Rabu, 07 Juni 2017

SHALAT TARAWIH NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DAN SALAFUSH SHALIH





Shalat tarawih adalah bagian dari shalat nafilah (tathawwu’). Mengerjakannya disunnahkan secara berjama’ah pada bulan Ramadhan, dan sunnah muakkadah. Disebut tarawih, karena setiap selesai dari empat rakaat, para jama’ah duduk untuk istirahat.
Tarawih adalah bentuk jama’ dari tarwihah. Menurut bahasa berarti jalsah (duduk). Kemudian duduk pada bulan Ramadhan setelah selesai dari empat raka’at disebut tarwihah; karena dengan duduk itu, orang-orang bisa istirahat dari lamanya melaksanakan qiyam Ramadhan.

Bahkan para salaf bertumpu pada tongkat, karena terlalu lamanya berdiri. Dari situ,kemudian setiap empat raka’at, disebut tarwihah, dan kesemuanya disebut tarawih secara majaz.
Aisyah Radhiyallahu anhuma ditanya: “Bagaimana shalat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan?” Dia menjawab, “Beliau tidak pemah menambah -di Ramadhan atau di luarnya- lebih dari 11 raka’at. Beliau shalat empat rakaat, maka jangan ditanya tentang bagusnya dan lamanya. Kemudian beliau shalat 3 raka’at.” [HR Bukhari]
.
Kata ثم (kemudian), adalah kata penghubung yang memberikan makna berurutan, dan adanya jeda waktu.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat empat raka’at dengan dua kali salam, kemudian beristirahat. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Adalah Rasulullah melakukan shalat pada waktu setelah selesainya shalat Isya’, hingga waktu fajar, sebanyak 11 raka’at, mengucapkan salam pada setiap dua raka’at, dan melakukan witir dengan saturaka’at.” [HR Muslim].
Juga berdasarkan keterangan Ibn Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa seseorang bertanya, “Wahai 

Rasulullah,bagaimana shalat malam itu?” Beliau menjawab,
مَشْنَى مَشْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِِرْ بِوَا حِدَةِ
“Yaitu dua raka’at-dua raka’at, maka apabila kamu khawatir (masuk waktu) shubuh, berwitirlah dengan satu raka’at. [HR Bukhari]
Dalam hadits Ibn Umar yang lain disebutkan:
صَلاَةُ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ رَكْعَتَانِ رَكْعَتَانِ
“Shalat malam dan siang dua raka’at-dua raka’at”. [HR Ibn Abi Syaibah. Ash Shalah, 309; At Tamhid, 5/251; Al Hawadits, 140-143; Fathul Bari, 4/250; Al Ijabat Al Bahiyyah,18; Al Muntaqa,4/49-51]
FADHILAH SHALAT TARAWIH

1.Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانَا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْذنْبِه
“Barang siapa melakukan qiyam (lail) pada bulan Ramadhan, karena iman dan mencari pahala, maka diampuni untuknya apa yang telah lalu dari dosanya.”

Maksud qiyam Ramadhan, secara khusus, menurut Imam Nawawi adalah shalat tarawih. Hadits ini memberitahukan, bahwa shalat tarawih itu bisa mendatangkan maghfirah dan bisa menggugurkan semua dosa; tetapi dengan syarat karena bermotifkan iman; membenarkan pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala tersebut dari Allah. Bukan karena riya’ atau sekedar adat kebiasaan. [Fathul Bari 4/251; Tanbihul Ghafilin 357-458; Majalis Ramadhan, 58; AtTamhid, 3/320; AI Ijabat Al Bahiyyah, 6]

Hadits ini dipahami oleh para salafush shaalih, termasuk oleh Abu Hurairah sebagai anjuran yang kuat dari Rasulullah untuk melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih, tahajud, dan lain-lain). [At Tamhid, 3/311-317: Sunan Abi Daud, 166]

2. Hadits Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu anhu,
إِِنَّ رَمَضَانَ شَهْرٌ فَرَضَ اللَّهُ صِيَامَهُ وَإِنِّي سَنَنْتُ لِلْمُسلِمِيْنَ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِعيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنَْ الذُّنُوبْ كَيَوْم وَلَدَتْهُ أُمُّه
“Sesungguhnya Ramadhan adalah bulan dimana Allah mewajibkan puasanya, dan sesungguhnya aku menyunnahkan qiyamnya untuk orang-orang Islam. Maka barang siapa berpuasa Ramadhan dan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka ia (pasti) keluar dari dosa-dosanya sebagaimana pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.(HR : Ahmad, Ibnu Majah. Al Bazzar, Abu Ya’la dan Abdur Razzaqmeriwayatkannya dari Abu Hurairah.)
Al Albani berkata, “Yang shahih hanya kalimat yang kedua saja, yang awal dha’if.”[Lihat Sunan lbn Majah, 146,147; AlIjabat Al Bahiyyah, 8-10]

3. Hadits Abu Dzar Radhiyallahu anhu,
مَنْ قَامَ مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَة
“Barang siapa qiyamul lail bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya (pahala) qiyam satu malam (penuh).” [HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibn Majah, Nasa’i, dan lain-lain, Hadits shahih. Lihat Al ljabat Al Bahiyyah, 7]
Hadits ini sekaligus juga memberikan anjuran, agar melakukan shalat tarawih secara berjamaah dan mengikuti imam hingga selesai.
Ada sebagian orang berpendapat,shalat Tarawih berjama’ah baru dikerjakan pada zaman khalifah Umar binKhaththab. Benarkah demikian? Mari kita tengok sejarah melalui hadits-hadits serta riwayat-riwayat shahih apa yang terjadi pada zaman Nabi dan bagaimana yang terjadi pada masa Khulafa’ur Rasyidin.

SHALAT TARAWIH PADA ZAMAN NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan dan memimpin shalat tarawih. Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan fadhilahnya, dan menyetujui jama’ah tarawih yang dipimpin oleh sahabat Ubay bin Ka’ab. Berikut ini adalah dalil-dalil yang menjelaskan, bahwa shalat tarawih secara berjama’ah disunnahkan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan dilakukan secara khusyu’ dengan bacaan yang panjang.
1.      Hadits Nu’man bin Basyir, Radhiyallahu anhu : Ia berkata: “Kami melaksanakan qiyamul lail (tarawih) bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam 23 bulan Ramadhan, sampai sepertiga malam. Kemudian kami shalat lagi bersama beliau pada malam 25 Ramadhan (berakhir) sampai separoh malam. Kemudian beliau memimpin lagi pada malam 27 Ramadhan sampai kami menyangka tidak akan sempat mendapati sahur.” [HR. Nasa’i, Ahmad, Al Hakim. Shahih]
2.      Hadits Abu Dzar Radhiyallahu anhu : Ia berkata: “Kami puasa, tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memimpin kami untuk melakukan shalat (tarawih), hingga Ramadhan tinggal tujuh hari lagi, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat, sampai lewat sepertiga malam. Kemudian beliau tidak keluar lagi pada malam ke enam. Dan pada malam ke lima,beliau memimpin shalat lagi sampai lewat separoh malam. Lalu kami berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Seandainya engkau menambah lagi untuk kami sisa malam kita ini?’, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersada,

3.      مَنْ قَامَ مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَة

Barang siapa shalat (tarawih) bersama imam sampai selesai. maka ditulis untuknya shalat satu malam (suntuk).’
Kemudian beliau ٍShallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memimpin shalat lagi, hingga Ramadhan tinggal tiga hari. Maka beliau memimpin kami shalat pada malam ketiga. Beliau mengajak keluarga dan istrinya. Beliau mengimami sampai kami khawatir tidak mendapat falah. saya (perawi) bertanya, apa itu falah? Dia (Abu Dzar) berkata, “Sahur.”[HR Nasai, Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Daud, Ahmad. Shahih]
3        Tsa’labah bin Abi Malik Al Qurazhi Radhiyallahu anhu berkata: “Pada suatu malam, di malam Ramadhan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah, kemudian beliau melihat sekumpulan orang disebuah pojok masjid sedang melaksanakan shalat. Beliau lalu bertanya, ‘Apa yang sedang mereka lakukan?’ Seseorang menjawab, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak membaca Al Qur’an, sedang Ubay bin Ka’ab ahli membaca Al Qur’an, maka mereka shalat (ma’mum) dengan shalatnya Ubay.’ Beliau lalu bersabda,
قَدْ أَحْسَنُوْا وَقَدْ أَصَابُوْا
‘Mereka telah berbuat baik dan telah berbuat benar.’ Beliau tidak membencinya.”[HR Abu Daud dan Al Baihaqi, ia berkata: Mursal hasan. Syaikh Al Albani berkata, “Telah diriwayatkan secara mursal dari jalan lain dari Abu Hurairah,dengan sanad yang tidak bermasalah (bisa diterima).”. [Shalat At Tarawih, 9]

SHALAT TARAWIH PADA ZAMAN KHULAFA’UR RASYIDIN
1.      Para sahabat Rasulullah, shalat tarawih di masjid Nabawi pada malam-malam Ramadhan secara awza’an (berpencar-pencar). Orang yang bisa membaca Al Qur’an ada yang mengimami 5 orang, ada yang 6 orang, ada yang lebih sedikit dari itu, dan ada yang lebih banyak. Az Zuhri berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, orang-orang shalat tarawih dengan cara seperti itu. Kemudian pada masa Abu Bakar, caranya tetap seperti itu; begitu pula awal khalifah Umar.”
2.      Abdurrahman bin Abdul Qari’ berkata, “Saya keluar ke masjid bersama Umar Radhiyallahu anhu pada bulan Ramadhan. Ketika itu orang-orang berpencaran; ada yang shalat sendirian, dan ada yang shalat dengan jama’ah yang kecil (kurang dari sepuluh orang). Umar berkata, ‘Demi Allah, saya melihat (berpandangan),seandainya mereka saya satukan di belakang satu imam, tentu lebih utama,’ Kemudian beliau bertekad dan mengumpulkan mereka di bawah pimpinan Ubay bin Ka’ab. Kemudian saya keluar lagi bersama beliau pada malam lain. Ketika itu orang-orang sedang shalat di belakang imam mereka. Maka Umar Radhiyallahu anhu berkata,’Ini adalah sebaik-baik hal baru.’ Dan shalat akhir malam nanti lebih utama dari shalat yang mereka kerjakan sekarang.” Peristiwa ini terjadi pada tahun 14H.
3.      Umar Radhiyallahu anhu mengundang para qari’ pada bulan Ramadhan, lalu memberi perintah kepada mereka agar yang paling cepat bacaanya membaca 30 ayat (+/- 3 halaman), dan yang sedang agar membaca 25 ayat,adapun yang pelan membaca 20 ayat (+ 2 halaman).
4.      Al A’raj (seorang tabi’in Madinah,wafat 117 H) berkata, ;”Kami tidak mendapati orang-orang, melainkan mereka sudah melaknat orang kafir (dalam do’a) pada bulan Ramadhan.” la berkata, “Sang qari’ (imam) membaca ayat Al Baqarah dalam 8 raka’at. Jika ia telah memimpin 12 raka’at, (maka) barulah orang-orang merasa kalau imam meringankan.”
5.      Abdullah bin Abi Bakr berkata, “Saya mendengar bapak saya berkata,’Kami sedang pulang dari shalat (tarawih) pada malam Ramadhan. Kami menyuruh pelayan agar cepat-cepat menyiapkan makanan, karena takut tidak mendapat sahur’. ”
6.      Saib bin Yazid rahimahullah (Wafat 91 H) berkata, “Umar Radhiyallahu anhu memerintah Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari Radhiyallahu anhuma agar memimpin shalat tarawih pada bulan Ramadhan dengan 11 raka’at. Maka sang qari’ membaca dengan ratusan ayat, hingga kita bersandar pada tongkat karena sangat lamanya berdiri. Maka kami tidak pulang dari tarawih, melainkan sudah di ujung fajar.” [Fathul Bari, 4/250-254; Shalat At Tarawih, 11; Al ljabat Al Bahiyyah,15-18; Al Majmu’, 4/34]

BILANGAN RAKA’AT SHALAT TARAWIH DAN SHALAT WITIR

Mengenai masalah ini, diantara para ulama salaf terdapat perselisihan yang cukup banyak (variasinya) hingga mencapai belasan pendapat, sebagaimana di bawah ini.
1.      Sebelas raka’at (8 + 3 Witir),riwayat Malik dan Said bin Manshur.
2.      Tiga belas raka’at (2 raka’atringan + 8 + 3 Witir), riwayat Ibnu Nashr dan Ibnu Ishaq, atau (8 + 3 + 2),atau (8 + 5) menurut riwayat Muslim.
3.      Sembilan belas raka’at (16 + 3).
4.      Dua puluh satu raka’at (20 + 1),riwayat Abdurrazzaq.
5.      Dua puluh tiga raka’at (20 + 3),riwayat Malik, Ibn Nashr dan Al Baihaqi. Demikian ini adalah madzhab Abu Hanifah,Syafi’i, Ats Tsauri, Ahmad, Abu Daud dan Ibnul Mubarak.
6.      Dua puluh sembilan raka’at (28 +1).
7.      Tiga puluh sembilan raka’at (36 +3), Madzhab Maliki, atau (38 + 1).
8.      Empat puluh satu raka’at (38 +3), riwayat Ibn Nashr dari persaksian Shalih Mawla Al Tau’amah tentang shalatnya penduduk Madinah, atau (36 + 5) seperti dalam Al Mughni 2/167.
9.      Empatpuluh sembilan raka’at (40 +9); 40 tanpa witir adalah riwayat dari Al Aswad Ibn Yazid.
10.  Tiga puluh empat raka’at tanpa witir (di Basrah, Iraq).
11.  Dua puluh empat raka’at tanpa witir (dari Said Ibn Jubair).
12.  Enam belas raka’at tanpa witir.

BERAPA RAKA’AT TARAWIH RASULULLAH SHALLALLAHU A’ALAIHI WA SALLAM ?
 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan dan memimpin shalat tarawih, terdiri dari sebelas raka’at (8 +3). Dalilnya sebagai berikut.
1.      Hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma : ia ditanya oleh Abu Salamah Abdur Rahman tentang qiyamul lailnya Rasul pada bulan Ramadhan, ia menjawab:
إنَّهُ كَانَ لاَ يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ
“Sesungguhnya beliau tidak pernah menambah pada bulan Ramadhan, atau pada bulan lainnya. lebih dari sebelas raka’at. [HR Bukhari, Muslim]
Ibn Hajar berkata, “Jelas sekali, bahwa hadits ini menunjukkan shalatnya Rasul (adalah) sama semua di sepanjang tahun.”
2.      Hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan kami pada bulan Ramadhan 8 raka’at dan witir. Ketika malam berikutnya, kami berkumpul di masjid dengan harapan beliau shalat dengan kami. Maka kami terus berada di masjid hingga pagi, kemudian kami masuk bertanya, “Ya Rasulullah, tadi malam kami berkumpul di masjid, berharap anda shalat bersama kami,” maka beliau bersabda, “Sesungguhnya aku khawatir diwajibkan atas kalian. “[HR Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah, dihasankan oleh Al Albani. ShalatAt Tarawih, 18; Fath Al Aziz 4/265]
3.      Pengakuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang 8 raka’atdan 3 witir. Ubay bin Ka’ab datang kepada Rasulullah, lalu berkata,”Ya Rasulullah, ada sesuatu yang saya kerjakan tadi malam (Ramadhan). Beliau bertanya,”Apa itu, wahai Ubay?” Ia menjawab,”Para wanita di rumahku berkata,’Sesungguhnya kami ini tidak membaca Al Qur’an. Bagaimana kalau kami shalat dengan shalatmu?’ Ia berkata,”Maka saya shalat dengan mereka 8 raka’at dan witir. Maka hal itu menjadi sunnah yang diridhai. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan apa-apa.”[HR Abu Ya’la, Thabrani dan Ibn Nashr, dihasankan oleh Al Haitsami dan Al Albani. Lihat Shalat At-Tarawih, 68].
Adapun hadits-hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah shalat tarawih dengan 20 raka’at, maka haditsnya tidak ada yang shahih. [Fathul Bari, 4/254; Al Hawi. 1/413; Al Fatawa Al Haditsiyah, 1.195: ShalatAt Tarawih, 19-21]

BERAPA RAKAAT TARAWIH SAHABAT DAN TABIIN PADA MASA UMAR RADHIYALLAHU ANHU?
 
Ada beberapa riwayat shahih tentang bilangan raka’at shalat tarawih para sahabat pada zaman Umar Radhiyallahu anhu . Yaitu: 11 raka’at, 13 raka’at, 21 raka’at, dan 23 raka’at. Kemudian 39 raka’at juga shahih, pada masa Khulafaur Rasyidin setelah Umar; tetapi hal ini khusus di Madinah. Berikut keterangan pada masa Umar
1.      Sebelas raka’at.
Umar Radhiyallahu anhu memerintahkan kepada Ubay danTamim Ad Dari Radhiyallahu anhuma untuk shalat 11 raka’at. Mereka membaca ratusan ayat, sampai makmum bersandar pada tongkat karena kelamaan dan selesai hampir Subuh. Demikian ini riwayat Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib Ibn Yazid. Imam Suyuthi dan Imam Subkhi menilai, bahwa hadits ini sangat shahih. Syaikh Al Albani juga menilai, bahwa hadits ini shahih sekali.
2.      Tiga belas raka’at.
Semua perawi dari Muhammd Ibn Yusuf mengatakan 11 raka’at, kecuali Muhammad Ibn Ishaq. Ia berkata 13 raka’at (HR Ibn Nashr), akan tetapi hadits ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah yang mengatakan 11 raka’at. Hal ini bisa dipahami, bahwa termasuk dalam bilangan itu ialah 2 raka’at shalat Fajar, atau 2 raka’at pemula yang ringan, atau 8 raka’at ditambah 5 raka’at Witir.
3.      Dua puluh raka’at (ditambah 1 atau 3 raka’at Witir).
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Muhammad Ibn Yusuf dengan lafadz “21 raka’at” (sanad shahih). Al Baihaqi dalam As Sunan dan Al Firyabi dalam Ash Shiyam meriwayatkan dari jalur Yazid Ibn Khushaifah dari SaibIbn Yazid, bahwa mereka- pada zaman Umar di bulan Ramadhan shalat tarawih 20 raka’at. Mereka membaca ratusan ayat, dan bertumpu ‘pada tongkat pada zaman Utsman, karena terlalu lama berdiri.

Riwayat ini dishahihkan oleh Imam Al Nawawi, Al Zaila’i, Al Aini, Ibn Al Iraqi, Al Subkhi, As Suyuthi, Syaikh Abdul Aziz bin Bazz, dan lain-lain.
Sementara itu Syaikh Al Albani menganggap, bahwa dua riwayat ini bertentangan dengan riwayat sebelumnya, tidak bisa dijama’ (digabungkan). Maka beliau memakai metode tarjih (memilih riwayat yang shahih dan meninggalkan yang lain). Beliau menyatakan, bahwa Muhammad Ibn Yusuf perawi yang tsiqah tsabit (sangat terpercaya), telah meriwayatkan dari Saib Ibn Yazid 11 raka’at. Sedangkan Ibn Khushaifah yang hanya pada peringkat tsiqah (terpercaya) meriwayatkan 21 raka’at. Sehingga hadits Ibn Khushaifah ini -menurut beliau-adalah syadz (asing, menyalahi hadits yang lebih shahih). [Al Majmu’, 4/32; Shalat At Tarawih, 46; Al Ijabat Al Bahiyyah. 16-18]
Perlu diketahui, selain Ibn Khushaifah tadi, ada perawi lain, yaitu Al Harits Ibn Abdurrahman Ibn Abi Dzubab yang meriwayatkan dari Saib Ibn Yazid, bahwa shalat tarawih pada masa Umar 23raka’at. [HR Abdurrazzaq. Lihat At Tamhid 3/518-519]
Selanjutnya 23 raka’at diriwayatkan juga dari Yazid Ibn Ruman secara mursal, karena ia tidak menjumpai zaman Umar.
Yazid Ibn Ruman adalah mawla (mantan budak) sahabat Zubair Ibn Al Awam (36 H), ia salah seorang qurra’ Madinah yang tsiqat tsabit (meninggal pada tahun 120 atau130 H). Ia memberi pernyataan, bahwa masyarakat (Madinah) pada zaman Umar telah melakukan qiyam Ramadhan dengan bilangan 23 raka’at. [HR Malik, Al Firyabi, Ibn Nashr dan Al Baihaqi. Lihat Shalat At Tarawih,53; Al Ijabat Al Bahiyyah, 16; At Tamhid, 9/332, 519; Al Hawadits, 141]

BAGAIMANA JALAN KELUARNYA?
Jumhur ulama mendekati riwayat-riwayat di atas dengan metode al jam’u, bukan metode at tarjih, sebagaimana yang dipilih oleh Syaikh Al Albani. Dasar pertimbangan jumhur adalah:
1. Riwayat 20 (21, 23) raka’at adalah shahih.
2. Riwayat 8 (11, 13) raka’at adalah shahih.
3. Fakta sejarah menurut penuturan beberapa tabi’in dan ulama salaf.
4. Menggabungkan riwayat-riwayat tersebut adalah mungkin, maka tidak perlu pakai tarjih, yang konsekuensinya adalah menggugurkan salah satu riwayat yang shahih.
1.      BEBERAPA KESAKSIAN PELAKU SEJARAH
1. Imam Atho’ Ibn Abi Rabah mawla Quraisy, (budak yang dimerdekakan ole Quraisy) lahir pada masa Khilafah Utsman Radhiyallahu anhu (antara tahun 24 Hsampai 35 H), yang mengambil ilmu dari Ibn Abbas Radhiyallahu anhu, (wafat 67 / 68 H), Aisyah Radhiyallahu anuhma dan yang menjadi mufti Mekkah setelah Ibn Abbas hingga tahun wafatnya 114 H) memberikan kesaksian: “Saya telah mendapati orang-orang (masyarakat Mekkah) pada malam Ramadhan shalat 20 raka’at dan 3raka’at witir.” [Fathul Bari, 4/235]
2.      Imam Nafi’ Al Qurasyi,(mawla (mantan budak) Ibn Umar Radhiyallahu ahu (wafat 73 H), mufti Madinah yang mengambil ilmu dari Ibn Umar, Abu Said, Rail’ Ibn Khadij, Aisyah, Abu Hurairah dan Ummu Salamah, yang dikirim oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz ke Mesir sebagai da’i dan meninggal di Madinah pada tahun 117 H) telah memberikan kesaksian sebagai berikut: “Saya mendapati orang-orang (masyarakat Madinah); mereka shalat pada bulan Ramadhan 36 raka’at dan witir 3 raka’at.” [Al Hawadits, 141; Al Hawi, 1/415]
3.      Daud Ibn Qais bersaksi, “Saya mendapati orang-orang di Madinah pada masa pemerintahan Aban Ibn Utsman Ibn Affan Al Umawi (Amir Madinah, wafat 105 H) dan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (Al Imam Al Mujtahid,wafat 101 H) melakukan qiyamulail (Ramadhan) sebanyak 36 raka’at ditambah 3 witir.” [Fathul Bari, 4/253]
4.      Imam Malik Ibn Anas (wafat 179 H) yang menjadi murid Nafi’ berkomentar, “Apa yang diceritakan oleh Nafi’, itulah yang tetap dilakukan oleh penduduk Madinah. Yaitu apa yang dulu ada pada zaman Utsman Ibn Affan Radhiyallahu anhu.” [Al Hawadits, 141]
5.      Imam Syafi’i, murid Imam Malik yang hidup antara tahun 150 hingga 204 H. mengatakan, “Saya menjumpai orang-orang di Mekkah. Mereka shalat (tarawih, red.) 23 raka’at. Dan saya melihat penduduk Madinah, mereka shalat 39 raka’at, dan tidak ada masalah sedikitpun tentang hal itu.” [Sunan Thmidzi, 151; Fath Al Aziz, 4/266; Fathul Bari, 4/23]

BEBERAPA PEMAHAMAN ULAMA DALAM MENGGABUNGKAN RIWAYAT-RIWAYAT SHAHIH DI ATAS

1.      Imam Syafi’i, setelah meriwayatkan shalat di Mekkah 23 raka’at dan di Madinah 39 raka’at berkomentar, “Seandainya mereka memanjangkan bacaan dan menyedikitkan bilangan sujudnya, maka itu bagus. Dan seandainya mereka memperbanyak sujud dan meringankan bacaan, maka itu juga bagus; tetapi yang pertama lebih aku sukai.” [Fathul Bari, 4/253]
2.      Ibn Hibban (wafat 354 H) berkata, “Sesungguhnya tarawih itu pada mulanya adalah 11 raka’at dengan bacaan yang sangat panjang hingga memberatkan mereka. Kemudian mereka meringankan bacaan dan menambah bilangan raka’at, menjadi 23 raka’at dengan bacaan sedang. Setelah itu mereka meringankan bacaan dan menjadikan tarawih dalam 36 raka’at tanpa witr.” [Fiqhus Sunnah, 1/174]
3.      Al Kamal Ibnul Humam mengatakan,”Dalil-dalil yang ada menunjukkan, bahwa dari 20 raka’at itu, yang sunnah adalah seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan sisanya adalah mustahab.” (Ibid, 1/175)
4.      Al Subkhi berkata, “Tarawih adalah termasuk nawafil. Terserah kepada masing-masing, ingin shalat sedikit atau banyak. Bolehjadi mereka terkadang memilih bacaan panjang dengan bilangan sedikit, yaitu 11raka’at. Dan terkadang mereka memilih bilangan raka’at banyak, yaitu 20 raka’atdaripada bacaan panjang, lalu amalan ini yang terus berjalan.” [Al Hawi,1/417]
5.      Ibn Taimiyah berkata, “Ia boleh shalat tarawih 20 raka’at sebagaimana yang mashur dalam madzhab Ahmad dan Syafi’i. Boleh shalat 36 raka’at sebagaimana yang ada dalam madzhab Malik. Boleh shalat 11 raka’at, 13 raka’at. Semuanya baik. Jadi banyaknya raka’at atau’ sedikitnya tergantung lamanya bacaan dan pendeknya.” Beliau juga berkata,”Yang paling utama itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang shalat. Jika mereka kuat 10 raka’at ditambah witir 3 raka’at sebagaimana yang diperbuat oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ramadhan dan di luar Ramadhan-maka ini yang lebih utama. Kalau mereka kuat 20 raka’at, maka itu afdhal dan inilah yang dikerjakan oleh kebanyakan kaum muslimin, karena ia adalah pertengahan antara 10 dan 40. Dan jika ia shalat dengan 40 raka’at, maka boleh, atau yang lainnya juga boleh. Tidak dimaksudkan sedikitpun dari hal itu, maka barangsiapa menyangka, bahwa qiyam Ramadhan itu terdiri dari bilangan tertentu, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang, maka ia telah salah.” [Majmu’ Al Fatawa, 23/113; Al Ijabat Al Bahiyyah, 22; Faidh Al Rahim Al Kalman,132; Durus Ramadhan,48]
6.      Al Tharthusi (451-520 H) berkata, Para sahabat kami (Malikiyah) menjawab dengan jawaban yang benar, yang bisa menyatukan semua riwayat. Mereka berkata,”Mungkin Umar pertama kali memerintahkan kepada mereka 11 raka’at dengan bacaan yang amat panjang. Pada raka’at pertama, imam membaca sekitar dua ratus ayat, karena berdiri lama adalah yang terbaik dalam shalat. Tatkala masyarakat tidak lagi kuat menanggung hal itu, maka Umar memerintahkan 23 raka’at demi meringankan lamanya bacaan. Dia menutupi kurangnya keutamaan dengan tambahan raka’at. Maka mereka membaca surat Al Baqarah dalam 8 raka’atatau 12 raka’at sesuai dengan hadits al a’raj tadi.”
Telah dikatakan, bahwa pada waktu itu imam membaca antara 20 ayat hingga 30 ayat. Hal ini berlangsung terus hingga yaumul Harrah (penyerangan terhadap Madinah oleh YazidIbn Mu’awiyyah) tahun 60 H maka terasa berat bagi mereka lamanya bacaan. Akhirnya mereka mengurangi bacaan dan menambah bilangannya menjadi 36 raka’at ditambah 3 witir. Dan inilah yang berlaku kemudian.

Bahkan diriwayatkan, bahwa yang pertama kali memerintahkan mereka shalat 36 raka’at ditambah dengan 3 witir ialah Khalifah Muawiyah Ibn Abi Sufyan (wafat 60 H). Kemudian hal tersebut dilakukan terus oleh khalifah sesudahnya. Lebih dari itu, Imam Malik menyatakan, shalat 39 raka’at itu telah ada semenjak zaman Khalifah Utsman Radhiyallahu anhu.
Kemudian Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (wafat 101 H) memerintahkan agar imam membaca 10 ayat pada tiap raka’at. Inilah yang dilakukan oleh para imam, dan disepakati oleh jama’ah kaum muslimin, maka ini yang paling utama dari segi takhfif (meringankan). [Lihat Al Hawadits, 143-145]
7.      Ada juga yang mengatakan, bahwa Umar Radhiyallahu anhu memerintahkan kepada dua sahabat, yaitu “Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari Radhiyallahu anhuma, agar shalat memimpin tarawih sebanyak 11 raka’at, tetapi kedua sahabat tersebut akhirnya memilih untuk shalat 21 atau 23 raka’at. [Durus Ramadhan, 47]
8.      Al Hafidz Ibn Hajar berkata, “Hal tersebut dipahami sebagai variasi sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan manusia. Kadang-kadang 11raka’at, atau 21, atau 23 raka’at, tergantung kesiapan dan kesanggupan mereka.Kalau 11 raka’at, mereka memanjangkan bacaan hingga bertumpu pada tongkat. Jika 23 raka’at, mereka meringankan bacaan supaya tidak memberatkan jama’ah. [Fathul Bari, 4/253]
9.      Imam Abdul Aziz Ibn Bazz mengatakan: “Diantara perkara yang terkadang samar bagi sebagian orang adalah shalat tarawih. Sebagian mereka mengira, bahwa tarawih tidak boleh kurang dari 20 raka’at. Sebagian lain mengira, bahwa tarawih tidak boleh lebih dari 11 raka’at atau 13 raka’at. Ini semua adalah persangkaan yang tidak pada tempatnya, bahkan salah; bertentangan dengan dalil. Hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan, bahwa shalat malam itu adalah muwassa’ (leluasa, lentur, fleksibel). Tidak ada batasan tertentu yang kaku. yang tidak boleh dilanggar. Bahkan telah shahih dari Nabi, bahwa beliau shalat malam 11 raka’at, terkadang 13 raka’at, terkadang lebihsedikit dari itu di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Ketika ditanya tentang sifat shalat malam,beliau menjelaskan: “dua rakaat-dua raka’at, apabila salah seorang kamu khawatir subuh, maka shalatlah satu raka’at witir, menutup shalat yang ia kerjakan.” [HR Bukhari Muslim]
Beliau tidak membatasi dengan raka’at-raka’at tertentu, tidak di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Karena itu, para sahabat Radhiyallahu anhum pada masa Umar Radhiyallahu anhu di sebagian waktu shalat 23 raka’at dan pada waktu yang lain 11 raka’at. Semua itu shahih dari Umar Radhiyallahu anhu dan para sahabat Radhiyallahu anhum pada zamannya.

Dan sebagian salaf shalat tarawih 36 raka’at ditambah witir 3 raka’at. Sebagian lagi shalat 41 raka’at. Semua itu dikisahkan dari mereka oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dan ulama lainnya. Sebagaimana beliau juga menyebutkan, bahwa masalah ini adalah luas (tidak sempit). Beliau juga menyebutkan, bahwa yang afdhal bagi orang yang memanjangkan bacaan, ruku’. sujud, ialah menyedikitkan bilangan raka’at(nya). Dan bagi yang meringankan bacaan, ruku’ dan sujud (yang afdhal) ialah menambah raka’at(nya). Ini adalah makna ucapan beliau. Barangsiapa merenungkan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pasti mengetahui, bahwa yang paling afdhal dari semuanya itu ialah 11 raka’at atau 13 raka’at. Di Ramadhan atau di luar Ramadhan. Karena hal itu yang sesuai dengan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kebiasaannya. Juga karena lebih ringan bagi jama’ah. Lebih dekat kepada khusyu’ dan tuma’ninah. Namun, barangsiapa menambah (raka’at), maka tidak mengapa dan tidak makruh,seperti yang telah lalu.”[Al Ijabat Al Bahiyyah, 17-18. Lihat juga Fatawa Lajnah Daimah, 7/194-198]

KESIMPULAN

Maka berdasarkan paparan di atas, saya bisa mengambil kesimpulan, antara lain:
1.      Shalat tarawih merupakan bagian dari qiyam Ramadhan, yang dilakukan setelah shalat Isya’ hingga sebelum fajar, dengan dua raka’at salam dua raka’at salam. Shalat tarawih memiliki keutamaan yang sangat besar. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya -dan para sahabat punmenjadikannya- sebagai syiar Ramadhan.
2.      Shalat tarawih yang lebih utama sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu bilangannya 11 raka’at. Inilah yang lebih baik. Seperti ucapan Imam Malik rahimahullah, “Yang saya pilih untuk diri saya dalam qiyam Ramadhan, ialah shalat yang diperintahkan oleh Umar Radhiyallahu anhu, yaitu 11 raka’at, yaitu (cara) shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun 11 adalah dekat dengan 13.” [Al Hawadits, 141]
3.      Perbedaan tersebut bersifat variasi, lebih dari 11 raka’at adalah boleh, dan 23 raka’at lebih banyak diikuti oleh jumhur ulama, karena ada asalnya dari para sahabat pada zaman Khulafaur Rasyidin, dan lebih ringan berdirinya dibanding dengan 11 raka’at.
4.      Yang lebih penting lagi adalah prakteknya harus khusyu’, tuma’ninah. Kalau bisa lamanya sama dengan tarawihnya ulama salaf, sebagai pengamalan hadits “Sebaik-baik shalat adalah yang panjang bacaanya”.
Semoga tulisan ini bermanfaat. Jika benar, maka itu dari Allah. Dan jika salah, maka itu murni dari al faqir.
Ya Allah bimbinglah kami kepada kecintaan dan ridhaMu. Dan antarkanlah kami kepada Ramadhan dengan penuh aman dan iman, keselamatan dan Islam.

Senin, 05 Juni 2017

10 keutamaan bulan ramadhan yang paling utama


Bulan Ramadhan adalah bulan Ibadah, bulan berbuat baik, bulan kebaikan, bulan simpati, bulan pembebasan dari neraka, bulan kemenangan atas nafsu, dan kemenangan. Pada bulan tersebut, Allah melimpahkan banyak kerunia kepada hamba-hamba-Nya dengan dilipatgandakan pahala dan diberi jaminan ampunan dosa bagi siapa yang bisa memanfaatkannya dengan semestinya. Berikut ini kami hadirkan beberapa amal-amal utama yang sangat ditekankan pada bulan Ramadhan.
 10 keutamaan bulan ramadhan yang paling utama:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya, satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah ‘Azza wa Jalla  berfirman, ‘Kecuali puasa, sungguh dia bagianku dan Aku sendiri yang akan membalasnya, karena (orang yang berpuasa) dia telah meninggalkan syahwatnyadan makannya karena Aku’. Bagi orang yang berpuasa mendapat dua kegembiraan; gembira ketika berbuka puasa dan gembria ketika berjumpa Tuhannya dengan puasanya. Dan sesungguhnya bau tidak sedap mulutnya lebih wangi di sisi Allah dari pada bau minyak kesturi.” (HR. Bukhari dan Muslim, lafadz milik Muslim)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa berpuasa Ramadhan imanan wa ihtisaban (dengan keimanan dan mengharap pahala), diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tidak diragukan lagi, pahala yang besar ini tidak diberikan kepada orang yang sebatas meninggalkan makan dan minum semata. Ini sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatannya, maka Allah tidak butuh dengan ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu) ini merupakan kiasan bahwa Allah tidak menerima puasa tersebut.
Dalam sabdanya yang lain, “Jika pada hari salah seorang kalian berpuasa, maka janganlah ia mengucapkan kata-kata kotor, membaut kegaduhan, dan juga tidak melakukan perbuatan orang-orang bodoh. Dan jika ada orang mencacinya atau mengajaknya berkelahi, maka hendaklah ia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka jika Anda berpuasa, maka puasakan juga pendengaran, penglihatan, lisan, dan seluruh anggota tubuh. Jangan jadikan sama antara hari saat berpuasa dan tidak.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang menunaikan shalat malam di bulan Ramadan dengan keimanan dan mengharap pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Allah Ta’ala berfirman,
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا  وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al-Furqan: 63-64)
Qiyamul lail sudah menjadi rutinitas Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya. ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata, “Jangan tinggalkan shalat malam, karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah meninggalkannya. Apabila beliau sakit atau melemah maka beliau shalat dengan duduk.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Umar bin Khathab Radhiyallahu ‘Anhu biasa melaksanakan shalat malam sebanyak yang Allah kehendaki sehingga apabila sudah masuk pertengahan malam, beliau bangunkan keluarganya untuk shalat, kemudian berkata kepada mereka, “al-shalah, al-Shalah.” Lalu beliau membaca:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kami lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaahaa: 132)
Dan Umar bin Khathab juga biasa membaca ayat berikut:
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?” (QS. Al-Zumar: 9)
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma berkata, “Luar biasa Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu” Ibnu Abi Hatim berkata, “Sesungguhnya Ibnu Umar berkata seperti itu karena banyaknya shalat malam dan membaca Al-Qur’an yang dikerjakan amirul Mukminin Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu sehingga beliau membaca Al-Qur’an dalam satu raka’at.”
Dan bagi siapa yang melaksanakan shalat Tarawih hendaknya mengerjakannya bersama jama’ah sehingga akan dicatat dalam golongan qaimin, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda, “Siapa yang shalat bersama imamnya sehingga selesai, maka dicatat baginya shalat sepanjang malam.” (HR. Ahlus Sunan)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah manusia paling dermawan. Dan beliau lebih demawan ketika di bulan Ramadhan. Beliau menjadi lebih pemurah dengan kebaikan daripada angin yang berhembus dengan lembut. Beliau bersabda, “Shadaqah yang paling utama adalah shadaqah pada bulan Ramadhan.” (HR. al-Tirmidzi dari Anas)
Sesungguhnya shadaqah di bulan Ramadhan memiliki keistimewaan dan kelebihan, maka bersegeralah dan semangat dalam menunaikannya sesuai kemampuan. Dan di antara bentuk shadaqah di bulan ini adalah:
a. memberi makan
Allah menerangkan tentang keutamaan memberi makan orang miskin dan kurang mampu yang membutuhkan, dan balasan yang akan didapatkan dalam firman-Nya:
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا 
قَمْطَرِيرًا  فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا  وَجَزَاهُمْ بِمَا صَبَرُوا جَنَّةً وَحَرِيرًا
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya Kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera.” (QS. Al-Nsan: 8-12)
Para ulama salaf sangat memperhatikan memberi makan dan mendahulukannya atas banyak macam ibadah, baik dengan mengeyangkan orang lapar atau memberi makan saudara muslim yang shalih. Dan tidak disyaratkan dalam memberi makan ini kepada orang yang fakir. Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Wahai manusia, tebarkan salam, berilah makan, sambunglah silaturahim, dan shalatlah malam di saat manusia tidur, niscaya engkau akan masuk surga dengan selamat.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Sebagian ulama salaf ada yang mengatakan, “Aku mengundang sepuluh sahabatku lalu aku beri mereka makan dengan makanan yang mereka suka itu lebih aku senangi dari pada membebaskan sepuluh budak dari keturunan Islmail.”
Ada beberapa ulama yang memberi makan orang lain padahal mereka sedang berpuasa, seperti Abdullan bin Umar, Dawud al-Tha’i, Malik bin Dinar, dan Ahmad bin Hambal Radhiyallahu ‘Anhum. Dan adalah Ibnu Umar, tidaklah berbuka kecuali dengan anak-anak yatim dan orang-orang miskin.
Ada juga sebagian ulama salaf lain yang memberi makan saudara-saudaranya sementara ia berpuasa, tapi ia tetap membantu mereka dan melayani mereka, di antaranya adalah al-Hasan al-Bashri dan Abdullah bin Mubarak.
Abu al-Saur al-Adawi berkata: Beberapa orang dari Bani Adi shalat di masjid ini. Tidaklah salah seorang mereka makan satu makananpun dengan sendirian. Jika ia dapatkan orang yang makan bersamanya maka ia makan, dan jika tidak, maka ia keluarkan makanannya ke masjid dan ia memakannya bersama orang-orang dan mereka makan bersamanya.
b. Memberi hidangan berbukan bagi orang puasa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Siapa yang memberi berbuka orang puasa, baginya pahala seperti pahala orang berpuasa tadi tanpa dikurangi dari pahalanya sedikitpun.” (HR. Ahmad, Nasai, dan dishahihkan al-Albani)
Dan dalam hadits Salman Radhiyallahu ‘Anhu, “Siapa yang memberi makan orang puasa di dalam bulan Ramadhan, maka diampuni dosanya, dibebaskan dari neraka, dan baginya pahala seperti pahala orang berpuasa tadi tanpa dikurangi sedikitpun dari pahalanya.”
. . . Sesungguhnya shadaqah di bulan Ramadhan memiliki keistimewaan dan kelebihan, maka bersegeralah dan semangat dalam menunaikannya sesuai kemampuan. . .
Dan ini sudah kami ulas dalam tulisan yang lalu berjudul: Teladan Salaf Dalam Membaca Al-Qur’an di Bulan Ramadhan.
5. Duduk di masjid sampai matahari terbit
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, apabila shalat Shubuh beliau duduk di tempat shalatnya hinga matahari terbit (HR. Muslim). Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dari Anas, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau bersabda,
مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ
“Siapa shalat Shubuh dengan berjama’ah, lalu duduk berdzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lalu shalat dua raka’at, maka baginya seperti pahala haji dan umrah sempurna, sempurna , sempurna.” (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Keutamaan ini berlaku pada semua hari, lalu bagaimana kalau itu dikerjakan di bulan Ramadhan? Maka selayaknya kita bersemangat menggapainya dengan tidur di malam hari, meneladani orang-orang shalih yang bangun di akhirnya, dan menundukkan nafsu untuk tunduk kepada Allah dan bersemangat untuk menggapai derajat tinggi di surga.
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam senantiasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama 10 hari. Dan pada tahun akan diwafatkannya, beliau beri’tikaf selama 20 hari (HR. Bukhari dan Muslim).  I’tikaf merupakan ibadah yang berkumpul padanya bermacam-macam ketaatan; berupa tilawah, shalat, dzikir, doa dan lainnya. Bagi orang yang belum pernah melaksanakannya, i’tikaf dirasa sangat berat. Namun, pastinya ia akan mudah bagi siapa yang Allah mudahkan. Maka siapa yang berangkat dengan niat yang benar dan tekad kuat pasti Allah akan menolong. Dianjrukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir adalah untuk mendapatkan Lailatul Qadar. I’tikaf merupakan kegiatan menyendiri yang disyariatkan, karena seorang mu’takif (orang yang beri’tikaf) mengurung dirinya untuk taat kepada Allah dan mengingat-Nya, memutus diri dari segala kesibukan yang bisa mengganggu darinya, ia mengurung hati dan jiwanya untuk Allah dan melaksanakan apa saja yang bisa mendekatkan kepada-Nya. Maka bagi orang beri’tikaf, tidak ada yang dia inginkan kecuali Allah dan mendapat ridha-Nya.
Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau bersabda,
عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ حَجَّةٌ
“Umrah pada bulan Ramadhan menyerupai haji.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) dalam riwayat lain, “seperti haji bersamaku.” Sebuah kabar gembira untuk mendapatkan pahala haji bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ  وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadar: 1-3)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Dan siapa shalat pada Lailatul Qadar didasari imandan mengharap pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berusaha mencari Lailatul Qadar dan memerintahkan para sahabatnya untuk mencarinya. Beliau juga membangunkan keluarganya pada malam sepuluh hari terakhir dengan harapan mendapatkan Lailatul Qadar. Dalam Musnad Ahmad, dari Ubadah secara marfu’, “Siapa yang shalat untuk mencari Lailatul Qadar, lalu ia mendapatkannya, maka diampuni dosa-dosa-nya yang telah lalu dan akan datang.” (Di dalam Sunan Nasai juga terdapat riwayat serupa, yang dikomentari oleh Al-hafidz Ibnul Hajar: isnadnya sesuai dengan syarat Muslim)
. . . Lailatul Qadar berada di sepuluh hari terakhir Ramadhan, tepatnya pada malam-malam ganjilnya. Dan malam yang paling diharapkan adalah malam ke 27-nya, sebagaimana yang diriwayatkan Muslim. . .
Terdapat beberapa keterangan, sebagian ulama salaf dari kalangan sahabat tabi’in, mereka mandi dan memakai wewangian pada malam sepuluh hari terakhir untuk mencari Lailatul Qadar yang telah Allah muliakan dan tinggikan kedudukannya. Wahai orang-orang yang telah menyia-nyiakan umurnya untuk sesuatu yang tak berguna, kejarlah yang luput darimu pada malam kemuliaan ini. 
Sesungghnya satu amal shalih yang dikerjakan di dalamnya adalah nilainya lebih baik daripada amal yang dikerjakan selama seribu bulan di luar yang bukan Lailatul Qadar. Maka siapa yang diharamkan mendapatkan kebaikan di dalamnya, sungguh dia orang yang jauhkan dari kebaikan.
Lailatul Qadar berada di sepuluh hari terakhir Ramadhan, tepatnya pada malam-malam ganjilnya. Dan malam yang paling diharapkan adalah malam ke 27-nya, sebagaimana yang diriwayatkan Muslim, dari Ubai bin Ka’ab Radhiyallahu ‘Anhu, “Demi Allah, sungguh aku tahu malam keberapa itu, dia itu malam yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan kami untuk shalat, yaitu malam ke-27.” Dan Ubai bersumpah atas itu dengan mengatakan, “Dengan tanda dan petunjuk yang telah dikabarkan oleh Ramadhan Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada kami, matahari terbit di pagi harinya dengan tanpa sinar yang terik/silau.”
Dari ‘Aisyah, ia berkata: Wahai Rasulullah, jika aku mendapatkan Lailatul Qadar, apa yang harus aku baca? Beliau menjawab, “Ucapkan:
 اللَّهُمَّ إنَّك عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, menyukai pemberian maaf maka ampunilah aku.” (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi, dishahihkan Al-Albani)
Sesungguhnya malam dan siang Ramadhan adalah waktu-waktu yang mulia dan utama, maka manfaatkanlah dengan memperbanyak dzikir dan doa, khususnya pada waktu-waktu istijabah, di antaranya:
– Saat berbuka, karena seorang yang berpuasa saat ia berbuka memiliki doa yang tak ditolak.
– Sepertiga malam terkahir saat Allah turun ke langit dunia dan berfirman, “Adakah orang yang meminta, pasti aku beri. Adakah orang beristighfar, pasti Aku ampuni dia.”
– Beristighfar di waktu sahur, seperti yang Allah firmankan, “Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Al-Dzaariyat: 18)
. . . Sesungguhnya berpuasa tidak hanya sebatas meninggalkan makan, minum, dan hubungan suami istri, tapi juga mengisi hari-hari dan malamnya dengan amal shalih. . .
dengan memperbanyak bernbuat baik di bulan ramadhan, diharapkan tuhan segera melihat, bukan untuk kita mendapatkan pahala dari kebaikan itu, tapi karena kita berharap tuhan akan semakin baik kepada kita, dengan memberikan apapun yang kita inginkan baik itu berbentuk ampunan, ataupun berbentuk kemudahan untuk semua persoalan yang kita hadapi atau bahkan berupa kemudahan dalam mencari rizki yang halal dan baik.
Demikian 10 ibadah yang paling utama untu meraih keutamaan dan keistimewaan bulan ramadhan,,
tulisan diatas juga bisa anda semua gunakan sebagai contoh pidato agama ataupun sebagai referensi anda dalam memberikan sambutan ceramah agama teutaa untuk disampaikan dibulan ramadhan,,, semoga bermanfaat.!!!!

Minggu, 04 Juni 2017

NUZULUL QUR'AN, MALAM 17 ROMADHON

Seorang sahabat bertanya, “Sebenarnya, Al-Quran itu turun malem lailatul qodar apa tanggal 17 Ramadhan sih? Kan di surat al-qodar, Al-Qur’an turun malem lailatul qodar. Terus kata Nabi SAW kan lailatul qodar tuh ada di sepuluh akhir bulan Ramadhan. Kok orang-orang pada ngadain nuzulul Quran tanggal 17 Ramadhan?.”
Mungkin soal ini juga yang ada di benak para pembaca sekalian. Berikut ini sedikit penjelasan tentang “nuzulul Quran” yang diambil dari beberapa kitab yang menerangkan tentang masalah ini.


Metode Diturunkannya Al-Qur’an (Kaifiyah Inzal)


Pertama: Al-Qur’an Diturunkan Secara Sekaligus

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
“Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an.” (Al-Baqarah 185)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya kami menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan.” (Al-Qodr 1)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ
“Sesungguhnya kami menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam yang diberkahi.” (Ad-dukhon 3)

Dalam 3 ayat di atas, semua menjelaskan tentang turunnya Al-Quran pertama kali, yaitu pada bulan Ramadhan tepatnya malam lailatul qadar; malam kemuliaan. Dan pada surat Ad-Dukhon yang dimaksud malam mubarok ialah malam lailatul qadar pada bulan Ramadhan sebagaimana yang dikatakan oleh kebanyakan ulama tafsir. (lihat tafsir Al-Alusi)
Dalam kitab Al-Burhan Fi ‘Ulumil-Qur’an karangan Syeikh Badruddin Az-Zarkasyi (W. 794 H), beliau mengatakan bahwa dalam hal ini para Ulama berbeda pendapat ke dalam 3 pendapat yang masyhur.

Dan dari tiga pendapat tersebut, yang paling mendekati kepada pendapat yang kuat dan benar ialah pendapat yang banyak dipegang oleh Jumhur Ulama, yaitu:
Bahwa Al Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia (daarul Izzah) pada malam Lailatul Qodr kemudian diturunkan dengan cara berangsur-angsur sepanjang kehidupan Nabi saw setelah beliau diangkat menjadi Nabi di Mekah dan Madinah sampai wafat beliau.

Banyak para ulama yang mengatakan bahwa pendapat inilah yang paling mendekati kebenaran, berdasarkan suatu riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Hakim dalam mustadroknya dengan sanad yang shahih, dari Ibnu Abbas radhiyallhu ‘anhuma, beliau mengatakan bahwasanya Al-Quran itu turun sekaligus ke langit dunia pada malam lailatul qadr. Kemudian diturunkan berangsur-angsur selama 20 tahun, kemudian ia mambaca ayat,
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا

Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik.” (QS. Al Furqan: 33)
وَقُرْآناً فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلاً

“Dan Al Quran itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al Isra: 106)
Imam An-Nasa’i juga meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “……dan Al-Qur’an diletakkan di baitil izzah dari langit dunia kemudian Jibril turun dengan membawanya kepada Muhammad SAW.”

Kedua: Al-Qur’an Diturunkan Secara Berangsuran
Setelah diturunkan secara lengkap (keseluruhan) dari Lauh Mahfudz ke langit Dunia (Baitul-Izzah), Al-Qur’an turun secara berangsuran selama 23 tahun (ini menurut pendapat yang kuat); 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah. Dan turunnya Al-Qur’an secara berangsuran telah dijelaskan dalam firman Allah SWT,
وَقُرْآناً فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلاً

“Dan Al Quran itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al Isra: 106)
Dan inilah salah satu keistimewaan Al-Qur’an, bahwa kitab suci umat Nabi Muhammad ini turun secara berangsuran setelah sebelumnya diturunkan secara lengkap/sekaligus.
Ini berbeda dengan kitab-kitab samawi lainnya yang diturunkan secara sekaligus, yaitu Injil, Taurat dan Zabur, tanpa ada angsurannya. Allah SWT berfirman:
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيل وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (QS. Al-Furqan: 32-33)

Dan ayat pertama yang turun menurut kebanyakan ulama ialah surat Al-Alaq (dan ini adalah pendapat yang kuat), atau biasa kita sebut dengan surat Iqra’ ayat 1-5. Ini berdasarkan riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih keduanya dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha Istri Rasul SAW.

Kapan Ayat Pertama Turun?
Adapun “kapan” surat Iqra’ itu diturunkan, ulama dan ahli sejarah berbeda pendapat tentang ini. Ada yang mengatakan bulan Rabiul Awwal, ada juga yang mengatakan bulan Ramadhan, dan ada juga yang mengatakan bulan Rajab.
Namun pendapat yang kuat ialah bulan Ramadhan sesuai firman Allah SWT: “bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an.” (Al-Baqarah 185).

Dan kebanyakan ulama juga sepakat bahwa surat Iqra’ adalah wahyu yang pertama turun, juga sebagai pengangkatan Nabi Muhammad SAW menjadi Nabi. Dan ini terjadi pada hari senin, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Abu Qotadah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi SAW pernah ditanya tentang puasa hari senin, kemudian beliau menjawab: “itu adalah hari di mana aku dilahirkan dan diturunkan kepadaku wahyu.”

Kemudian Ulama kembali berbeda pendapat tentang tanggal turunnya pada bulan Ramadhan. Ada yang mengatakan malam 7 Ramadhan, ada juga yang mengatakan malam 17 Ramadhan, ada juga yang mengatakan malam 24, juga ada yang mengatakan tanggal 21 Ramadhan.
Sheikh Shofiyur-Rohman Al-Mubarokfuri mengatakan dalam kitab Sirah Nabawi karangannya Rahiqul-Makhtum: “setelah melakukan penelitian yang cukup dalam, mungkin dapat disimpulkan bahwa hari itu ialah hari senin tanggal 21 bulan Ramadhan malam. Yang bertepatan tanggal 10 Agustus 660 M, dan ketika itu umur Rasul SAW tepat 40 Tahun 6 bulan 12 hari hitungan bulan, tepat 39 tahun 3 bulan 12 hari hitungan matahari. Hari senin pada bulan Ramadhan tahun itu ialah antar 7, 14, 21, 24, 28, dan dari beberapa riwayat yang shahih bahwa malam lailatul qadar itu tidak terjadi kecuali di malam-malam ganjil dari sepuluh akhir bulan Ramadhan. Jika kita bandingkan firman Allah surat Al-Qodr ayat pertama dengan hadits Abu Qotadah yang menjelaskan bahwa wahyu diturunkan hari senin di atas, dan dengan hitungan tanggalan ilmiyah tentang hari senin pada bulan Ramadhan tahun tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa wahyu pertama turun kepada Rasul SAW itu tanggal 21 Ramadhan malam”.

Kenapa Malam 17 Ramadhan?
Dan yang menjadi dasar kebanyakan kaum muslim dalam memperingati nuzulul Qur’an pada malam tanggal 17 Ramadhan, mungkin apa yang disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir (W. 774 H) dalam kitabnya Al-Bidayah wan-Nihayah, Al-Waqidi meriwayatkan dari Abu Ja’far Al-Baqir yang mengatakan bahwa “wahyu pertama kali turun pada Rasul SAW pada hari senin 17 Ramadhan dan dikatakan juga 24 Ramadhan.”

Kesimpulan
Kesimpulannya bahwa malam lailatul-Qodr yang disebut sebagai malam turunnya Al-Qur’an ialah benar, karena itu ialah malam yang al-Qur’an turun secara lengkap sekaligus dari Lauh-Mahfuzd ke langit dunia (baitul-Izzah).
Dan Al-Qur’an turun secara berangsuran yang didahului dengan surat Al-‘Alaq ayat 1-5 yang juga momentum pengangkatan Muhammad SAW menjadi Rasul ialah malam 17 Ramadhan yang sering dirayakan oleh kebanyakan umat Islam, baik di Indonesia ataupun di negeri lain.
Walaupun penetapan malam 17 Ramadhan sebagai waktu awalnya turun Al-Qur’an itu juga masih diperselisihkan oleh kebanyakan Ulama, sebagaimana dijelaskan di atas.
Wallahu A’lam.
Sumber:
Al-Burhan Fi Ulumil-Qur’an, Badruddin Az-Zarkasyi (W. 794 H)
Mabahits Fi Ulumil-Qur’an,  Sheikh Manna’ Al-Qaththan
Rahiqul-makhtum, Sheikh Shofiyur-Rohman Al-Mubarokfuri 
Al-Bidayah Wan-Nihayah, Abul-Fida’ Ismail bin Muhammad bin Katsir Al-Qurosyi (W. 774 H)

Kamis, 01 Juni 2017

KEUTAMAAN AKHLAQUL KARIMAH


Bismillahirrahmaniraahim...
Assalamu’alaikumWarohmatullaahi Wabarokaatuhu
Prioritas dari seluruh risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalahuntuk memperbaiki akhlak manusia. Akhlak manusia perlu diperbaiki dandisempurnakan karenaakhlak manusia tidak sama. Ada yang tinggi dan ada yangrendah, ada yang mulia dan adayang hina.Sifat dan watak kepribadiannyapunberbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.Ada yang bersifat penyayang danada yang kejam. Ada yang kasar dan ada yang lemahlembut.Namun dari sekianbanyak sifat dan watak manusia dapat dikumpulkan menjadiempat :


1.Thabi’at Rubbiyah
 Yakni tabiat ketuhanan, suatutabiat yang cendrung kearah perbuatan yang sesuaidengan kehendak dan kerelaanTuhan, sehingga selalu ingin berbuat baik, sertamendapatkan ridho dari AllahSWT.

2.Thabi’at Bahimiyah
 Yakni tabiat binatang ternakyang hanya mementingkan nafsu makan, minum, tidurdan sebagainya. Manusia yangbertabiat bahimiyah ini tidak lagi menghiraukanurusan agama dan ibadah ataupunilmu pengetahuan. Seluruh waktunya hanyalahdihabiskan untuk mencari hartakekayaan untuk kepuasan nafsunya. Bahkan hartalahyang menjadi ukuransegala-segalanya

.3.Thabi’at Syaithoniyah
 Yakni tabiat syetan yangselalu ingin menggoda dan menjerumuskan orang lainkepada kesesatan dan kemungkaran.

4.Thabi’at Sabu’iyah
 Yakni tabiat binatang buas yang mempunyai kecendrungan kearah perbuatan-perbuatan melanggar dan merampashak orang lain, ingin memangsa, mendzolimi dansebagainya.Maka ajaran akhlakulkarimah akan membimbing manusia sebaik-baiknya supayamemiliki jiwa yang bersihdan mental yang kuat, sehingga dapat menempatkan diri sebagaimakhluk yang muliakarena dapat mengendalikan dirinya dari tabiat yang kurang baik.
1)      A’uudzu billaahi minasysyaithaanir rajiim , Bismillahirrahmaniraahim! ,
1.      “ Wa innaka la ‘alaa khuluqin ‘azhiim “ , “ Dan sesungguhnyaengkau ( Muhammad ) mempunyai akhlak yang mulia. “ ( Al Qalam , 68 : 4 ) , “
2.      Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah ) orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati ( tidaksombong ) dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka , mereka mengucapkankata-kata ( yang mengandung ) keselamatan “ ( Al Forqan , 25 : 63 ) ( TAWADHU’) ,
3.      “ Maka janganlah kamu  mengatakan ( memuji) diri kamu suci(bersih) , Dialah yang lebih mengetahui orang yang bertaqwa. “ ( An Najm , 53 :32 ) ( Terus menerus memperbaiki diri dan amalnya dan mensucikan hati)
2)      “ Bahwasanya aku ( Muhammad ) diutus Allah untuk menyempurnakankeluhuran Akhlak ( Budi Pekerti ) “ ( H.R. Ahmad ) ( bagi hamba Allah yangberiman dan berusaha untuk terus bertaqwa dan mengembangkannya maka salah satuusahanya adalah terus memperbaiki dan mengembangkan kwalitas akhlaqnya untukmenuju kepada Akhlaq yang dimiliki Rasulullah saw. )
3)      Ketika Siti Aisyah ra ditanya tentang Akhlak Rasulullah Saw, maka ia menjawab , “ Akhlak-nya adalah Al Qur’an “ ( Abu Dawud & Muslim )
4)      “ Siapakah diantara mereka hamba-hamba Allah ini yang lebihdicintai  oleh Allah ? “ Rasulullah menjawab, “ Yaitu orang yang palingbaik akhlak-nya “ (HR.Tabrani )
5)      “ Siapakah diantara orang mukmin yang paling sempurnaimannya ? “ Rasulullah menjawab : “ yaitu orang yang paling baikakhlak - nya “  (HR.Tabrani )
Apakah sesuatu yang lebih baik yang diberikan kepadamanusia ?  , Rasulullah menjawab , yaitu “ akhlak yang baik “ ( H.R. IbnuHibban )
6)      Kemuliaan seorang mukmin itu adalah agamanya , hargadirinya itu adalah akalnya , dan perhitungannya ( nanti di hari kiamat ) ituadalah akhlak- nya.   ( HR. Hakim )
7)      Dari Abdullah bin Amir : Aku pernah mendengar Rasulullahbersabda , “ Maukah kalian kuberitahu tentang orang yang paling kucintai danpaling dekat duduknya dengan aku nanti di hari kiamat ? “ Diulanginya perkataanitu dua kali tiga kali. Mereka menjawab : “ Baiklah ya Rasulullah  ,Beliau bersabda , “ Yaitu orang yang paling baik akhlak –nya”  ( HR.Ahmad )
8)      “ Tidak ada sesuatu yang paling berat timbangannyatentang orang mukmin nanti dihari kiamat , selain akhlak yangbaik. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang perbuatannya keji dan rendah, dan sesungguhnya orang yang berakhlak luhur itu akan sampai ke derajat orangyang puasa dan sholat “ (HR.Ahmad )
9)      ( Mu’min - muslim yang benar sholat dan Puasanya tentunya baik danbenar juga akhlaqnya , insyaallah atau orang yang memiliki/pengamal akhlaq yangbaik dia juga memiliki /pengamal sholat dan puasa yang benar , masyaalllah ! /jika bisa seperti ini , Allahu Akbar ! / pen. )
10)  ” Sesungguhnya seorang mukmin dengan akhlak-nya yang baikakan dapat mencapai derajat orang yang berdiri ( sembahyang ) dimalam hari danpuasa di siang hari  ( HR. Abu Daud )
Beberapa Sikap Akhlaq Yang Baik.
1.Amanah.                                              
2. Sidqu. ( benar/jujur)             
3. Wafa’ . ( menepati janji)                    
4.Adil.                                         
5. Ifafah. ( memelihara kesucian diri )
6. Haya’. ( malu)                        
7. Arief / Bijaksana.
8. Syajayah. ( berani karena benar)   
9. Sehat dan Kuat (Al-Quwwah.)                 
10. Sabar , Lemah – lembut , Kasih-sayang.
11. Hemat.
12. Ikhlas.
13. Pemaaf.
14. Khusyuk.
15. Syakha’. ( murah hati )
16. Berilmu.
17. Tawaddu’. ( rendah hati )
18. Syukur Nikmat.
19. Tawakal Allah.
20.Zuhud. ( tidak diperbudak dunia / harta )
21. Dll
 “ Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu(ialah) orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendahhati  (tidak sombong) dan apabila orang-orang jahilmenyapa mereka , mereka mengucapkan kata-kata ( yang mengandung) keselamatan “ ( Al Forqan ,  25 : 63-65 ) , 
 
 

AL-QUR'AN MU'JIZAT TERBESAR NABI MUHAMMAD SAW

Dalam kitab Dala-ilut Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullahu ta’ala mengatakan,
Pertanyaan:
Apa mukjizat [terbesar] Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jawaban:
Mukjizat beliau adalah Al Qur-an yang seluruh makhluk tidak mampu mendatangkan satu surat yang semisal dengannya. Mereka pun tidak sanggup memenuhinya. Padahal mereka orang-orang yang fasih, orang-orang yang besar kebencian dan permusuhan mereka kepada siapa saja yang mengikuti Rasulullah. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,
وَإِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُواْ بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِ وَادْعُواْ شُهَدَاءكُم مِّن دُونِ اللّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan jika kalian ragu dengan apa yang diturunkan kepada hamba Kami, maka datangkan oleh kalian satu surat yang semisal dengannya dan panggillah penolong-penolong kalian dari selain Allah, jika benar kalian orang-orang yang jujur.” (QS. Al Baqarah: 23)
Dan di dalam ayat lainnya, Allah ta’ala berfirman,
قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ الإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَن يَأْتُواْ بِمِثْلِ هَـذَا الْقُرْآنِ لاَ يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيراً
“Katakan, ‘Jika betul-betul berkumpul manusia dan jin untuk membuat yang semisal dengan Al Qur-an ini, niscaya mereka tidak akan mampu, meskipun sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain.” (QS. Al Isra: 88)
Sumber: Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab. 50 Su-alan wa Jawaban fil ‘Aqidah. TTp: TPn. TTh, halaman 3.

Sebelum menjadi Rasul, Nabi Muhammad saw telah diberi gelar Al-Amin, yang artinya terpercaya, tidak pernah berdusta.

Rasulullah Muhammad SAW banyak memiliki mukjizat yang nyata yaitu dapat dilihat dengan izin Allah yaitu:

• Memahami bahasa binatang seperti Nabi Sulaiman
• Memerintah bumi dan pohon seperti Musa
• Diberi mukjizat seperti Nabi Ibrahim
• Anak yang meninggal bangkit hidup kembali
• Menyembuhkan orang buta sejak lahir
• Menyembuhkan orang lumpuh sejak lahir
• Menyembuhkan orang cacat sejak lahir
• Mengetahui isi hati orang disekelilingnya
• Memberi makan kepada ribuan orang dengan sedikit makanan
• Memberi minum kepada ribuan orang dengan setitis air
• Mengeluarkan air ditengah-tengah padang pasir
• Mengeluarkan air dari celah jari untuk wudhu puluhan ribu orang
• Menyembuhkan puteri raja yang cacat tanpa tangan dan kaki
• Membelah bulan menjadi ke 2 bagian. Kejadian ini telah dibuktikan oleh para astronot Amerika.
• Mengetahui apa yang telah terjadi
• Mengetahui apa yang sedang terjadi
• Mengetahui apa yang akan terjadi
• Melihat apa yang dibelakangnya seperti dari depan
• Musuh tidak mampu membunuh beliau
• Bumi menelan orang yang hendak membunuh beliau
• Musuh tidak dapat melihat beliau
• Menidurkan puluhan musuh
• Musuh berdiri kaku tidak dapat menghunuskan pedang
• Tidak dapat dibunuh musuh
• Rombongan berkuda para sahabat dapat menyeberang laut tanpa basah dan tanpa menyentuh air ketika mengejar gerombolan musuh yang melarikan diri dengan kapal layar

Begitu banyak bukan. Mungkin sulit untuk kita percaya kalau kita dilahirkan bukan dalam Islam. Sebagaimana kita tidak mempercayai keajaiban Siddhartha Guatama Buddha. Ada juga beberapa muslim yang tidak mempercayai mukjizat ini karena belum pernah membaca hadis-hadis sahih bukhori dan Shahih Muslim atau Shahih Ahmad yang lengkap, bukan dari ringkasan hadits.

Sulit untuk mereka untuk mempercayai mukjizat Muhammad S.A.W

Abubakar RA bertanya: Ya Rasulullah, apakah zaman dimana muslim memiliki iman yang lebih tinggi dibandingkan dengan kami?

Rasulullah Muhammad S.A.W bersabda:

Wahai Abu Bakar, apa yang menghalangimu untuk percaya padaku sedangkan wahyu masih turun dan aku masih berada ditengah-tengah kamu sementara kamu semua menyaksikan sendiri mukjizat-mukjizat yang diberikan kepadaku? Tetapi di akhir zaman, ada segolongan ummatku yang mereka sama sekali tidak pernah melihatku, mereka tidak pernah hidup disampingku dan mereka hanya mendengar cerita tentangku tetapi mereka percaya kepadaku, merindukanku, mencintai Allah, mencintaiku, beriman pada Allah dan beriman pada kepadaku. Iman merekalah yang lebih tinggi dibandingkan dengan kamu semua ".

Tetapi semua itu telah beralu. semua itu hanya tinggal cerita. semua itu hanya dapat kita dengar saja. semua itu tidak dapat kita lihat sendiri. Sulit untuk sesetengan orang untuk mempercayai apa yang tidak dapat dilihatnya.


Al-Qur'an, sebuah buku yang banyak mengandung keajaiban ayat yang baru dapat dibuktikan secara nyata oleh ilmu pengetahuan dan bahkan alat modern tercanggih abad ini, telah disebutkan di dalam Al-Qur'an 1400 Tahun yang lalu.

Al-Qur'an adalah mukjizat sepanjang masa. Diakui Al-Qur'an memiliki ilmu sastra yang terindah. Keindahan bahasa dan hikmah didalamnya sangat sempurna.

Al-Qur'an adalah keajaiban dari keajaiban. Dari segi matematika, Qur'an adalah keajaiban matematika. Di segi Kimia, Qur'an telah mendahului. Dari sudut astronomi, Quran telah membuktikan kebenaran sebelum orang lain mengetahuinya.

Fahamilah Al-Quran, sesungguhnya setiap ayat mengandung mukjizat

Di waktu Ilmu pengetahuan berada pada tingkat tertinggi, tidak ada satupun dari ayat Qur'an yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan, bahkan ayat Qur'an menyatakannya secara rinci.

Bahasa Arab yaitu bahasa Al-Qur'an adalah bahasa yang paling sulit di dunia, karena satu kata memiliki banyak arti, bahkan dalam 1 kata gender bisa berarti pria pada salah satu suku arab, tetapi berarti wanita di suku lain.

Tidak seperti kitab lain yang telah kehilangan bahasa aslinya seperti naskah tertua dari Alkitab Kristen (Bible) Perjanjian Baru adalah di dalam bahasa Yunani (Yunani), padahal Isa as menggunakan bahasa Ibrani.

Kebenaran Al-Qur'an ini masih dapat kita lihat di hadapan kita sendiri. Sebagai mukjizat yang tetap hidup selamanya.

Sebuah Kitab yang mengaku dari Allah harus berani dihadapkan dengan segala macam permasalahan, segala zaman, segala segi, segala sisi, dari sudut manapun dan harus sepanjang zaman membawa kebenaran.

Yang tidak dapat didatangi segala kepalsuan dari setiap arah dan seginya (Al-Qur'an), ia diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
(Qs.41 Fushshilat: 42)

Dari segi sastra, matematika, astronomi, psikology, sains, tata negara, muamalat, ekonomi, jumlah surah, jumlah ayat, jumlah kalimat, jumlah huruf, biologi, astronomi, fisika, kimia, geologi, geografis, segala ilmu, segala abad, sejak penciptaan alam semesta, masa lalu, masa kini, masa depan, sehingga waktu kiamat dan kehidupan setelah kiamat sekalipun, semuanya dinyatakan di dalam Al-Qur'an.

Zaman ini merupakan zaman ilmu pengetahuan, apakah Qur'an, Bible atau kitab-kitab lainnya dapat mengikuti perkembangan zaman?

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau sekiranya Al Quran itu bukan dari Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.

Banyak orang bukan Islam bertanya, mengapa mukjizat hanya berupa sebuah buku dari orang buta huruf yang datangnya dari tengah padang pasir pada zaman jahiliyyah?

Sebuah mukjizat terbesar berupa sebuah buku yang diturunkan melalui seorang Al-Amin (tidak pernah berbohong) yang tidak dapat membaca di zaman kuno kepada umat terakhir yang pintar dan penilaian melek hurufnya sangat tinggi. Siapa lagi yang mewahyukan jika bukan pencipta alam semesta.

Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.
(Qs. 17 Israa ': 81)

Sesungguhnya masih banyak bukti untuk membahas ayat ini. Bukti diatas sudah cukup untuk orang berpikir menggunakan akal. Nabi Isa a.s. pun menyuruh agar umatnya mengutamakan dan mengedepankan akal dalam menyembah Allah.

Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.
(Markus 12:30)

Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenapakal budimu.
(Matius 22:37)

Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."
(Lukas 10:27)

Sudah banyak bukti dikemukakan. Islam terbukti benar.

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi
(Qs.3 Ali Imran: 85)

Sesungguhnya agama disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya
(Qs.3 Ali Imran: 19)