruhan siswa
Menghindari situasi yang membosankan, guru diharapkan menggunakan metode atau media pengajaran yang bervariasi. Ketika siswa terlibat di dalam suatu pembelajaran yang menyenangkan serta mereka ketahui manfaatnya (bermakna) biasanya sangat jarang muncul permasalahan perilaku siswa di dalam kelas. Kecepatan mengajar juga perlu diperhatikan, berdasarkan banyak penelitian lebih baik pembelajaran berjalan agak cepat dari pada terlalu lambat. Namun transisi aktivitasnya harus berjalan dengan halus, artinya tidak tergesa-gesa dan sistematis.
Siswa tetap fokus umumnya ketika mereka berada dalam aktivitas pembelajaran. Ketika aktivitas telah selesai, atau menunggu aktivitas berikutnya, umumnya permasalahan-permasalahan perilku akan muncul. Oleh karena itu berbagai aktivitas belajar yang telah direncanakan guru sebaiknya tidak menyediakan terbanyak banyak waktu kosong atau menunggu.
Guru sebagai pemimpin yang baik juga mengetahui berbagai kejadian di setiap sudut kelasnya. Jangan sampai ada bagian yang terabaikan. Kounin menyatakan bahwa keterampilan ini membuat guru seperti memiliki mata di bagian belakang kepalanya. Ketika terjadi suatu permasalahan di salah satu bagian kelas, ia cepat tanggap dan segera melakukan penyelesaian sebelum masalah menjadi tambah serius.
Guru harus sadar bahwa setiap interaksi yang ia lakukan dengan salah seorang siswa akan berpengaruh terhadap siswa yang lain. Oleh karena itu ketika menegur atau menyelesaikan permasalahan yang dilakukan oleh salah seorang siswa, guru melakukannya dengan adil, tegas namun tidak mendatangkan dendam.

 Dengan demikian semua siswa di dalam kelas akan mendapatkan pelajaran yang baik dari peristiwa tersebut. Demikian pula ketika guru memberikan pujian atau penghargaan kepada salah seorang siswa, secara psikologis hal tersebut juga mempengaruhi siswa-siswa lain.