Tampilkan postingan dengan label Tekhnologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tekhnologi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 23 Juni 2017

Bocah 14 Tahun Ciptakan Energi Listrik Bermodal Rp 200.000


Liputan6.com, Jakarta - Gara-gara terinspirasi oleh Nikola Tesla dan Albert Einsten, seorang remaja berusia 14 tahun Max Loughan dari Incline Village, Nevada, Amerika Serikat, berniat untuk mengubah dunia dengan hasil penemuannya.

Dalam laporan berita KTVN, yang Tekno Liputan6.com kutip dari Waking Times, Selasa (20/6/2017), Max menjelaskan perangkat pemanen energi hasil ciptaannya di ruang bawah tanah rumahnya yang disulap menjadi laboratorium.

"Masa depan yang saya bayangkan adalah sebuah masa depan yang dibayangkan oleh semua orang. Jika kamu memiliki energi, kamu akan memiliki kekuatan, dan kamu akan memiliki segala hal," kata Max.

Lantas, seperti apa perangkat pemanen listrik buatan remaja itu? Alat yang dibuat Max mirip dengan koil Tesla, demikian juga dengan cara kerjanya. Meski sederhana, kemampuannya cukup bisa diandalkan.
Alat tersebut berguna untuk menangkap energi elektromagnetik yang didapatkan dari atmosfer kemudian mengubahnya menjadi listrik arus searah (DC) yang bisa digunakan untuk menyalakan alat-alat elektronik.

Hebatnya, dalam mengembangkan tersebut itu, Max menghabiskan biaya kurang dari US$ 15 atau sekitar Rp 200 ribuan saja.

Mengutip laporan KTVN, selama beberapa bulan menciptakan alat pemanen listrik itu, ia menggunakan sebuah kaleng kopi, kabel, dua lilitan kabel, dan sebuah sendok.

"Kabel bertugas mengumpulkan energi, gelombang radio, dan panas dari udara dan di dalamnya ada kaleng kopi yang mengubahnya dari arus bolak balik (AC) menjadi arus searah (DC)," kata Max.
Untuk membuktikan penemuannya ini benar-benar berhasil mengubah listrik, Max melilitkan lampu LED pada saudara kembarnya yang bernama Jack. Kemudian, anak yang bermimpi mengubah dunia itu menghubungkan lampu LED ke alat ciptaannya. Tak butuh waktu lama, lampu LED yang dililitkan di tubuh saudaranya itu pun menyala.

"Semudah itu, dan sejak pertama hadir di Bumi, saya tahu apa alasan saya lahir, yaitu untuk membuat penemuan, untuk mengubah dunia," kata Max menegaskan.
Ia pun berharap agar temuannya bisa mengubah dunia sehingga di masa depan, manusia tak perlu berjuang untuk mendapatkan hal-hal dasar seperti energi. Hebatnya lagi, keberhasilan Max tak membuatnya berorientasi pada uang atau pengakuan dari pihak lain.

"Tujuan utama saya adalah menjadikan Bumi sebagai tempat yang lebih baik, sehingga di masa depan orang-orang bisa berbahagia, selamat, dan damai," kata anak yang gemar memakai jas laboratorium itu.

Selasa, 20 Juni 2017

Parisa Tabriz, "Hacker" Wanita yang Jadi Bos di Google


KOMPAS.com -  Google merekrut banyak peretas untuk melindungi sistemnya dari gangguan pihak luar. Tugas mereka adalah mencari lubang keamanan dalam sistem sebelum ditemukan peretas jahat.

Salah satu peretas yang direkrut Google adalah wanita 31 tahun bernama Parisa Tabriz yang di kalangan karyawan Google dijuluki sebagai "Security Princess." Kenapa bisa dijuluki seperti itu?

Menurut Parisa yang kini menjabat sebagai Head of Security di tim peramban Google Chrome mengatakan bahwa ia memang meminta mendapatkan nama jabatan yang tidak terlalu serius.

"Saya rasa gelar Information Security Engineer kedengarannya membosankan, semua pria-pria di Google kerjanya sangat serius, karena itu julukan "Security Princes" rasanya lebih cocok," ujar wanita keturunan Iran-Amerika ini kepada Telegraph (4/10/2014).

Gelar Security Princess itu pun dipakai Parisa di dalam kartu namanya.

Parisa kini menjadi salah satu anomali di Silicon Valley, bukan hanya karena ia seorang wanita, namun juga menjadi bos dan memimpin 30 ahli yang tersebar di AS dan Eropa.

Parisa yang pada tahun 2012 pernah masuk dalam daftar 30 orang di bawah umur 30 tahun yang layak diperhatikan yang dibuat oleh Forbes itu mengatakan bahwa masih sediktinya wanita dalam industri teknologi juga disebabkan karena wanita masih meremehkan dirinya masing-masing.

Äda studi yang dilakukan beberapa tahun lalu yang mempertanyakan mengapa orang-orang meninggalkan kuliah ilmu komputer mereka," katanya.

"Wanita yang drop-out cenderung memiliki nilai rata-rata B minus dan alasan utamanya adalah pelajaran yang susah, sementara pria yang keluar rata-rata memiliki nilai C dan alasan mereka adalah ilmu itu tidak menarik," lanjut Parisa.

"Di industri keamanan komputer, keahlian itu lebih penting daripada jenis kelamin, pria atau wanita, untuk mendapatkan pekerjaan itu, kita harus berusaha semaksimal mungkin," demikian tegasnya.

Sebagai white-hat hacker, Parisa merasa keberadaan mereka perlu lebih dipromosikan. Ia mencontohkan kasus pembobolan iCloud yang mengakibatkan beredarnya foto-foto bugil artis-artis Hollywood.

" Hacker butuh publikasi yang lebih baik, semua harus tahu bahwa tidak semua dari kami berperilaku negatif seperti itu," ujarnya.

"Hacker" Tak Selalu Jahat, Contohnya Pemuda 13 Tahun Asal Pakistan Ini


KOMPAS.com - Ahsan Tahir bukan remaja sembarangan. Di umur yang baru genap 13 tahun, ABG asal Karachi, Pakistan ini sudah menemukan aneka macam celah sekuriti di sistem komputer berbagai perusahaan besar.

Untunglah, Tahir tak berniat jahat. Dia adalah hacker putih alias “ethical hacker” yang mencari kelemahan sistem, lalu memberitahukannya ke perusahaan terkait supaya diperbaiki. Atas jasanya ini, Tahir kemudian diberikan imbalan berupa uang.

Mekanisme pelaporan celah keamanan oleh pihak luar tersebut sudah jamak diterapkan perusahaan-perusahaan teknologi di AS lewat serangkaian program “ bug bounty”. Penemu bug akan diganjar hadiah apabila melaporkannya.

Tahir sang hacker muda berkiprah di ranah “ bug bounty” ini. Perusahaan-perusahaan teknologi yang pernah dibantunya menemukan bug termasuk para raksasa seperti Google dan Microsoft.

 “Semakin banyak hacker yang bekerja, semakin banyak bug ditemukan, semakin aman pula perusahaan-perusaan itu. Sederhana saja sebenarnya,” ujar Tahir menjelaskan motivasinya, sebagaimana dirangkum KompasTekno dari NBC News, Senin (15/5/2017).

Belajar sendiri

Kedua orang tua Tahir tidak memiliki latar belakang teknologi. Tahir pun awalnya tak tahu menahu soal peretasan komputer. Ketertarikannya terhadap dunia hacking berawal ketika situsnya sendiri menjadi korban peretasan.

“Saya kemudian memutuskan untuk mencari bug di situs milik saya,” kata Tahir. Dia belajar hacking secara otodidak, dengan menonton video tutorial di YouTube, membaca blog, dan bereksperimen.

Tahir kemudian menemukan situs yang menerangkan bahwa seorang hacker bisa mendapat bayaran dengan meretas situs perusahaan, kemudian melaporkan celah keamanan yang ditemukan. Itulah yang kemudian dia lakoni.

Di usia yang masih belia, Tahir kini menjadi seorang rising star di industri cyber security. Casey Ellis, pendiri dan CEO perusahaan crowdsourcing sekuriti Bugcrowd, mengatakan bahwa remaja seperti Tahir adalah pejuang masa depan di ranah keamanan digital.

“Digital native (orang yang sejak kecil familiar dengan teknologi komputer dan internet) berpotensi besar untuk menjadi hacker yang mahir. Mereka bisa memberi sumbangsih luar biasa untuk perusahaan yang hendak menjaga keamanan bisnis dan konsumen,” kata Ellis.

Program bug bounty kini sudah banyak digelar oleh banyak perusahaan, mulai dari Apple hingga Pentagon. Maklumlah, hacker luar biasanya bisa memberikan masukan tentang celah keamanan yang luput dari pengamatan tim sekuriti internal perusahaan.

Besarnya hadiah uang yang ditawarkan bermacam-macam, tergantung kebijakan perusahaan dan tingkat kegawatan bug. Rentangnya bisa antara 50 dollar AS hingga 350.000 dollar AS.

Ingin bantu mengamankan internet

Tiap hari usai bersekolah, Tahir pulang ke rumah untuk hacking selama enam jam. Setelah itu dia mengerjakan PR dan tugas-tugas lain.

Penghasilannya dari berburu bug terbilang besar dibanding remaja seusianya yang menempuh jalan lain untuk mencari sampingan.

Tahir bahkan bisa membeli iPhone 7 dan sedang menabung untuk membeli mobil. Rencananya mobil akan dibeli ketika dia sudah berusia 18 tahun dan boleh memiliki SIM.

Usia Tahir yang masih belia kadang menjadi kendala dalam mengikuti program bug bounty. Microsoft, misalnya, menetapkan usia minimal 14 tahun buat hacker yang ikut serta. Tahir pun baru bisa menarik bayaran sebesar 500 dollar AS dari Microsoft pada Juli nanti, saat dia genap berusia 14 tahun.

Saat dewasa nanti, Tahir bercita-cita ingin menjadi software engineer sambil terus terus melakoni bug bounty sebagai pekerjaan sampingan.  Dia ingin bantu membuat internet jadi tempat yang lebih aman dan menyebarkan ilmu hacking yang dimilikinya lewat tutorial YouTube.  

“Saya bangga bisa ikut membantu mengamankan internet dan dunia,” kata Tahir. “Ini karena mungkin peperangan berikutnya akan berlangsung di jagat cyber.”

Yuma, "Programmer" Usia 10 Tahun Asal Indonesia yang Dipuji Bos Apple


KOMPAS.com - Kehadirannya sebagai pembuat aplikasi di usia yang masih belia, 10 tahun, menarik perhatian CEO Apple Tim Cook dalam Worldwide Developers Conference (WWDC) di San Jose (AS) dua minggu lalu dan ternyata Yuma Soerianto murid sekolah Middle Park Primary School di Melbourne tersebut berasal dari Indonesia.

Worldwide Developers Conference diselenggarakan setiap tahun oleh perusahaan teknologi raksasa Apple, menjadi ajang berkumpul mereka yang berkecimpung para pembuat aplikasi, dan bagi Yuma Soerianto ini adalah untuk pertama kalinya dia menghadiri konferensi tersebut.

Minggu lalu, sebelum acara resmi berlangsung, Yuma sempat bertemu dengan CEO, bos tertinggi Apple Tim Cook yang terkesan dengan aplikasi yang dibuat oleh Yuma dalam perjalanan di pesawat antara Melbourne ke Amerika Serikat.

Pertemuan Yuma dengan Cook diliput oleh media, dan dengan cepat berita tersebut menyebar ke seluruh dunia.

Tim Cook tertarik dengan aplikasi yang dibuat Yuma yaitu aplikasi untuk membantu orangtuanya menentukan harga sebuah barang.

Harga ini sudah termasuk harga sesuai penjual lokal dan pajak, serta disajikan dalam bentuk yang sudah dikonversi ke mata uang yang digunakan.

Ini menurutnya akan berguna ketika mereka pergi berbelanja suvenir untuk oleh-oleh dari perjalanan mereka.

"Keren sekali, hebat," komentar Cook setelah menyaksikan Yuma mendemokan aplikasinya.

"Dan kamu membuatnya di pesawat dalam perjalanan dari Australia ke AS? Wow. Kamu bisa membuat aplikasi dalam hitungan jam. Saya terkesan. Saya tak sabar melihat karyamu selanjutnya," puji Cook, demikian lapor media minggu lalu.

Melihat nama keluarga Yuma yaitu Soerianto yang berbau Indonesia, ABC Australia Plus Indonesia, yang dikutip KompasTekno, kemudian berhasil mendapatkan kontak ayahnya Hendri Soerianto yang menemani perjalanan Yuma ke Amerika Serikat.

Hendri mengukuhkan bahwa dia berasal dari Indonesia

"Saya dulu berasal dari Jakarta, dan kami sudah berada di Australia selama delapan tahun. Kami tinggal di Singapura selama ini dan Yuma lahir di sana. Kami pindah ke Australia ketika Yuma berusia tiga tahun," kata Hendri dalam percakapan e-mail dengan wartawan ABC Australia Plus Indonesia, Sastra Wijaya.

Yuma adalah anak tunggal keluarga tersebut dan diberi nama Yuma karena "kami ingin namanya mudah diingat, dan nama yang global jadi bukan nama berbau Barat ataupun berbau Timur. Kami percaya kami adalah warga dunia."

Bertemu dengan Michelle Obama

Yuma mulai suka belajar coding sejak usia enam tahun karena menurutnya PR di sekolah kurang menantang.

Dia menciptakan aplikasi pertamanya tahun lalu dan saat ini sudah punya lima aplikasi yang dipajang di App Store.

Lima aplikasi buatan Yuma yang ada di App Store saat ini adalah Let's Stack, Hunger Button, Kid Calculator, Weather Duck, dan Pocket Poke.

Apa pengalaman yang menarik dalam menghadiri Worldwide Developers Conference (WWDC) ini bagi Yuma?

"WWDC sangat mengesankan. Teknologi baru yang ada sangat menakjubkan."

"Ini untuk pertama kalinya saya mendapatkan bantuan profesional, dari orang-orang yang betul mengerti mengenai coding," kata Yuma.

Sebelumnya, Yuma hanya belajar coding dari YouTube, karena menurutnya tidak ada sekolah di Australia yang mengajar bagaimana melakukan coding untuk membuat aplikasi.

"Hal baru yang saya pelajari adalah ARKit (Augmented Reality) dan SceneKit (3D Graphics Engine) karena semuanya baru bagi saya."

"Orang-orang yang saya temui banyak di antaranya adalah para petinggi Apple dan tentu saja Tim Cook, CEO Apple. Saya juga sempat berbicara dengan Michelle Obama." kata Yuma lagi.
Yuma sekarang memiliki channel di YouTube dengan nama Anyone Can Code, dan Anda bisa mengakses linknya di sini.

Dalam wawancara dengan program Radio National ABC, Yuma mengatakan bahwa dia ingin membuat aplikasi yang bisa mengubah dunia, dan juga dia ingin membagi ilmunya mengenai coding kepada siapa saja yang ingin belajar.

"Siapa saja bisa melakukan coding, bila kita sabar melakukannya dan senang melakukannya." katanya.

Ayahnya Hendri yang juga bekerja di bidang IT mengatakan Yuma memang ingin menyebarkan ilmunya kepada yang lain.

"Akan bagus sekali bila dia bisa memberikan inspirasi kepada orang Indonesia lainnya untuk belajar coding," kata Hendri.