Tahun 2019 dua disrupsi – disrupsi teknologi (tech disruption) dan disrupsi milenial (millennial disruption) – akan menemukan critical mass. Disrupsi teknologi memengaruhi pasar dari sisi penawaran (supply side); sementara disrupsi milenial dari sisi permintaan (demand side).
Dua disrupsi itu merupakan ancaman terbesar (di samping “trade war” AS vs Cina di tingkat global dan “Pemilu effect” di tingkat lokal) bagi setiap bisnis di tahun 2019. Tapi ingat, marketer/entrepreneur hebat selalu bisa membalik setiap ancaman (threat) menjadi peluang (opportunity) .
Karena itu tak bisa ditunda lagi, 2019 adalah tahun dimana marketers/entrepreneurs harus bisa menjinakkan disrupsi kembar tersebut. Mampu tidaknya Anda menjinakkan disrupsi kembar akan menentukan apakah Anda bisa mewujudkan pertumbuhan tinggi (bahkan eksponensial 10X) atau sebaliknya stagnan karena tak mampu menciptakan ruang pertumbuhan.
Saya akan memberikan berapa clue mengenai disrupsi kembar ini. Untuk minggu ini khusus mengenai disrupsi teknologi; sementara tulisan minggu depan mengulas disrupsi milenial.
Machine Learning in Retail Store
Perkembangan teknologi digital yang disruptif telah merevolusi sektor retail, khususnya e-commerce. Tak cukup hadir secara online, beberapa e-commerce kini juga membangun offline store dengan sentuhan teknologi artificial intelligence dan machine learning.
Amazon sebagai raja e-commerce global, melalui Amazon Go tahun lalu memperkenalkan konsep retail offline-nya yang sangat revolusioner dengan meniadakan kasir. Bahkan, mereka memberikan pelayanan pengiriman barang melalui drone.
Tak mau ketinggalan, JD.ID menawarkan experience yang sama dengan membuka JD.ID Xmart di PIK Avenue Mal Jakarta. Konsumen cukup melakukan transaksi melalui aplikasi yang tersedia.
Convenience Revolution
Selain e-commerce, tren offline store yang cashier-less kini diikuti oleh peritel konvensional lainnya. McD misalnya, beberapa gerainya kini dilengkapi dengan teknologi self-ordering kiosk yang memudahkan konsumen dalam melakukan pemesanan dan pembayaran produk di McD.
Teknologi layar sentuh akan mempercepat proses pemesanan serta mengurangi kesalahan pesanan. Dengan cashless payment, konsumen tak harus mengantri di konter order seperti restoran cepat saji pada umumnya.
Self Ordering Kiosk dengan layar sentuh ini dibuat user-friendly untuk memudahkan konsumen saat menggunakannya. Welcome convenience revolution!
Digital Payment Is Going Mainstream
Disrupsi digital juga melahirkan revolusi dalam hal pembayaran transaksi. Konsumen kini kian massif mengadopsi cashless lifestyle dengan melakukan pembayaran secara digital.
Hadirnya berbagai startup digital yang mengusung fintech, khususnya payment semakin massif. Sebut saja Go-Pay, Ovo, T-Cash hingga Dana berlomba-lomba mengakuisisi konsumen dengan beraneka promo diskon maupun cashback. Mereka saling berlomba untuk mengembangkan ekosistem sendiri dengan semboyan: move fast, dominate the market!!!
Go-Pay misalnya, kini tak hanya bisa digunakan untuk transaksi di dalam ekosistem layanan Gojek. Mereka sangat ekspansif dengan merambah UMKM khususnya kuliner dan pedagang-pedagang kecil, bahkan semua pembayaran. Ambisi mereka: “mengGoPaykan semua pembayaran”.
P2P Lending Euphoria
Selain payment, revolusi fintech juga menyentuh sektor lending dengan hadirnya berbagai layanan peer-to-peer (P2P) lending. Sebut saja Amartha, Investree, atau Koinworks.
Dengan fungsi yang hampir mirip dengan bank, fintech P2P lending memberikan layanan yang lebih mudah bagi konsumen untuk melakukan pinjaman secara online.
Baca juga: Welcome the New Normal
Namun sayangnya, banyak pemain “abal-abal” bermunculan yang menimbulkan ekses negatif dari isu pelanggaran privasi sampai bunga yang mencekik sehingga dianggap sebagai “rentenir online”.
Euforia P2P lending ini akan berlanjut dengan rasionalisasi industri dimana mereka yang tangguh akan tersisa, sementara yang abal-abal akan mati ditelan jaman.
The Birth of Lazy Economy
Hadirnya Gojek telah membuat konsumen semakin mendapat kemudahan dan kenyamanan lewat berbagai layanan yang ditawarkan.
Setelah sukses dengan layanan transportasinya, Gojek mengembangkan berbagai layanan on-demand yang semakin memudahkan konsumen. Go-Food, Go-Life, hingga Go-Daily menghadirkan layanan yang sangat memanjakan konsumen untuk pesan makanan, perawatan tubuh, membersihkan rumah, hingga pesan air galon.
Berbagai layanan ini menimbulkan fenomena yang disebut lazy economy dimana konsumen tidak perlu repot, cukup order ini-itu melalui apps.
O2O Revolution
Online to Offline (O2O) akan berkembang menjadi layanan omni-channel retailing dan dapat dijadikan sebagai solusi alternatif dalam memecahkan masalah logistik layanan e-commerce di Indonesia.
Saat ini adopsi O2O memang masih sangat terbatas di Indonesia, namun terus berkembang. Misalnya Tokopedia yang menggandeng Indomaret sebagai channel pembayaran cukup menjadi solusi bagi konsumen yang unbankable.
Demikian juga Bukalapak dengan program Mitra Bukalapak yang menggandeng warung-warung untuk layanan berbagai pembayaran tagihan.
IoT Attack!
Internet of Things (IoT) merupakan sebuah teknologi yang mampu mengubah perangkat menjadi sesuatu yang berharga, di antaranya untuk monitoring dan analisis. Beberapa tahun terakhir perkembangannya semakin massif, khususnya di Indonesia.
Xiaomi yang sebelumnya sangat perkasa dengan produk smartphone, kini mulai menggempur pasar Indonesia dengan produk-produk berbasis IoT. Produk-produk solusi untuk smarthome tersebut diantaranya adalah lampu, rice cooker, air purifier hingga vacuum cleaner yang bisa dikendalikan melalui smartphone.
Masuknya pemain-pemain Cina di ranah IoT ini akan berpengaruh terhadap kencangnya adopsi IoT di Indonesia baik dari sisi demand maupun supply. Dari sisi demand, konsumen akan kian teredukasi dan terbiasa. Dari sisi supply, pemain lain akan makin keras berkompetisi memperebutkan kue pasar produk barbasis IoT yang bakal menggeliat di Indonesia.
Sumber: https://www.yuswohady.com/