Tampilkan postingan dengan label Materi Pesantren Romadhon. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Materi Pesantren Romadhon. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 Juni 2017

10 keutamaan bulan ramadhan yang paling utama


Bulan Ramadhan adalah bulan Ibadah, bulan berbuat baik, bulan kebaikan, bulan simpati, bulan pembebasan dari neraka, bulan kemenangan atas nafsu, dan kemenangan. Pada bulan tersebut, Allah melimpahkan banyak kerunia kepada hamba-hamba-Nya dengan dilipatgandakan pahala dan diberi jaminan ampunan dosa bagi siapa yang bisa memanfaatkannya dengan semestinya. Berikut ini kami hadirkan beberapa amal-amal utama yang sangat ditekankan pada bulan Ramadhan.
 10 keutamaan bulan ramadhan yang paling utama:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya, satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah ‘Azza wa Jalla  berfirman, ‘Kecuali puasa, sungguh dia bagianku dan Aku sendiri yang akan membalasnya, karena (orang yang berpuasa) dia telah meninggalkan syahwatnyadan makannya karena Aku’. Bagi orang yang berpuasa mendapat dua kegembiraan; gembira ketika berbuka puasa dan gembria ketika berjumpa Tuhannya dengan puasanya. Dan sesungguhnya bau tidak sedap mulutnya lebih wangi di sisi Allah dari pada bau minyak kesturi.” (HR. Bukhari dan Muslim, lafadz milik Muslim)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa berpuasa Ramadhan imanan wa ihtisaban (dengan keimanan dan mengharap pahala), diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tidak diragukan lagi, pahala yang besar ini tidak diberikan kepada orang yang sebatas meninggalkan makan dan minum semata. Ini sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatannya, maka Allah tidak butuh dengan ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu) ini merupakan kiasan bahwa Allah tidak menerima puasa tersebut.
Dalam sabdanya yang lain, “Jika pada hari salah seorang kalian berpuasa, maka janganlah ia mengucapkan kata-kata kotor, membaut kegaduhan, dan juga tidak melakukan perbuatan orang-orang bodoh. Dan jika ada orang mencacinya atau mengajaknya berkelahi, maka hendaklah ia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka jika Anda berpuasa, maka puasakan juga pendengaran, penglihatan, lisan, dan seluruh anggota tubuh. Jangan jadikan sama antara hari saat berpuasa dan tidak.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang menunaikan shalat malam di bulan Ramadan dengan keimanan dan mengharap pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Allah Ta’ala berfirman,
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا  وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al-Furqan: 63-64)
Qiyamul lail sudah menjadi rutinitas Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya. ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata, “Jangan tinggalkan shalat malam, karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah meninggalkannya. Apabila beliau sakit atau melemah maka beliau shalat dengan duduk.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Umar bin Khathab Radhiyallahu ‘Anhu biasa melaksanakan shalat malam sebanyak yang Allah kehendaki sehingga apabila sudah masuk pertengahan malam, beliau bangunkan keluarganya untuk shalat, kemudian berkata kepada mereka, “al-shalah, al-Shalah.” Lalu beliau membaca:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kami lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaahaa: 132)
Dan Umar bin Khathab juga biasa membaca ayat berikut:
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?” (QS. Al-Zumar: 9)
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma berkata, “Luar biasa Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu” Ibnu Abi Hatim berkata, “Sesungguhnya Ibnu Umar berkata seperti itu karena banyaknya shalat malam dan membaca Al-Qur’an yang dikerjakan amirul Mukminin Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu sehingga beliau membaca Al-Qur’an dalam satu raka’at.”
Dan bagi siapa yang melaksanakan shalat Tarawih hendaknya mengerjakannya bersama jama’ah sehingga akan dicatat dalam golongan qaimin, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda, “Siapa yang shalat bersama imamnya sehingga selesai, maka dicatat baginya shalat sepanjang malam.” (HR. Ahlus Sunan)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah manusia paling dermawan. Dan beliau lebih demawan ketika di bulan Ramadhan. Beliau menjadi lebih pemurah dengan kebaikan daripada angin yang berhembus dengan lembut. Beliau bersabda, “Shadaqah yang paling utama adalah shadaqah pada bulan Ramadhan.” (HR. al-Tirmidzi dari Anas)
Sesungguhnya shadaqah di bulan Ramadhan memiliki keistimewaan dan kelebihan, maka bersegeralah dan semangat dalam menunaikannya sesuai kemampuan. Dan di antara bentuk shadaqah di bulan ini adalah:
a. memberi makan
Allah menerangkan tentang keutamaan memberi makan orang miskin dan kurang mampu yang membutuhkan, dan balasan yang akan didapatkan dalam firman-Nya:
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا 
قَمْطَرِيرًا  فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا  وَجَزَاهُمْ بِمَا صَبَرُوا جَنَّةً وَحَرِيرًا
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya Kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera.” (QS. Al-Nsan: 8-12)
Para ulama salaf sangat memperhatikan memberi makan dan mendahulukannya atas banyak macam ibadah, baik dengan mengeyangkan orang lapar atau memberi makan saudara muslim yang shalih. Dan tidak disyaratkan dalam memberi makan ini kepada orang yang fakir. Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Wahai manusia, tebarkan salam, berilah makan, sambunglah silaturahim, dan shalatlah malam di saat manusia tidur, niscaya engkau akan masuk surga dengan selamat.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Sebagian ulama salaf ada yang mengatakan, “Aku mengundang sepuluh sahabatku lalu aku beri mereka makan dengan makanan yang mereka suka itu lebih aku senangi dari pada membebaskan sepuluh budak dari keturunan Islmail.”
Ada beberapa ulama yang memberi makan orang lain padahal mereka sedang berpuasa, seperti Abdullan bin Umar, Dawud al-Tha’i, Malik bin Dinar, dan Ahmad bin Hambal Radhiyallahu ‘Anhum. Dan adalah Ibnu Umar, tidaklah berbuka kecuali dengan anak-anak yatim dan orang-orang miskin.
Ada juga sebagian ulama salaf lain yang memberi makan saudara-saudaranya sementara ia berpuasa, tapi ia tetap membantu mereka dan melayani mereka, di antaranya adalah al-Hasan al-Bashri dan Abdullah bin Mubarak.
Abu al-Saur al-Adawi berkata: Beberapa orang dari Bani Adi shalat di masjid ini. Tidaklah salah seorang mereka makan satu makananpun dengan sendirian. Jika ia dapatkan orang yang makan bersamanya maka ia makan, dan jika tidak, maka ia keluarkan makanannya ke masjid dan ia memakannya bersama orang-orang dan mereka makan bersamanya.
b. Memberi hidangan berbukan bagi orang puasa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Siapa yang memberi berbuka orang puasa, baginya pahala seperti pahala orang berpuasa tadi tanpa dikurangi dari pahalanya sedikitpun.” (HR. Ahmad, Nasai, dan dishahihkan al-Albani)
Dan dalam hadits Salman Radhiyallahu ‘Anhu, “Siapa yang memberi makan orang puasa di dalam bulan Ramadhan, maka diampuni dosanya, dibebaskan dari neraka, dan baginya pahala seperti pahala orang berpuasa tadi tanpa dikurangi sedikitpun dari pahalanya.”
. . . Sesungguhnya shadaqah di bulan Ramadhan memiliki keistimewaan dan kelebihan, maka bersegeralah dan semangat dalam menunaikannya sesuai kemampuan. . .
Dan ini sudah kami ulas dalam tulisan yang lalu berjudul: Teladan Salaf Dalam Membaca Al-Qur’an di Bulan Ramadhan.
5. Duduk di masjid sampai matahari terbit
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, apabila shalat Shubuh beliau duduk di tempat shalatnya hinga matahari terbit (HR. Muslim). Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dari Anas, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau bersabda,
مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ
“Siapa shalat Shubuh dengan berjama’ah, lalu duduk berdzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lalu shalat dua raka’at, maka baginya seperti pahala haji dan umrah sempurna, sempurna , sempurna.” (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Keutamaan ini berlaku pada semua hari, lalu bagaimana kalau itu dikerjakan di bulan Ramadhan? Maka selayaknya kita bersemangat menggapainya dengan tidur di malam hari, meneladani orang-orang shalih yang bangun di akhirnya, dan menundukkan nafsu untuk tunduk kepada Allah dan bersemangat untuk menggapai derajat tinggi di surga.
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam senantiasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama 10 hari. Dan pada tahun akan diwafatkannya, beliau beri’tikaf selama 20 hari (HR. Bukhari dan Muslim).  I’tikaf merupakan ibadah yang berkumpul padanya bermacam-macam ketaatan; berupa tilawah, shalat, dzikir, doa dan lainnya. Bagi orang yang belum pernah melaksanakannya, i’tikaf dirasa sangat berat. Namun, pastinya ia akan mudah bagi siapa yang Allah mudahkan. Maka siapa yang berangkat dengan niat yang benar dan tekad kuat pasti Allah akan menolong. Dianjrukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir adalah untuk mendapatkan Lailatul Qadar. I’tikaf merupakan kegiatan menyendiri yang disyariatkan, karena seorang mu’takif (orang yang beri’tikaf) mengurung dirinya untuk taat kepada Allah dan mengingat-Nya, memutus diri dari segala kesibukan yang bisa mengganggu darinya, ia mengurung hati dan jiwanya untuk Allah dan melaksanakan apa saja yang bisa mendekatkan kepada-Nya. Maka bagi orang beri’tikaf, tidak ada yang dia inginkan kecuali Allah dan mendapat ridha-Nya.
Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau bersabda,
عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ حَجَّةٌ
“Umrah pada bulan Ramadhan menyerupai haji.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) dalam riwayat lain, “seperti haji bersamaku.” Sebuah kabar gembira untuk mendapatkan pahala haji bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ  وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadar: 1-3)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Dan siapa shalat pada Lailatul Qadar didasari imandan mengharap pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berusaha mencari Lailatul Qadar dan memerintahkan para sahabatnya untuk mencarinya. Beliau juga membangunkan keluarganya pada malam sepuluh hari terakhir dengan harapan mendapatkan Lailatul Qadar. Dalam Musnad Ahmad, dari Ubadah secara marfu’, “Siapa yang shalat untuk mencari Lailatul Qadar, lalu ia mendapatkannya, maka diampuni dosa-dosa-nya yang telah lalu dan akan datang.” (Di dalam Sunan Nasai juga terdapat riwayat serupa, yang dikomentari oleh Al-hafidz Ibnul Hajar: isnadnya sesuai dengan syarat Muslim)
. . . Lailatul Qadar berada di sepuluh hari terakhir Ramadhan, tepatnya pada malam-malam ganjilnya. Dan malam yang paling diharapkan adalah malam ke 27-nya, sebagaimana yang diriwayatkan Muslim. . .
Terdapat beberapa keterangan, sebagian ulama salaf dari kalangan sahabat tabi’in, mereka mandi dan memakai wewangian pada malam sepuluh hari terakhir untuk mencari Lailatul Qadar yang telah Allah muliakan dan tinggikan kedudukannya. Wahai orang-orang yang telah menyia-nyiakan umurnya untuk sesuatu yang tak berguna, kejarlah yang luput darimu pada malam kemuliaan ini. 
Sesungghnya satu amal shalih yang dikerjakan di dalamnya adalah nilainya lebih baik daripada amal yang dikerjakan selama seribu bulan di luar yang bukan Lailatul Qadar. Maka siapa yang diharamkan mendapatkan kebaikan di dalamnya, sungguh dia orang yang jauhkan dari kebaikan.
Lailatul Qadar berada di sepuluh hari terakhir Ramadhan, tepatnya pada malam-malam ganjilnya. Dan malam yang paling diharapkan adalah malam ke 27-nya, sebagaimana yang diriwayatkan Muslim, dari Ubai bin Ka’ab Radhiyallahu ‘Anhu, “Demi Allah, sungguh aku tahu malam keberapa itu, dia itu malam yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan kami untuk shalat, yaitu malam ke-27.” Dan Ubai bersumpah atas itu dengan mengatakan, “Dengan tanda dan petunjuk yang telah dikabarkan oleh Ramadhan Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada kami, matahari terbit di pagi harinya dengan tanpa sinar yang terik/silau.”
Dari ‘Aisyah, ia berkata: Wahai Rasulullah, jika aku mendapatkan Lailatul Qadar, apa yang harus aku baca? Beliau menjawab, “Ucapkan:
 اللَّهُمَّ إنَّك عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, menyukai pemberian maaf maka ampunilah aku.” (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi, dishahihkan Al-Albani)
Sesungguhnya malam dan siang Ramadhan adalah waktu-waktu yang mulia dan utama, maka manfaatkanlah dengan memperbanyak dzikir dan doa, khususnya pada waktu-waktu istijabah, di antaranya:
– Saat berbuka, karena seorang yang berpuasa saat ia berbuka memiliki doa yang tak ditolak.
– Sepertiga malam terkahir saat Allah turun ke langit dunia dan berfirman, “Adakah orang yang meminta, pasti aku beri. Adakah orang beristighfar, pasti Aku ampuni dia.”
– Beristighfar di waktu sahur, seperti yang Allah firmankan, “Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Al-Dzaariyat: 18)
. . . Sesungguhnya berpuasa tidak hanya sebatas meninggalkan makan, minum, dan hubungan suami istri, tapi juga mengisi hari-hari dan malamnya dengan amal shalih. . .
dengan memperbanyak bernbuat baik di bulan ramadhan, diharapkan tuhan segera melihat, bukan untuk kita mendapatkan pahala dari kebaikan itu, tapi karena kita berharap tuhan akan semakin baik kepada kita, dengan memberikan apapun yang kita inginkan baik itu berbentuk ampunan, ataupun berbentuk kemudahan untuk semua persoalan yang kita hadapi atau bahkan berupa kemudahan dalam mencari rizki yang halal dan baik.
Demikian 10 ibadah yang paling utama untu meraih keutamaan dan keistimewaan bulan ramadhan,,
tulisan diatas juga bisa anda semua gunakan sebagai contoh pidato agama ataupun sebagai referensi anda dalam memberikan sambutan ceramah agama teutaa untuk disampaikan dibulan ramadhan,,, semoga bermanfaat.!!!!

Minggu, 04 Juni 2017

NUZULUL QUR'AN, MALAM 17 ROMADHON

Seorang sahabat bertanya, “Sebenarnya, Al-Quran itu turun malem lailatul qodar apa tanggal 17 Ramadhan sih? Kan di surat al-qodar, Al-Qur’an turun malem lailatul qodar. Terus kata Nabi SAW kan lailatul qodar tuh ada di sepuluh akhir bulan Ramadhan. Kok orang-orang pada ngadain nuzulul Quran tanggal 17 Ramadhan?.”
Mungkin soal ini juga yang ada di benak para pembaca sekalian. Berikut ini sedikit penjelasan tentang “nuzulul Quran” yang diambil dari beberapa kitab yang menerangkan tentang masalah ini.


Metode Diturunkannya Al-Qur’an (Kaifiyah Inzal)


Pertama: Al-Qur’an Diturunkan Secara Sekaligus

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
“Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an.” (Al-Baqarah 185)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya kami menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan.” (Al-Qodr 1)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ
“Sesungguhnya kami menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam yang diberkahi.” (Ad-dukhon 3)

Dalam 3 ayat di atas, semua menjelaskan tentang turunnya Al-Quran pertama kali, yaitu pada bulan Ramadhan tepatnya malam lailatul qadar; malam kemuliaan. Dan pada surat Ad-Dukhon yang dimaksud malam mubarok ialah malam lailatul qadar pada bulan Ramadhan sebagaimana yang dikatakan oleh kebanyakan ulama tafsir. (lihat tafsir Al-Alusi)
Dalam kitab Al-Burhan Fi ‘Ulumil-Qur’an karangan Syeikh Badruddin Az-Zarkasyi (W. 794 H), beliau mengatakan bahwa dalam hal ini para Ulama berbeda pendapat ke dalam 3 pendapat yang masyhur.

Dan dari tiga pendapat tersebut, yang paling mendekati kepada pendapat yang kuat dan benar ialah pendapat yang banyak dipegang oleh Jumhur Ulama, yaitu:
Bahwa Al Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia (daarul Izzah) pada malam Lailatul Qodr kemudian diturunkan dengan cara berangsur-angsur sepanjang kehidupan Nabi saw setelah beliau diangkat menjadi Nabi di Mekah dan Madinah sampai wafat beliau.

Banyak para ulama yang mengatakan bahwa pendapat inilah yang paling mendekati kebenaran, berdasarkan suatu riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Hakim dalam mustadroknya dengan sanad yang shahih, dari Ibnu Abbas radhiyallhu ‘anhuma, beliau mengatakan bahwasanya Al-Quran itu turun sekaligus ke langit dunia pada malam lailatul qadr. Kemudian diturunkan berangsur-angsur selama 20 tahun, kemudian ia mambaca ayat,
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا

Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik.” (QS. Al Furqan: 33)
وَقُرْآناً فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلاً

“Dan Al Quran itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al Isra: 106)
Imam An-Nasa’i juga meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “……dan Al-Qur’an diletakkan di baitil izzah dari langit dunia kemudian Jibril turun dengan membawanya kepada Muhammad SAW.”

Kedua: Al-Qur’an Diturunkan Secara Berangsuran
Setelah diturunkan secara lengkap (keseluruhan) dari Lauh Mahfudz ke langit Dunia (Baitul-Izzah), Al-Qur’an turun secara berangsuran selama 23 tahun (ini menurut pendapat yang kuat); 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah. Dan turunnya Al-Qur’an secara berangsuran telah dijelaskan dalam firman Allah SWT,
وَقُرْآناً فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلاً

“Dan Al Quran itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al Isra: 106)
Dan inilah salah satu keistimewaan Al-Qur’an, bahwa kitab suci umat Nabi Muhammad ini turun secara berangsuran setelah sebelumnya diturunkan secara lengkap/sekaligus.
Ini berbeda dengan kitab-kitab samawi lainnya yang diturunkan secara sekaligus, yaitu Injil, Taurat dan Zabur, tanpa ada angsurannya. Allah SWT berfirman:
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيل وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (QS. Al-Furqan: 32-33)

Dan ayat pertama yang turun menurut kebanyakan ulama ialah surat Al-Alaq (dan ini adalah pendapat yang kuat), atau biasa kita sebut dengan surat Iqra’ ayat 1-5. Ini berdasarkan riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih keduanya dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha Istri Rasul SAW.

Kapan Ayat Pertama Turun?
Adapun “kapan” surat Iqra’ itu diturunkan, ulama dan ahli sejarah berbeda pendapat tentang ini. Ada yang mengatakan bulan Rabiul Awwal, ada juga yang mengatakan bulan Ramadhan, dan ada juga yang mengatakan bulan Rajab.
Namun pendapat yang kuat ialah bulan Ramadhan sesuai firman Allah SWT: “bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an.” (Al-Baqarah 185).

Dan kebanyakan ulama juga sepakat bahwa surat Iqra’ adalah wahyu yang pertama turun, juga sebagai pengangkatan Nabi Muhammad SAW menjadi Nabi. Dan ini terjadi pada hari senin, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Abu Qotadah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi SAW pernah ditanya tentang puasa hari senin, kemudian beliau menjawab: “itu adalah hari di mana aku dilahirkan dan diturunkan kepadaku wahyu.”

Kemudian Ulama kembali berbeda pendapat tentang tanggal turunnya pada bulan Ramadhan. Ada yang mengatakan malam 7 Ramadhan, ada juga yang mengatakan malam 17 Ramadhan, ada juga yang mengatakan malam 24, juga ada yang mengatakan tanggal 21 Ramadhan.
Sheikh Shofiyur-Rohman Al-Mubarokfuri mengatakan dalam kitab Sirah Nabawi karangannya Rahiqul-Makhtum: “setelah melakukan penelitian yang cukup dalam, mungkin dapat disimpulkan bahwa hari itu ialah hari senin tanggal 21 bulan Ramadhan malam. Yang bertepatan tanggal 10 Agustus 660 M, dan ketika itu umur Rasul SAW tepat 40 Tahun 6 bulan 12 hari hitungan bulan, tepat 39 tahun 3 bulan 12 hari hitungan matahari. Hari senin pada bulan Ramadhan tahun itu ialah antar 7, 14, 21, 24, 28, dan dari beberapa riwayat yang shahih bahwa malam lailatul qadar itu tidak terjadi kecuali di malam-malam ganjil dari sepuluh akhir bulan Ramadhan. Jika kita bandingkan firman Allah surat Al-Qodr ayat pertama dengan hadits Abu Qotadah yang menjelaskan bahwa wahyu diturunkan hari senin di atas, dan dengan hitungan tanggalan ilmiyah tentang hari senin pada bulan Ramadhan tahun tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa wahyu pertama turun kepada Rasul SAW itu tanggal 21 Ramadhan malam”.

Kenapa Malam 17 Ramadhan?
Dan yang menjadi dasar kebanyakan kaum muslim dalam memperingati nuzulul Qur’an pada malam tanggal 17 Ramadhan, mungkin apa yang disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir (W. 774 H) dalam kitabnya Al-Bidayah wan-Nihayah, Al-Waqidi meriwayatkan dari Abu Ja’far Al-Baqir yang mengatakan bahwa “wahyu pertama kali turun pada Rasul SAW pada hari senin 17 Ramadhan dan dikatakan juga 24 Ramadhan.”

Kesimpulan
Kesimpulannya bahwa malam lailatul-Qodr yang disebut sebagai malam turunnya Al-Qur’an ialah benar, karena itu ialah malam yang al-Qur’an turun secara lengkap sekaligus dari Lauh-Mahfuzd ke langit dunia (baitul-Izzah).
Dan Al-Qur’an turun secara berangsuran yang didahului dengan surat Al-‘Alaq ayat 1-5 yang juga momentum pengangkatan Muhammad SAW menjadi Rasul ialah malam 17 Ramadhan yang sering dirayakan oleh kebanyakan umat Islam, baik di Indonesia ataupun di negeri lain.
Walaupun penetapan malam 17 Ramadhan sebagai waktu awalnya turun Al-Qur’an itu juga masih diperselisihkan oleh kebanyakan Ulama, sebagaimana dijelaskan di atas.
Wallahu A’lam.
Sumber:
Al-Burhan Fi Ulumil-Qur’an, Badruddin Az-Zarkasyi (W. 794 H)
Mabahits Fi Ulumil-Qur’an,  Sheikh Manna’ Al-Qaththan
Rahiqul-makhtum, Sheikh Shofiyur-Rohman Al-Mubarokfuri 
Al-Bidayah Wan-Nihayah, Abul-Fida’ Ismail bin Muhammad bin Katsir Al-Qurosyi (W. 774 H)

Kamis, 01 Juni 2017

KEUTAMAAN AKHLAQUL KARIMAH


Bismillahirrahmaniraahim...
Assalamu’alaikumWarohmatullaahi Wabarokaatuhu
Prioritas dari seluruh risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalahuntuk memperbaiki akhlak manusia. Akhlak manusia perlu diperbaiki dandisempurnakan karenaakhlak manusia tidak sama. Ada yang tinggi dan ada yangrendah, ada yang mulia dan adayang hina.Sifat dan watak kepribadiannyapunberbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.Ada yang bersifat penyayang danada yang kejam. Ada yang kasar dan ada yang lemahlembut.Namun dari sekianbanyak sifat dan watak manusia dapat dikumpulkan menjadiempat :


1.Thabi’at Rubbiyah
 Yakni tabiat ketuhanan, suatutabiat yang cendrung kearah perbuatan yang sesuaidengan kehendak dan kerelaanTuhan, sehingga selalu ingin berbuat baik, sertamendapatkan ridho dari AllahSWT.

2.Thabi’at Bahimiyah
 Yakni tabiat binatang ternakyang hanya mementingkan nafsu makan, minum, tidurdan sebagainya. Manusia yangbertabiat bahimiyah ini tidak lagi menghiraukanurusan agama dan ibadah ataupunilmu pengetahuan. Seluruh waktunya hanyalahdihabiskan untuk mencari hartakekayaan untuk kepuasan nafsunya. Bahkan hartalahyang menjadi ukuransegala-segalanya

.3.Thabi’at Syaithoniyah
 Yakni tabiat syetan yangselalu ingin menggoda dan menjerumuskan orang lainkepada kesesatan dan kemungkaran.

4.Thabi’at Sabu’iyah
 Yakni tabiat binatang buas yang mempunyai kecendrungan kearah perbuatan-perbuatan melanggar dan merampashak orang lain, ingin memangsa, mendzolimi dansebagainya.Maka ajaran akhlakulkarimah akan membimbing manusia sebaik-baiknya supayamemiliki jiwa yang bersihdan mental yang kuat, sehingga dapat menempatkan diri sebagaimakhluk yang muliakarena dapat mengendalikan dirinya dari tabiat yang kurang baik.
1)      A’uudzu billaahi minasysyaithaanir rajiim , Bismillahirrahmaniraahim! ,
1.      “ Wa innaka la ‘alaa khuluqin ‘azhiim “ , “ Dan sesungguhnyaengkau ( Muhammad ) mempunyai akhlak yang mulia. “ ( Al Qalam , 68 : 4 ) , “
2.      Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah ) orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati ( tidaksombong ) dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka , mereka mengucapkankata-kata ( yang mengandung ) keselamatan “ ( Al Forqan , 25 : 63 ) ( TAWADHU’) ,
3.      “ Maka janganlah kamu  mengatakan ( memuji) diri kamu suci(bersih) , Dialah yang lebih mengetahui orang yang bertaqwa. “ ( An Najm , 53 :32 ) ( Terus menerus memperbaiki diri dan amalnya dan mensucikan hati)
2)      “ Bahwasanya aku ( Muhammad ) diutus Allah untuk menyempurnakankeluhuran Akhlak ( Budi Pekerti ) “ ( H.R. Ahmad ) ( bagi hamba Allah yangberiman dan berusaha untuk terus bertaqwa dan mengembangkannya maka salah satuusahanya adalah terus memperbaiki dan mengembangkan kwalitas akhlaqnya untukmenuju kepada Akhlaq yang dimiliki Rasulullah saw. )
3)      Ketika Siti Aisyah ra ditanya tentang Akhlak Rasulullah Saw, maka ia menjawab , “ Akhlak-nya adalah Al Qur’an “ ( Abu Dawud & Muslim )
4)      “ Siapakah diantara mereka hamba-hamba Allah ini yang lebihdicintai  oleh Allah ? “ Rasulullah menjawab, “ Yaitu orang yang palingbaik akhlak-nya “ (HR.Tabrani )
5)      “ Siapakah diantara orang mukmin yang paling sempurnaimannya ? “ Rasulullah menjawab : “ yaitu orang yang paling baikakhlak - nya “  (HR.Tabrani )
Apakah sesuatu yang lebih baik yang diberikan kepadamanusia ?  , Rasulullah menjawab , yaitu “ akhlak yang baik “ ( H.R. IbnuHibban )
6)      Kemuliaan seorang mukmin itu adalah agamanya , hargadirinya itu adalah akalnya , dan perhitungannya ( nanti di hari kiamat ) ituadalah akhlak- nya.   ( HR. Hakim )
7)      Dari Abdullah bin Amir : Aku pernah mendengar Rasulullahbersabda , “ Maukah kalian kuberitahu tentang orang yang paling kucintai danpaling dekat duduknya dengan aku nanti di hari kiamat ? “ Diulanginya perkataanitu dua kali tiga kali. Mereka menjawab : “ Baiklah ya Rasulullah  ,Beliau bersabda , “ Yaitu orang yang paling baik akhlak –nya”  ( HR.Ahmad )
8)      “ Tidak ada sesuatu yang paling berat timbangannyatentang orang mukmin nanti dihari kiamat , selain akhlak yangbaik. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang perbuatannya keji dan rendah, dan sesungguhnya orang yang berakhlak luhur itu akan sampai ke derajat orangyang puasa dan sholat “ (HR.Ahmad )
9)      ( Mu’min - muslim yang benar sholat dan Puasanya tentunya baik danbenar juga akhlaqnya , insyaallah atau orang yang memiliki/pengamal akhlaq yangbaik dia juga memiliki /pengamal sholat dan puasa yang benar , masyaalllah ! /jika bisa seperti ini , Allahu Akbar ! / pen. )
10)  ” Sesungguhnya seorang mukmin dengan akhlak-nya yang baikakan dapat mencapai derajat orang yang berdiri ( sembahyang ) dimalam hari danpuasa di siang hari  ( HR. Abu Daud )
Beberapa Sikap Akhlaq Yang Baik.
1.Amanah.                                              
2. Sidqu. ( benar/jujur)             
3. Wafa’ . ( menepati janji)                    
4.Adil.                                         
5. Ifafah. ( memelihara kesucian diri )
6. Haya’. ( malu)                        
7. Arief / Bijaksana.
8. Syajayah. ( berani karena benar)   
9. Sehat dan Kuat (Al-Quwwah.)                 
10. Sabar , Lemah – lembut , Kasih-sayang.
11. Hemat.
12. Ikhlas.
13. Pemaaf.
14. Khusyuk.
15. Syakha’. ( murah hati )
16. Berilmu.
17. Tawaddu’. ( rendah hati )
18. Syukur Nikmat.
19. Tawakal Allah.
20.Zuhud. ( tidak diperbudak dunia / harta )
21. Dll
 “ Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu(ialah) orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendahhati  (tidak sombong) dan apabila orang-orang jahilmenyapa mereka , mereka mengucapkan kata-kata ( yang mengandung) keselamatan “ ( Al Forqan ,  25 : 63-65 ) , 
 
 

AL-QUR'AN MU'JIZAT TERBESAR NABI MUHAMMAD SAW

Dalam kitab Dala-ilut Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullahu ta’ala mengatakan,
Pertanyaan:
Apa mukjizat [terbesar] Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jawaban:
Mukjizat beliau adalah Al Qur-an yang seluruh makhluk tidak mampu mendatangkan satu surat yang semisal dengannya. Mereka pun tidak sanggup memenuhinya. Padahal mereka orang-orang yang fasih, orang-orang yang besar kebencian dan permusuhan mereka kepada siapa saja yang mengikuti Rasulullah. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,
وَإِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُواْ بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِ وَادْعُواْ شُهَدَاءكُم مِّن دُونِ اللّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan jika kalian ragu dengan apa yang diturunkan kepada hamba Kami, maka datangkan oleh kalian satu surat yang semisal dengannya dan panggillah penolong-penolong kalian dari selain Allah, jika benar kalian orang-orang yang jujur.” (QS. Al Baqarah: 23)
Dan di dalam ayat lainnya, Allah ta’ala berfirman,
قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ الإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَن يَأْتُواْ بِمِثْلِ هَـذَا الْقُرْآنِ لاَ يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيراً
“Katakan, ‘Jika betul-betul berkumpul manusia dan jin untuk membuat yang semisal dengan Al Qur-an ini, niscaya mereka tidak akan mampu, meskipun sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain.” (QS. Al Isra: 88)
Sumber: Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab. 50 Su-alan wa Jawaban fil ‘Aqidah. TTp: TPn. TTh, halaman 3.

Sebelum menjadi Rasul, Nabi Muhammad saw telah diberi gelar Al-Amin, yang artinya terpercaya, tidak pernah berdusta.

Rasulullah Muhammad SAW banyak memiliki mukjizat yang nyata yaitu dapat dilihat dengan izin Allah yaitu:

• Memahami bahasa binatang seperti Nabi Sulaiman
• Memerintah bumi dan pohon seperti Musa
• Diberi mukjizat seperti Nabi Ibrahim
• Anak yang meninggal bangkit hidup kembali
• Menyembuhkan orang buta sejak lahir
• Menyembuhkan orang lumpuh sejak lahir
• Menyembuhkan orang cacat sejak lahir
• Mengetahui isi hati orang disekelilingnya
• Memberi makan kepada ribuan orang dengan sedikit makanan
• Memberi minum kepada ribuan orang dengan setitis air
• Mengeluarkan air ditengah-tengah padang pasir
• Mengeluarkan air dari celah jari untuk wudhu puluhan ribu orang
• Menyembuhkan puteri raja yang cacat tanpa tangan dan kaki
• Membelah bulan menjadi ke 2 bagian. Kejadian ini telah dibuktikan oleh para astronot Amerika.
• Mengetahui apa yang telah terjadi
• Mengetahui apa yang sedang terjadi
• Mengetahui apa yang akan terjadi
• Melihat apa yang dibelakangnya seperti dari depan
• Musuh tidak mampu membunuh beliau
• Bumi menelan orang yang hendak membunuh beliau
• Musuh tidak dapat melihat beliau
• Menidurkan puluhan musuh
• Musuh berdiri kaku tidak dapat menghunuskan pedang
• Tidak dapat dibunuh musuh
• Rombongan berkuda para sahabat dapat menyeberang laut tanpa basah dan tanpa menyentuh air ketika mengejar gerombolan musuh yang melarikan diri dengan kapal layar

Begitu banyak bukan. Mungkin sulit untuk kita percaya kalau kita dilahirkan bukan dalam Islam. Sebagaimana kita tidak mempercayai keajaiban Siddhartha Guatama Buddha. Ada juga beberapa muslim yang tidak mempercayai mukjizat ini karena belum pernah membaca hadis-hadis sahih bukhori dan Shahih Muslim atau Shahih Ahmad yang lengkap, bukan dari ringkasan hadits.

Sulit untuk mereka untuk mempercayai mukjizat Muhammad S.A.W

Abubakar RA bertanya: Ya Rasulullah, apakah zaman dimana muslim memiliki iman yang lebih tinggi dibandingkan dengan kami?

Rasulullah Muhammad S.A.W bersabda:

Wahai Abu Bakar, apa yang menghalangimu untuk percaya padaku sedangkan wahyu masih turun dan aku masih berada ditengah-tengah kamu sementara kamu semua menyaksikan sendiri mukjizat-mukjizat yang diberikan kepadaku? Tetapi di akhir zaman, ada segolongan ummatku yang mereka sama sekali tidak pernah melihatku, mereka tidak pernah hidup disampingku dan mereka hanya mendengar cerita tentangku tetapi mereka percaya kepadaku, merindukanku, mencintai Allah, mencintaiku, beriman pada Allah dan beriman pada kepadaku. Iman merekalah yang lebih tinggi dibandingkan dengan kamu semua ".

Tetapi semua itu telah beralu. semua itu hanya tinggal cerita. semua itu hanya dapat kita dengar saja. semua itu tidak dapat kita lihat sendiri. Sulit untuk sesetengan orang untuk mempercayai apa yang tidak dapat dilihatnya.


Al-Qur'an, sebuah buku yang banyak mengandung keajaiban ayat yang baru dapat dibuktikan secara nyata oleh ilmu pengetahuan dan bahkan alat modern tercanggih abad ini, telah disebutkan di dalam Al-Qur'an 1400 Tahun yang lalu.

Al-Qur'an adalah mukjizat sepanjang masa. Diakui Al-Qur'an memiliki ilmu sastra yang terindah. Keindahan bahasa dan hikmah didalamnya sangat sempurna.

Al-Qur'an adalah keajaiban dari keajaiban. Dari segi matematika, Qur'an adalah keajaiban matematika. Di segi Kimia, Qur'an telah mendahului. Dari sudut astronomi, Quran telah membuktikan kebenaran sebelum orang lain mengetahuinya.

Fahamilah Al-Quran, sesungguhnya setiap ayat mengandung mukjizat

Di waktu Ilmu pengetahuan berada pada tingkat tertinggi, tidak ada satupun dari ayat Qur'an yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan, bahkan ayat Qur'an menyatakannya secara rinci.

Bahasa Arab yaitu bahasa Al-Qur'an adalah bahasa yang paling sulit di dunia, karena satu kata memiliki banyak arti, bahkan dalam 1 kata gender bisa berarti pria pada salah satu suku arab, tetapi berarti wanita di suku lain.

Tidak seperti kitab lain yang telah kehilangan bahasa aslinya seperti naskah tertua dari Alkitab Kristen (Bible) Perjanjian Baru adalah di dalam bahasa Yunani (Yunani), padahal Isa as menggunakan bahasa Ibrani.

Kebenaran Al-Qur'an ini masih dapat kita lihat di hadapan kita sendiri. Sebagai mukjizat yang tetap hidup selamanya.

Sebuah Kitab yang mengaku dari Allah harus berani dihadapkan dengan segala macam permasalahan, segala zaman, segala segi, segala sisi, dari sudut manapun dan harus sepanjang zaman membawa kebenaran.

Yang tidak dapat didatangi segala kepalsuan dari setiap arah dan seginya (Al-Qur'an), ia diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
(Qs.41 Fushshilat: 42)

Dari segi sastra, matematika, astronomi, psikology, sains, tata negara, muamalat, ekonomi, jumlah surah, jumlah ayat, jumlah kalimat, jumlah huruf, biologi, astronomi, fisika, kimia, geologi, geografis, segala ilmu, segala abad, sejak penciptaan alam semesta, masa lalu, masa kini, masa depan, sehingga waktu kiamat dan kehidupan setelah kiamat sekalipun, semuanya dinyatakan di dalam Al-Qur'an.

Zaman ini merupakan zaman ilmu pengetahuan, apakah Qur'an, Bible atau kitab-kitab lainnya dapat mengikuti perkembangan zaman?

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau sekiranya Al Quran itu bukan dari Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.

Banyak orang bukan Islam bertanya, mengapa mukjizat hanya berupa sebuah buku dari orang buta huruf yang datangnya dari tengah padang pasir pada zaman jahiliyyah?

Sebuah mukjizat terbesar berupa sebuah buku yang diturunkan melalui seorang Al-Amin (tidak pernah berbohong) yang tidak dapat membaca di zaman kuno kepada umat terakhir yang pintar dan penilaian melek hurufnya sangat tinggi. Siapa lagi yang mewahyukan jika bukan pencipta alam semesta.

Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.
(Qs. 17 Israa ': 81)

Sesungguhnya masih banyak bukti untuk membahas ayat ini. Bukti diatas sudah cukup untuk orang berpikir menggunakan akal. Nabi Isa a.s. pun menyuruh agar umatnya mengutamakan dan mengedepankan akal dalam menyembah Allah.

Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.
(Markus 12:30)

Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenapakal budimu.
(Matius 22:37)

Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."
(Lukas 10:27)

Sudah banyak bukti dikemukakan. Islam terbukti benar.

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi
(Qs.3 Ali Imran: 85)

Sesungguhnya agama disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya
(Qs.3 Ali Imran: 19)

Pengertian Iman, Islam, dan Ihsan


1.      Pengertian Iman
Iman adalah kepercayaan kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa. Syahadatain (dua persaksian: bersaksi bahwa tiada Tuhan yang disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah) merupakan suatu pernyataan sebagai kunci dalam memasuki gerbang Islam. Pernyataan bahwa hanya Allah (Yang Esa) satu-satunya Tuhan yang wajib disembah, merupakan pokok ajaran yang menjadi misi segala Nabi yang pernah diutus oleh Allah ke bumi di sepanjang sejarah kehidupan manusia.
Ar- Raghib al-Ashfahani (ahli kamus Al-quran) mengatakan, iman didalam Al-quran terkadang digunakan untuk arti iman yang hanya sebatas dibibir saja padahal dalam hati dan perbuatannya tidak beriman, terkadang digunakan untuk arti iman yang hanya terbatas pada perbuatannya saja, sedang hati dan ucapannya tidak beriman dan ketiga kata iman terkadang digunakan untuk arti iman yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan di amalkan dalam perbuatan sehari-hari.[1]
Iman itu perkataan dan perbuatan, yaitu perkataan hati dan lisan, dan perbuatan hati, lisan, dan anggota badan. Ia bertambah karena ketaatan dan berkurang karena maksiat, dan orang yang beriman itu bertingkat keimanannya.
Firman Allah
ولكن الله حبب اليكم الا يمان و زينه في قلوبكم ...
“… tetapi Allah menjadikanmu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu…” (al-hujurat: 7)
Perkataan dan perbuatan adalah makna syahadatain (persaksian tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah), yang seseorang tidak sah memeluk agama Islam tanpa dua kalimat syahadat ini. Ia merupakan amalan hati dengan mengitikadkannya dan amalan lisan dengan mengucapkannya dengan segala konsekuensi. Allah berfirman,
وماكان الله ليضيع ايما نكم
“… dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu…” (al- Baqarah: 143)
Yang dimaksudkan oleh “imanmu” dalam ayat ini adalah shalat yang dilaksanakan dengan menghadap ke Baitul Maqdis sebelum diciptakannya perubahan kiblat.
Di sini, shalat secara keseluruhan disebut iman, karena shalat menghimpun perbuatan hati, lisan, dan anggota badan. Nabi Muhammad SAW juga menjadikan jihad, ibadah lailatul qadar, puasa Ramadhan, shalat tarawih, dan shalat lima waktu sebagai iman. Ketika beliau ditanya tentang amalan yang paling utama, beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan rasul-Nya.”
Berikut ini dalil yang menunjukkan bertambah dan berkurangnya iman
المؤمنين ليزدادوا ايمانا مع ايمانهم
“… supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)…” (al-Fath: 4)
ىهد وزدنهم
“… dan kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (al-Kahfi: 13)
“… adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya…” (at-Taubah: 124)[2]

2.      Pengertian Islam
Secara genetik kata Islam berasal dari Bahasa Arab terambil dari kata “salima” yang berarti selamat sentosa. Dari kata itu dibentuk kata “aslama” yang berarti menyerah, tunduk, patuh, dan taat.  Kata “aslama” menjadi pokok kata Islam. Sebab itu orang yang melakukan “aslama” atau masuk islam dinamakan Muslim. Selanjutnya dari kata “salima” juga terbentuk kata “silmun” dan “salamun” yang berarti damai. Karenanya seorang yang menyatakan dirinya muslim adalah harus damai dengan Allah dan dengan sesama manusia.
Penyebutan orang-orang Barat terhadap Islam sebagai Moehammedanism dan Moehamadan, bukan saja tidak tepat tetapi salah secara prinsipil (Nasrudin Razak, 1985: 55). Istilah ini mengandung arti Islam adalah paham Muhammad atau pemujaan terhadap Muhammad, sebagaimana perkataan Kristen dan Kekristenan yang mengadung arti pemujaan terhadap Kristus.[3]
Islam artinya penyerahan diri kepada Allah, tuhan yang Maha Kuasa, Maha Perkasa, dan Maha Esa. Penyerahan itu diikuti dengan kepatuhan dan ketaatan untuk menerima dan melakukan apa saja perintah dan larangan-Nya. Tunduk pada aturan dan undang-undang yang diturunkan kepada manusia melalui hamba pilihan-Nya (para rasul). Aturan dan undang-undang yang dibuat oleh Allah itu dikenal dengan istilah “Syari’ah”. Kadang-kadang syari’ah itu disebut juga din (agama). Innaddina ‘indallahi al-islam (sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam QS. 3:19), karena memang agama di sisi Allah ialah penyerahan yang sesunggguhnya kepada Allah. Maka walaupun seseorang mangaku memeluk agama Islam, kalau tidak menyerah yang sesungguhnya kepada Allah, tidak mau mematuhi suruhan dan larangannya, belumlah dia Islam.
Dengan memasuki Islam seseorang akan selamat, damai, dan sentosa dalam kehidupan yang seimbang lahir dan batin, dunia dan akhirat. Islam memang mempunyai arti (selamat, damai, dan sentosa), suatu agama yang diturunkan oleh Allah kepada segenap nabi dan rasul-Nya. Allah jua menegaskan bahwa siapa saja yang memeluk agama selain Islam tidak akan diterima (QS. 3:85), karena itu tentulah para nabi membawa dan memeluk ini, karena Islam memang diperuntukkan bagi segenap manusia. Ajaran Islam itu, oleh karenanya merata, mengatur manusia dalam segala seginya, bukan semata mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, melainkan juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungannya (alam semesta).

3.      Pengertian Ihsan
Ihsan, menurut kamus berasal dari kata: ahsana-yuhsinu-ihsan berarti, baik, bagus, kebajikan atau saleh. Menurut makna istilah, seperti dikemukakan dalam hadits nabi di permulaan tulisan ialah: “engkau menyembah Allag seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau.”[4]

B.     Rukun-rukun Iman dan Islam
1.      Rukun Iman
a.       Iman Kepada Allah
Yakni beriman kepada rububiyyah Allah Swt, maksudnya : Allah adalah Tuhan, Pencipta, Pemilik semesta, dan Pengatur segala urusan, Beriman kepada uluhiyyah Allah Swt, maksudnya: Allah sajalah tuhan yang berhak di sembah, dan semua sesembahan selain-Nya adalah batil, iman kepada Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya maksudnya: bahwasanya Allah Swt, memiliki nama-nama yang mulia, dan sifat-sifat-Nya yang sempurna serta agung sesuai yang ada dalam Al-quran dan Sunnah Rasul-Nya.
b.      Iman Kepada Malaikat-malaikat Allah
Malaikat adalah hamba Allah yang mulia, mereka diciptakan oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya, serta tunduk dan patuh menta’ati-Nya, Allah telah membebankan kepada mereka berbagai tugas, Diantaranya adalah : Jibril tugasnya menyampaikan wahyu, Mikail mengurusi hujan dan tumbuh-tumbuhan, Israfil meniup sangsakala di hari kiamat, Izrail (malaikat maut), Raqib , Atit, mencatat amal perbutan manusia, Malik menjaga neraka, Ridwan menjaga surga, dan malaikat-malaikat yang lain yang hanya Allah Swt yang dapat mengetahuinya.
c.       Iman Kepada Kitab-kitab Allah
Allah yang Maha Agung dan Mulia telah menurunkan kepada para Rasul-Nya kitab-kitab, mengandung petunjuk dan kebaikan. Diantaranya: kitab taurat diturunkan kepada Nabi Musa, Injil diturunkan kepada Nabi Isa, Zabur diturunkan kepada Nabi Daud, Shuhuf Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, Al-quran diturunkan Allah Swt, kepada Nabi Muhammad Saw. Allah telah menjamin untuk menjaga dan memeliharanya, karena ia akan menjadi hujjah atas semua makhluk, sampai hari kiamat.
d.      Iman Kepada Rasul Allah
Allah telah mengutus kepada maakhluk-Nya para rasul, rasul pertama adalah Nuh dan yang terakhir adalah Muhammad Saw, dan semua itu adalah manusia biasa, tidak memiliki sedikitpun sifat ketuhanan, mereka adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan dengan kerasulan. Dan Allah telah mengakhiri semua syari’at dengan syari’at yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw,yang diutus untuk seluruh manusia, maka tidak ada nabi sesudahnya.
e.       Iman Kepada Hari Akhir
Yaitu hari kiamat, tidak ada hari lagi setelahnya, ketika Allah membangkitkan manusia dalam keadaan hidup untuk kekal ditempat yang penuh kenikmatan atau ditempat siksaan yang amat pedih. Beriman kepada hari akhir meliputi beriman kepada semua yang akan terjadi setelah itu, seperti kebangkitan dan hisab, kemudian surga atau neraka.[5]
f.       Iman Kepada Qadha’ dan Qadar
Iman kepada qada dan qadar Allah adalah salah satu sendi akidah Islam. Dalam pembicaraan sehari-hari disingkat dengan sebutan takdir (taqdir). Berbicara tentang takdir Allah memang bukan sesuatu yang mudah. Sebab yang kita bicarakan langsung menyangkut kehendak Tuhan terhadap makhluk-makhluk-Nya.
Beriman kepada qada dan qadar Allah adalah rukun keenam dari rukun iman. Sebagaimana dalam jawaban Rasulullah ketika ditanya oleh Jibril tentang iman, beliau bersabda:
“Engkau beriman krpada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada qada-Nya, yang baik maupun yang buruk.” (HR.Buhkari dan Muslim)
Seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an surah An-Naml [27]: 65 yang artinya “katakanlah tak seorang pun di laangit maupun di bumi yang mengetahui perkara gaib kecuali Allah.”[6]

2.      Rukun Islam
a.       2  Kalimat Syahadat
Dua kalimat syahadat itu adalah laksana anak kunci yang dengannya manusia masuk ke dalam alam keselamatan (Islam). Sebagaimana keterangan Hadits Nabi : “dari Mu’az berkata, aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: barangsiapa yang akhir katanya laa ilaaha illallaah, maka dia pasti masuk surga.”
Kalimat “laa ilaaha illallah” tersusun dalam bentuk dimulai dengan peniadaan, yaitu tiada tuhan, baru kemudian disusul dengan suatu penegasan : “melaikan Allah!”. Ini berarti bahwa seorang muslim dalam hidupnya harus membersihkan segala macam tuhan, kepercayaan, keyakinan, aqidah, dan lain-lain sebagainya lebih dahulu. Yang ada dalam kalbunya hanyalah satu tuhan, satu kepercayaan, satu keyakinan dan satu aqidah ialah hanya kepada Zat yang bernama Allah s.w.t.
b.      Shalat
Allah telah mensyari’atkan shalat 5 waktu setiap hari sebagai hubungan antara seorang muslim dengan Tuhannya. Didalamnya dia bermunajat dan berdo’a kepada-Nya, disamping agar menjadi pencegah bagi muslim dari perbuatan keji dan mungkar. Dan Alah telah menyiapkan bagi yang menunaikannya kebaikan dalam agama dan kemantapan iman serta ganjaran, baik cepat maupun lambat. Maka  dengan demikian seorang hamba akan mendapatkan ketenangan jiwa dan kenyamanan raga yang akan membuatnya bahagia di dunia dan akhirat.
Shalat terdiri dari :
1)   Shalat wajib
a)      Shalat dzuhur
b)      Shalat ashar
c)      Shalat magrib
d)     Shalat Isya’
e)      Shalat subuh
2)   Shalat sunnah.
a)      Shalat rawatib
b)      Shalat dhuha
c)      Shalat tahajjud
d)     Shalat witir
e)      Shalat gerhana matahari dan shalat gerhana bulan
f)       Shalat 2 hari raya
g)      Shalat istiharah
h)      Shalat tasbih[7]
c.       Puasa
Puasa adalah salah satu Rukun Islam yang mulai disyariatkan pada tahun ke II Hijriah. Kata puasa berasal dari bahasa arab “ الصَّوْمُ ” yang berarti menahan (إمساك). Jadi, puasa menurut bahasa artinya “menahan”. Secara Terminologi, Puasa Adalah
إمساك عن مفطر بنية مخصوصة جميع نهار قابل للصوم من مسلم عاقل طاهر من حيض و نفاس
(menahan dari sesuatu yang membatalkan puasa dengan niat yang khusus pada seluruh siang harinya orang yang melakukan puasa yang berakal, dan suci dari haidl dan nifas).
Jadi, puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa mulai terbit fajar sampai terbenam matahari disertai niat dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan. Sesuai firman Allah SWT :
...وَكُلُوْاوَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ... (البقرة : 187)
Artinya : “makan dan minumlah hingga nyata bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah : 187)
Adapun hukum melakukan puasa Ramadlan adalah Wajib/Fardlu ‘Ain,  sesuai firman Allah SWT yang artinya :
 “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertaqwa.” (Qs. Al-Baqarah : 183).
Macam-macam puasa:
1)      Puasa wajib
a)      Puasa Ramadhan
b)      Puasa Nazar
c)      Puasa Kafarat
2)      Puasa sunnah
a)      Puasa 6 hari pada bulan syawal
b)      Puasa hari asyura
c)      Puasa pada hari arafah
d)     Puasa pada bulan sya’ban
e)      Puasa daud
f)       Puasa senin-kamis
3)      Puasa makruh
a)      Puasa syak
b)      Puasa pada hari-hari pertengahan bulan sya’ban
4)      Puasa haram
a)      Puasa pada 2 hari raya
b)      Puasa pada hari tasyrik
c)      Puasa sepanjang masa
d)     Puasa wishal
e)      Puasa khusus hari jum’at[8]
d.      Zakat
Menurut bahasa, “zakat” berasal dari kata zakatan-yuzakki-zakka artinya tumbuh, suci, atau berkah. Menurut istilah Zakat adalah memberikan harta dengan kadar tertentu kepada yang berhak sebagai ibadah kepada Allah SWT.
Firman Allah yang memerintahkan kewajiban zakat adalah QS. An-Nisa ayat 77:
واقيموا الصلواة واتوا االزكوة
Artinya: “… dirikanlah shalat dan tunaikan zakat … ” (QS. An-Nisa :77)
Macam-macam zakat:
1)  Zakat fitrah
2)  Zakat Maal
a)      Emas, perak dan uang
b)      Harta perniagaan
c)      Harta pertanian
d)     Hewan trnak
e)      Hasil tambang
f)       Barang temuan[9]
e.       Haji
Rukun Islam yang ke-5 adalah menunaikan ibadah haji. Setiap orang Islam wajib menunaikan ibadah haji bila mampu, dan dalam seumur hidupnya hanya dilakukan sekali. Jika seseorang tidak menunaikan ibadah haji sedangkan ia mamapu, maka ia bukanlah termasuk orang Islam.
Pengertian haji menurut bahasa dalah القصد artinya menyengaja. Sedangkan menurut istilah haji adalah mengunjungi makkah (ka’bah) untuk mengerjakan ibadah yang terdiri dari thawaf, sa’I, wuquf, dan ibadah-ibadah lain sesuai dengan ketentuan haji, guna memenuhi perintah Allah dan mengharap keridlaan-Nya.
Ibaah haji ini merupakan bagian dari syari’at bagi umat-umat dahulu, semenjak Nabi Ibrahim. Allah telah menyuruh Nabi Ibrahim a.s membangun baitul Haram di amkkah, agar orang-orang thawaf di sekelilingnya dan menyebut nama Allah ketika thawaf itu.
C.     Tingkatan-tingkatan dalam Iman dan Islam dan pencapaian muhsin
1.      Tingkatan iman
a)         tingkatan iman pertama disebut dengan ilathitsu, yaitu iman yang dimiliki oleh para malaikat, dimana tingkatan iman ini tidak pernah berkurang dan tidak pula bertambah
b)         tingkatan iman kedua disebut dengan iman ma’sum yaitu iman yang dimiliki oleh para Nabi dan Rasul Allah WST. Dimana tingkatan iman ini tidak pernah berkurang dan selalu bertambah ketika wahyu datang kepadaNya.
c)         Tingkatan iman ketiga disebut dengan makbul yaitu iman yang dimiliki oleh muslim dimana iman pada tingkatan ini selalu bertambah jika mengerjakan amal kebaikan dan akan berkurang jika melakukan maksiat.
d)        Tingkatan iman yang keempat disebut iman maohuf yaitu iamn yang dimiliki oleh ahli bid’ah, yaitu iman yang ditangguhkan diaman jika berhenti melakukan bid’ah maka iman akan diterima, diantaranya kaum rafidhoh, atau dukun, sihir, dan sejenisnya.
e)         Tingkatan iman yang kelima disebut dengan iman mardud, yaitu iman yang ditolak, dimana iman ini yang dimiliki oleh orang-orang musyrik, murtad, munafik, kafir, dan sejenisnya.[10]

2.      Tingatan islam
a)      Islam muslim
b)      Muslim, adalah sebuah kata dari bahasa Arab yang berarti orang Islam atau orang yang patuh dan tunduk menurut perintah Allah SWT.
c)      Kata Muslim berasal dari kata salima yaslamu yang berarti selamat, sentosa  atau aslama yang berarti tunduk patuh atau beragama Islam. Sehingga orang Muslim berarti orang yang patuh, taat dan berserah diri kepada sang penciptaNYA.
d)     Dari akar kata yang sama, lahir pula kata salam atau salama yang artinya memberi salam atau menyelamatkan. Orang yang mengucapkan salam berarti mendoakan orang lain agar selamat.

e)      Islam kaffah
Ajakan untuk menjadi mu’min yang kãffah didengungkan Allah melalui surat Al-Baqarah yang 208:“Hai orang-orang (yang mengaku) mu’min, masuklah kalian ke dalam Islam secaraffah, dalam arti janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan, karena dia (setan itu) adalah musuh yang nyata bagi kalian.”[1]
Pengertian harfiah dari istilah kaffah adalah keseluruhan atau totalitas (totality). Dengan demikian, menjadi mu’min yang total. Dalam ayat di atas ada dua kata perintah udkhulu (masuklah kallian), dan yang kedua adalah kata as-silm(u) yang merupakan sinonim sari as-salam(u) yang artinya agama islam.
Dilihat dari asbabun nuzul ayat "udkhuluu fis silmi kaaffaah", Islam kaffah itu sebenarnya berkenaan dengan aqidah. Jangan menyembah Allah dengan setengah-setengah; kita dituntut untuk bertauhid dengan penuh totalitas. BerIslam secara kaffah itu artinya tidak sinkretisme: mencampurbaurkan berbagai ajaran agama.
Di luar persoalan aqidah, Islam kaffah itu masuk pada wilayah penafsiran. Contohnya, bagi mereka yang berpandangan bahwa Islam itu mewajibkan bentuk dan sistem ketatanegaraan tertentu, maka ber-Islam secara kaffah artinya mendukung dan berjuang untuk menegakkan sistem dan bentuk ketatanegaraan tsb.
Sebaliknya, bagi mereka yang bepandangan bahwa Islam tidak mewajibkan secara syar'i akan bentuk dan sistem ketatanegaraan tertentu, maka mereka tidak merasa berkurang ke-kaffah-an mereka dalam ber-Islam hanya karena tidak mendukung sistem dan bentuk ketatanegaraan tertentu.
Mereka berpandangan --sesuai dengan pemahaman mereka terhadap nash-- bahwa Islam hanya memberikan petunjuk akan prinsip-prinsip tertentu yang dapat digunakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bentuk dan sistem ketatanegaraan yang dipilih ummat tidaklah menjadi soal selama prinsip-prinsip tersebut terpenuhi.

3.      Mencapai muhsin
Allah berfirman,
   المحسنين يحب اللهان اواحسبو
“… dan berbuat baiklah karena sesunggunya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (al-Baqarah: 195)
“sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (an-Nahl: 128)
Dan Rasulullah SAW bersabda:
“sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan (berbuat baik) atas segala sesuatu.” (HR Ahmad, Muslim, Imam Empat)
Di dalam sebuah hadits diceritakan dialog Nabi Muhammad SAW, dengan malaikat Jibril. Jibril berkata kepada beliau,
“terangkan aku tentang ihsan!”
Lalu beliau menjawab,
“yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka engkau yakin benarlah bahwa Allah melihatnu.” (HR Bukhari dan Muslim)
Nabi Muhammad SAW menjelaskan dalam hadits tersebut bahwa iman itu mempunyai 2 tingkat. Tingkat yang tertinggi (pertama) ialah beribadah kepada Allah seolah-olah engaku melihat-Nya. Ini disebut maqam (kedudukan) musyahadah, yaitu si hamba beramal menurut tuntutan penyaksiannya kepada Allah Ta’ala dengan kalbunya, yaitu hatinya disinari oleh iman dan mata hatinya menembus pengetahuan sehingga jadilah yang gaib itu seperti kenyataan. Dan inilah hakikat maqam ihsan. Kedua, maqam muraqabah, yaitu si hamba melakukan ibadah dengan merasa diawasi oleh Allah serta ia selalu merasa dekat dengan-Nya. Bila perasaan si hamba dalam melakukan semua amal adalah seperti itu, dan dia beramal dengan perasaan seperti itu, maka amalnya akan tulus karena Allah. Perasaan hati yang demikian akan mencegahnya berpaling kepada selain Allah. Para ahli kedua maqam ini memiliki tingkat berbeda-beda, sesuai dengan ketajaman hatinya.[11]
Adapun tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Tingkat At-taqwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajad yang berbeda-beda.
2.      Tingkat Al-bir, yaitu tingkat menengah dengan derajat yang berbeda-beda.
3.      Tingkat Al-ihsan, yaitu tingkat paling atas dengan derajat yang berbeda-beda.
Tingkat taqwa
            Tingkat taqwa adalah tingkatan dimana seluruh derajatnya dihuni oleh mereka yang masuk kategori Al-muttaqin, sesuai dengan derajad ketaqwan masing-masing.
Taqwa akan menjadi sempurna dengan menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi serta meninggalkan segala apa yang dilarangNya, hal ini berarti meninggalkan salah satu perintah Allah saja dapat mengakibatkan sangsi, dan melakukan salah satu laranganNya saja adalah dosa. Dengan demikian puncak taqwa adalah menjalankan semua perintah Allah serta menjauhi segala laranganNya.
Namun ada satu hal yang harus dipahami dengan benar, yaitu bahwa Allah Swt. Maha mengetahui mengetahui keadaan hamba-hambaNya yang memiliki berbagai kelemahan, yang dengan kelemahannya itu seorang hamba melakukan dosa. Oleh karena itu Allah membuat satu cara penghapusan dosa, yaitu dengan cara bertobat dan pengampunan. Melalui hal tersebut, Allah akan mengampuni hambaNya yang berdosa karena kelalaiannya dari menunaikan hak-hak taqwa. Sementara itu, ketika seorang hamba naik peringkat puncak taqwa, boleh jadi ia akan naik peringkatnya pada peringkat bir atau ihsan. Peringkat ini disebut martabat taqwa, karena amalan-amalan yang ada pada derajat ini membebaskannya dari siksaan atas kesalahan yang dilakukannya. Adapun derajat yang paling rendah dari peringkat ini adalah derajat dimana seseorang  menjaga dirinya dari kekalnya dalam neraka, yaitu dengan iman yang benar dan diterima oleh Allah Swt.
Tingkat Al-bir
            Peringkat ini akan dihuni oleh mereka yang masuk kategoi Al-abror, hal ini sesuai dengan amalan-amalan kebaikan yang mereka lakukan dari ibadah-ibadah sunnah serta segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah Swt. hal ini dilakukan setelah mereka melakukan hal yang wajib, yakni yang ada pada peringkat At-taqwa.
Peringkat ini disebut derajat Al-bir (kebaikan), karena derajat ini merupakan perluasan pada hal-hal yang sifatnya sunnah, sesuai sifatnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan tambahan dari batasan-batasan yang wajib serta yang di haramkanNya. Amalan-amalan ini tidak diwajibkan oleh Allah kepada hambaNya, tetapi perintah itu bersifat anjuran, sekaligus terdapat janji pahala didalamnya.
Akan tetapi mereka yang melakukan amalan tambahan ini tidak akan masuk kedalam tingkatan Al-bir, kecuali mereka telah melaksanakan peringkat yang pertama, yaitu peringkat taqwa. Karena melaksanakan hal yang pertama menjadi syarat mutlak untuk naik keperingkat yang selanjutnya.
Dengan demikian,barang siapa yang mengklaim dirinya telah melakukan kebaikan sedang ia tidak mengimani unsure-unsur kaidaah iman dalam ihsan, serta tidak terhindar dari siksaan neraka , maka ia tidak dapat masuk kedalam peringkat ini. (Al-bir). Allah Swt. telah berfirman,
“Bukanlah kebaikan dengan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaikan itu adalah taqwa, dan datangilah rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertaqwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (Qs. Al-baqarah: 189).
“ya tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar seruan orang yang menyeru kepada iman, yaitu berimanlah kamu kepada tuhanmu, maka kamipun beriman. Ya tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang banyak berbuat baik.” (Al-imran: 193) .

Tingkat ihsan
            Tingkatan ini akan dicapai oleh mereka yang masuk dalam kategori Muhsinun, mereka adalah orang yang telah melewati tingkat pertama dan kedua (peringkat At-taqwa dan Al-bir).
Ketika kita mencermati pengertian ihsan dengan sempurna, maka kita akan mendapatkan kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua sisi yaitu : Pertama, ihsan adalah kesempurnaan dalam beramal sambil menjaga keiklasan dan jujur dalam beramal.
Kedua, ihsaan adalah sensntiasa memaksimalkan amalan-amalan sunnah yang dapat mendekat diri kepada Allah Swt. selama hal itu adalah sesuatu yang diridhaiNya dan dianjurkan untuk melaksanakannya.
Untuk dapat naik kemartabat ihsan dalam segala amal , hanya bisa dicapai melalui amalan-amalan wajib dan amalan-amalan sunnah yang dicintai oleh Allah Swt. serta dilakukan atas dasar mencari ridha Allah Swt.

D.    Korelasi antara Iman, Islam, dan Ihsan
Dimensi-dimensi Islam berawal dari sebuah hadits yang meriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang dimuat dalam masing-masing kitab sahihnya yang menceritakan dialog antara Nabi Muhammad SAW dengan malaikat Jibril tentang trilogy ajaran Ilahi:
“Nabi Muhammad SAW keluar dan (berada di sekitar sahabat) seseorang datang menghadap beliau dan bertanya: “Haai Rasul Allah, apakah yang dimaksud dengan iman?” beliau menjawab: “Iman adalah engkau percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, para utusan-Nya, dan percaya kepada kebangkitan.” Laki-laki itu kemudian bertanya lagi: “apakah yang dimaksud dengan Islam?” beliau menjawab: “Islam adalah engaku menyembah Allah dan tidak musyrik kepada-Nya, engkau tegakkan salat wajib, engkau tunaikan zakat wajib, dan engkau berpuasa pada bulan Ramadhan.” Laki-laki itu kemudian bertanya lagi: “apakah yang dimaksud dengan ihsan?” Nabi Muhammad SAW menjawab: “engkau sembah Tuhan seakan-akan engkau melihat-Nya; apabila engaku tidak melihat-Nya, maka (engkau berkeyakinan) bahwa Dia melihatmu…”(Buhkari, I, t.th: 23).
Hadits di atas memberikan ide kepada umat Islam sunni tentang rukun iman yang enam, rukun Islam yang lima, dan penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha hadir dalam hidup. Sebenarnya, ketiga hal itu hanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Antara yang satu dengan yang lainnya memiliki keterkaitan.
Setiap pemeluk agama Islam mengetahui dengan pasti bahwa Islam tidak abash tanpa iman, dan iman tidak sempurna tanpa ihsan. Sebaliknya, ihsan adalah mustahil tanpa iman, dan iman juga mustahil tanpa Islam. Dalam penelitian lebih lanjut, sering terjadi tumpang tindih antara tiga istilah tersebut: dalam iman terdapat Islam dan ihsan; dalam Islam terdapat iman dan ihsan, dan dalam ihsan terdapat iman dan Islam. Dari situlah, Nurcholish Madjid (1994: 463) melihat iman, Islam, dan ihsan sebagai trilogi ajaran Ilahi.
Ibnu Timiah menjelaskan bahwa din itu terdiri dari tiga unsure, yaitu iman, Islam, dan ihsan. Dalam tiga unsure itu terselip makna kejenjangan (tingkatan): orang yang memulai dengan Islam, kemudian berkembang kea rah iman, dan memuncak dalam ihsan.
Rujukan Ibnu Taimiah dalam mengemukakan pendapatnya adalah surat al-Fathir [35] ayat 32: “kemudian kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri; dan di antara mereka ada yang pertengahan; dan di antara mereka ada pula yang lebih cepat berbuat kebaikan dengan izin Allah … ”
Di dalam al-Qur’an dan terjemahnya yang diterbitkan Departemen Agama dijelaskan sebagai berikut: pertama, “orang-orang yang menganiaya dirinya sendiri” (fa minhum zalim li nafsih) adalah orang-orang yang lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya; kedua, “orang-orang pertengahan” (muqtashid) adalah orang-orang yang antara kebaikan dengan kejelekannya berbanding; dan ketiga, “orang-orang yang lebih dulu berbuat keaikan” (sabiq bi al-khairat) adalah orang-orang yang kebaikannya amat banyak dan jarang melakukan kesalahan.
Dengan penjelasan yang agak berbeda, Ibnu Taimiah menjelaskan sebagai berikut: pertama, orang-orang yang menerima warisan kitab suci dengan mempercayai dan berpegang teguh pada ajaran-ajarannya, namun masih melakukan perbuatan-perbuatan zaim, adalah orang yang baru ber-islam, suatu tingkat permulaan dalam kebenaran; kdua, orang yang menerima warisan kitab suci itu dapat berkembang menjadi seorang mukmin, tingkat menengah, yaitu orang yang telah sedang-sedang saja; ketiga, perjalanan mukmin itu (yang telah terbatas dari perbuatan zalim) berkembang perbuatan kebajikannya sehingga ia menjadi pelomba (sabiq) perbuatan kebajikannya; maka ia mencapau derajat ihsan. “orang yang telah mencapai tingkat ihsan,” kata Ibnu Taimiah, “akan masuk surge tanpa megalami azab.”
Imam al-Syahrastani dalam kitabnya, al-milal wa al-hilal, menjelaskan bahwa islam adalah menyerahkan diri secara lahir. Oleh akrena itu, baik mukmin maupun munafik adalah Muslim. Sedangkan iman adalah pemebanaran terhadap Allah, para utusan-Nya, kitab-kitab-Nya, hari kiamat, dan menerima qadla dan qadar. Integrasi antara Islam dan iman adalah kesempurnaan (al-Kamal). Atas dasar penjelasan itu, al-Syahrastani juga menunjukkan bahwa islam adala mabda’ (pemula); iman adalah menengah (wasath); dan ihsan adalah kesempurnaan (al-kamal).[12]
Islam, Iman & Ihsan adalah satu kesatuan yg tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Iman adalah keyakinan yang menjadi dasar akidah. Keyakinan tersebut kemudian diwujudkan melalui pelaksanaan kelima rukun Islam. Sedangkan pelaksanaan rukun Islam dilakukan dangan cara ihsan, sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah.
Untuk mempelajari ketiga pokok ajaran agama tersebut, para ulama mengelompokkannya lewat 3 cabang ilmu pengetahuan. Rukun Islam berupa praktek amal lahiriyah disusun dalam ilmu Fiqh, yaitu ilmu mengenai perbuatan amal lahiriyah manusia sebagai hamba Allah. Iman dipelajari melalui ilmu Tauhid (teologi) yg menjelaskan tentang pokok-pokok keyakinan. Sedangkan untuk mempelajari ihsan sebagai tata cara beribadah adalah bagian dari ilmu Tasawuf.[13]