Iman adalah kepercayaan
kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa. Syahadatain
(dua persaksian: bersaksi bahwa tiada
Tuhan yang disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah) merupakan
suatu pernyataan sebagai kunci dalam memasuki gerbang Islam. Pernyataan bahwa
hanya Allah (Yang Esa) satu-satunya Tuhan yang wajib disembah, merupakan pokok
ajaran yang menjadi misi segala Nabi yang pernah diutus oleh Allah ke bumi di
sepanjang sejarah kehidupan manusia.
Ar- Raghib al-Ashfahani (ahli
kamus Al-quran) mengatakan, iman didalam Al-quran terkadang digunakan untuk
arti iman yang hanya sebatas dibibir saja padahal dalam hati dan perbuatannya
tidak beriman, terkadang digunakan untuk arti iman yang hanya terbatas pada
perbuatannya saja, sedang hati dan ucapannya tidak beriman dan ketiga kata iman
terkadang digunakan untuk arti iman yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan
lisan, dan di amalkan dalam perbuatan sehari-hari.[1]
Iman itu perkataan dan
perbuatan, yaitu perkataan hati dan lisan, dan perbuatan hati, lisan, dan
anggota badan. Ia bertambah karena ketaatan dan berkurang karena maksiat, dan
orang yang beriman itu bertingkat keimanannya.
Firman Allah
ولكن الله
حبب اليكم الا يمان و زينه في قلوبكم ...
“… tetapi Allah menjadikanmu
cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu…” (al-hujurat:
7)
Perkataan dan perbuatan
adalah makna syahadatain (persaksian tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad
utusan Allah), yang seseorang tidak sah memeluk agama Islam tanpa dua kalimat
syahadat ini. Ia merupakan amalan hati dengan mengitikadkannya dan amalan lisan
dengan mengucapkannya dengan segala konsekuensi. Allah berfirman,
… وماكان الله ليضيع ايما نكم
“… dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu…” (al- Baqarah: 143)
Yang dimaksudkan oleh
“imanmu” dalam ayat ini adalah shalat yang dilaksanakan dengan menghadap ke
Baitul Maqdis sebelum diciptakannya perubahan kiblat.
Di sini, shalat secara
keseluruhan disebut iman, karena shalat menghimpun perbuatan hati, lisan, dan
anggota badan. Nabi Muhammad SAW juga menjadikan jihad, ibadah lailatul qadar,
puasa Ramadhan, shalat tarawih, dan shalat lima waktu sebagai iman. Ketika
beliau ditanya tentang amalan yang paling utama, beliau menjawab, “Iman kepada
Allah dan rasul-Nya.”
Berikut ini dalil yang
menunjukkan bertambah dan berkurangnya iman
… المؤمنين ليزدادوا ايمانا مع ايمانهم
“… supaya keimanan mereka bertambah
di samping keimanan mereka (yang telah ada)…” (al-Fath: 4)
ىهد
وزدنهم
“… dan kami tambahkan kepada mereka
petunjuk.” (al-Kahfi: 13)
“… adapun orang-orang yang beriman,
maka surat ini menambah imannya…” (at-Taubah: 124)[2]
2. Pengertian Islam
Secara genetik kata Islam berasal dari Bahasa Arab terambil dari kata “salima” yang berarti selamat sentosa.
Dari kata itu dibentuk kata “aslama”
yang berarti menyerah, tunduk, patuh, dan taat.
Kata “aslama” menjadi pokok
kata Islam. Sebab itu orang yang melakukan “aslama”
atau masuk islam dinamakan Muslim. Selanjutnya dari kata “salima” juga terbentuk kata “silmun”
dan “salamun” yang berarti damai. Karenanya
seorang yang menyatakan dirinya muslim adalah harus damai dengan Allah dan
dengan sesama manusia.
Penyebutan orang-orang Barat terhadap Islam sebagai Moehammedanism dan
Moehamadan, bukan saja tidak tepat tetapi salah secara prinsipil (Nasrudin
Razak, 1985: 55). Istilah ini mengandung arti Islam adalah paham Muhammad atau
pemujaan terhadap Muhammad, sebagaimana perkataan Kristen dan Kekristenan yang
mengadung arti pemujaan terhadap Kristus.[3]
Islam artinya penyerahan diri kepada Allah, tuhan yang Maha Kuasa, Maha
Perkasa, dan Maha Esa. Penyerahan itu diikuti dengan kepatuhan dan ketaatan
untuk menerima dan melakukan apa saja perintah dan larangan-Nya. Tunduk pada
aturan dan undang-undang yang diturunkan kepada manusia melalui hamba
pilihan-Nya (para rasul). Aturan dan undang-undang yang dibuat oleh Allah itu
dikenal dengan istilah “Syari’ah”.
Kadang-kadang syari’ah itu disebut juga din
(agama). Innaddina ‘indallahi
al-islam (sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam QS. 3:19), karena
memang agama di sisi Allah ialah penyerahan yang sesunggguhnya kepada Allah.
Maka walaupun seseorang mangaku memeluk agama Islam, kalau tidak menyerah yang
sesungguhnya kepada Allah, tidak mau mematuhi suruhan dan larangannya, belumlah
dia Islam.
Dengan memasuki Islam seseorang akan selamat, damai, dan sentosa dalam
kehidupan yang seimbang lahir dan batin, dunia dan akhirat. Islam memang
mempunyai arti (selamat, damai, dan sentosa), suatu agama yang diturunkan oleh
Allah kepada segenap nabi dan rasul-Nya. Allah jua menegaskan bahwa siapa saja
yang memeluk agama selain Islam tidak akan diterima (QS. 3:85), karena itu
tentulah para nabi membawa dan memeluk ini, karena Islam memang diperuntukkan
bagi segenap manusia. Ajaran Islam itu, oleh karenanya merata, mengatur manusia
dalam segala seginya, bukan semata mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya,
melainkan juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan
lingkungannya (alam semesta).
3. Pengertian Ihsan
Ihsan,
menurut kamus berasal dari kata: ahsana-yuhsinu-ihsan
berarti, baik, bagus, kebajikan atau saleh. Menurut makna istilah, seperti
dikemukakan dalam hadits nabi di permulaan tulisan ialah: “engkau menyembah
Allag seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak dapat melihat-Nya,
sesungguhnya Ia melihat engkau.”[4]
B. Rukun-rukun Iman dan Islam
1.
Rukun
Iman
a.
Iman
Kepada Allah
Yakni beriman kepada rububiyyah Allah Swt, maksudnya : Allah
adalah Tuhan, Pencipta, Pemilik semesta, dan Pengatur segala urusan, Beriman
kepada uluhiyyah Allah Swt,
maksudnya: Allah sajalah tuhan yang berhak di sembah, dan semua sesembahan
selain-Nya adalah batil, iman kepada Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya maksudnya:
bahwasanya Allah Swt, memiliki nama-nama yang mulia, dan sifat-sifat-Nya yang
sempurna serta agung sesuai yang ada dalam Al-quran dan Sunnah Rasul-Nya.
b.
Iman
Kepada Malaikat-malaikat Allah
Malaikat adalah hamba Allah yang
mulia, mereka diciptakan oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya, serta tunduk
dan patuh menta’ati-Nya, Allah telah membebankan kepada mereka berbagai tugas,
Diantaranya adalah : Jibril tugasnya menyampaikan wahyu, Mikail mengurusi hujan
dan tumbuh-tumbuhan, Israfil meniup sangsakala di hari kiamat, Izrail (malaikat
maut), Raqib , Atit, mencatat amal perbutan manusia, Malik menjaga neraka, Ridwan
menjaga surga, dan malaikat-malaikat yang lain yang hanya Allah Swt yang dapat
mengetahuinya.
c.
Iman
Kepada Kitab-kitab Allah
Allah yang Maha
Agung dan Mulia telah menurunkan kepada para Rasul-Nya kitab-kitab, mengandung
petunjuk dan kebaikan. Diantaranya: kitab taurat diturunkan kepada Nabi Musa,
Injil diturunkan kepada Nabi Isa, Zabur diturunkan kepada Nabi Daud, Shuhuf
Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, Al-quran diturunkan Allah Swt, kepada Nabi Muhammad
Saw. Allah telah menjamin untuk menjaga dan memeliharanya, karena ia akan
menjadi hujjah atas semua makhluk, sampai hari kiamat.
d.
Iman
Kepada Rasul Allah
Allah telah
mengutus kepada maakhluk-Nya para rasul, rasul pertama adalah Nuh dan yang
terakhir adalah Muhammad Saw, dan semua itu adalah manusia biasa, tidak
memiliki sedikitpun sifat ketuhanan, mereka adalah hamba-hamba Allah yang
dimuliakan dengan kerasulan. Dan Allah telah mengakhiri semua syari’at dengan
syari’at yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw,yang diutus untuk seluruh
manusia, maka tidak ada nabi sesudahnya.
e.
Iman
Kepada Hari Akhir
Yaitu hari kiamat,
tidak ada hari lagi setelahnya, ketika Allah membangkitkan manusia dalam
keadaan hidup untuk kekal ditempat yang penuh kenikmatan atau ditempat siksaan
yang amat pedih. Beriman kepada hari akhir meliputi beriman kepada semua yang
akan terjadi setelah itu, seperti kebangkitan dan hisab, kemudian surga atau
neraka.[5]
f.
Iman
Kepada Qadha’ dan Qadar
Iman kepada qada dan qadar Allah
adalah salah satu sendi akidah Islam. Dalam pembicaraan sehari-hari disingkat
dengan sebutan takdir (taqdir). Berbicara tentang takdir Allah memang bukan
sesuatu yang mudah. Sebab yang kita bicarakan langsung menyangkut kehendak
Tuhan terhadap makhluk-makhluk-Nya.
Beriman kepada qada dan qadar
Allah adalah rukun keenam dari rukun iman. Sebagaimana dalam jawaban Rasulullah
ketika ditanya oleh Jibril tentang iman, beliau bersabda:
“Engkau beriman krpada Allah,
para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada
qada-Nya, yang baik maupun yang buruk.” (HR.Buhkari dan Muslim)
Seperti yang dinyatakan dalam
Al-Qur’an surah An-Naml [27]: 65 yang artinya “katakanlah tak seorang pun di
laangit maupun di bumi yang mengetahui perkara gaib kecuali Allah.”[6]
2. Rukun Islam
a.
2 Kalimat Syahadat
Dua kalimat syahadat itu adalah
laksana anak kunci yang dengannya manusia masuk ke dalam alam keselamatan
(Islam). Sebagaimana keterangan Hadits Nabi : “dari Mu’az berkata, aku
mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: barangsiapa yang akhir katanya laa ilaaha illallaah, maka dia pasti
masuk surga.”
Kalimat “laa ilaaha illallah” tersusun dalam bentuk dimulai dengan
peniadaan, yaitu tiada tuhan, baru kemudian disusul dengan suatu penegasan :
“melaikan Allah!”. Ini berarti bahwa seorang muslim dalam hidupnya harus
membersihkan segala macam tuhan, kepercayaan, keyakinan, aqidah, dan lain-lain
sebagainya lebih dahulu. Yang ada dalam kalbunya hanyalah satu tuhan, satu
kepercayaan, satu keyakinan dan satu aqidah ialah hanya kepada Zat yang bernama
Allah s.w.t.
b.
Shalat
Allah telah
mensyari’atkan shalat 5 waktu setiap hari sebagai hubungan antara seorang
muslim dengan Tuhannya. Didalamnya dia
bermunajat dan berdo’a kepada-Nya, disamping agar
menjadi pencegah bagi muslim dari perbuatan keji dan mungkar. Dan Alah telah
menyiapkan bagi yang menunaikannya kebaikan dalam agama dan kemantapan iman
serta ganjaran, baik cepat maupun lambat. Maka dengan demikian seorang hamba akan
mendapatkan ketenangan jiwa dan kenyamanan raga yang akan membuatnya bahagia di
dunia dan akhirat.
Shalat terdiri dari :
1)
Shalat
wajib
a)
Shalat
dzuhur
b)
Shalat
ashar
c)
Shalat
magrib
d)
Shalat
Isya’
e)
Shalat
subuh
2)
Shalat
sunnah.
a)
Shalat
rawatib
b)
Shalat
dhuha
c)
Shalat
tahajjud
d)
Shalat
witir
e)
Shalat
gerhana matahari dan shalat gerhana bulan
f)
Shalat 2
hari raya
g)
Shalat
istiharah
h)
Shalat tasbih[7]
c.
Puasa
Puasa
adalah salah satu Rukun Islam yang mulai disyariatkan pada tahun ke II Hijriah. Kata puasa berasal dari bahasa
arab “ الصَّوْمُ ” yang berarti menahan (إمساك). Jadi, puasa menurut bahasa artinya
“menahan”. Secara Terminologi, Puasa Adalah
إمساك عن مفطر بنية مخصوصة جميع نهار قابل للصوم من مسلم عاقل
طاهر من حيض و نفاس
(menahan dari sesuatu yang
membatalkan puasa dengan niat yang khusus pada seluruh siang harinya orang yang
melakukan puasa yang berakal, dan suci dari haidl dan nifas).
Jadi, puasa adalah menahan diri
dari segala sesuatu yang membatalkan puasa mulai terbit fajar sampai terbenam
matahari disertai niat dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan. Sesuai
firman Allah SWT :
...وَكُلُوْاوَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ
الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ... (البقرة : 187)
Artinya : “makan dan minumlah
hingga nyata bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar.” (QS.
Al-Baqarah : 187)
Adapun hukum melakukan puasa
Ramadlan adalah Wajib/Fardlu ‘Ain,
sesuai firman Allah SWT yang artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu, supaya kamu bertaqwa.” (Qs. Al-Baqarah : 183).
Macam-macam
puasa:
1)
Puasa wajib
a)
Puasa Ramadhan
b)
Puasa Nazar
c)
Puasa Kafarat
2)
Puasa sunnah
a)
Puasa 6 hari pada bulan syawal
b)
Puasa hari asyura
c)
Puasa pada hari arafah
d)
Puasa pada bulan sya’ban
e)
Puasa daud
f)
Puasa senin-kamis
3)
Puasa makruh
a)
Puasa syak
b)
Puasa pada hari-hari pertengahan
bulan sya’ban
4)
Puasa haram
a)
Puasa pada 2 hari raya
b)
Puasa pada hari tasyrik
c)
Puasa sepanjang masa
d)
Puasa wishal
e)
Puasa khusus hari jum’at[8]
d.
Zakat
Menurut
bahasa, “zakat” berasal dari kata zakatan-yuzakki-zakka
artinya tumbuh, suci, atau berkah. Menurut istilah Zakat adalah memberikan
harta dengan kadar tertentu kepada yang berhak sebagai ibadah kepada Allah SWT.
Firman Allah yang memerintahkan
kewajiban zakat adalah QS. An-Nisa ayat 77:
واقيموا الصلواة واتوا االزكوة
Artinya: “… dirikanlah shalat dan
tunaikan zakat … ” (QS. An-Nisa :77)
Macam-macam zakat:
1)
Zakat fitrah
2)
Zakat Maal
a)
Emas,
perak dan uang
b)
Harta
perniagaan
c)
Harta
pertanian
d)
Hewan
trnak
e)
Hasil
tambang
f)
Barang
temuan[9]
e.
Haji
Rukun Islam yang ke-5 adalah
menunaikan ibadah haji. Setiap orang Islam wajib menunaikan ibadah haji bila
mampu, dan dalam seumur hidupnya hanya dilakukan sekali. Jika seseorang tidak
menunaikan ibadah haji sedangkan ia mamapu, maka ia bukanlah termasuk orang
Islam.
Pengertian haji menurut bahasa dalah
القصد artinya menyengaja. Sedangkan menurut
istilah haji adalah mengunjungi makkah (ka’bah) untuk mengerjakan ibadah yang
terdiri dari thawaf, sa’I, wuquf, dan ibadah-ibadah lain sesuai dengan
ketentuan haji, guna memenuhi perintah Allah dan mengharap keridlaan-Nya.
Ibaah haji ini merupakan bagian dari
syari’at bagi umat-umat dahulu, semenjak Nabi Ibrahim. Allah telah menyuruh
Nabi Ibrahim a.s membangun baitul Haram di amkkah, agar orang-orang thawaf di
sekelilingnya dan menyebut nama Allah ketika thawaf itu.
C.
Tingkatan-tingkatan
dalam Iman dan Islam dan pencapaian muhsin
1. Tingkatan
iman
a)
tingkatan iman pertama disebut
dengan ilathitsu, yaitu iman yang dimiliki oleh para malaikat, dimana
tingkatan iman ini tidak pernah berkurang dan tidak pula bertambah
b)
tingkatan iman kedua disebut dengan
iman ma’sum yaitu iman yang dimiliki
oleh para Nabi dan Rasul Allah WST. Dimana tingkatan iman ini tidak pernah
berkurang dan selalu bertambah ketika wahyu datang kepadaNya.
c)
Tingkatan iman ketiga disebut dengan
makbul yaitu iman yang dimiliki oleh
muslim dimana iman pada tingkatan ini selalu bertambah jika mengerjakan amal
kebaikan dan akan berkurang jika melakukan maksiat.
d)
Tingkatan iman yang keempat disebut
iman maohuf yaitu iamn yang dimiliki
oleh ahli bid’ah, yaitu iman yang ditangguhkan diaman jika berhenti melakukan
bid’ah maka iman akan diterima, diantaranya kaum rafidhoh, atau dukun, sihir,
dan sejenisnya.
e)
Tingkatan iman yang kelima disebut
dengan iman mardud, yaitu iman yang
ditolak, dimana iman ini yang dimiliki oleh orang-orang musyrik, murtad,
munafik, kafir, dan sejenisnya.[10]
2. Tingatan islam
a)
Islam
muslim
b)
Muslim, adalah sebuah kata dari bahasa Arab yang berarti
orang Islam atau orang yang patuh dan tunduk menurut perintah Allah
SWT.
c)
Kata Muslim
berasal dari kata salima yaslamu yang berarti selamat, sentosa
atau aslama yang berarti tunduk patuh
atau beragama Islam. Sehingga orang Muslim berarti orang yang
patuh, taat dan berserah diri kepada sang penciptaNYA.
d)
Dari akar
kata yang sama, lahir pula kata salam atau salama yang artinya memberi salam atau menyelamatkan. Orang yang mengucapkan
salam berarti mendoakan orang lain agar selamat.
e) Islam kaffah
Ajakan untuk
menjadi mu’min yang kãffah didengungkan Allah melalui surat Al-Baqarah yang
208:“Hai orang-orang
(yang mengaku) mu’min, masuklah kalian ke dalam Islam secarakãffah,
dalam arti janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan, karena dia (setan
itu) adalah musuh yang nyata bagi kalian.”[1]
Pengertian harfiah dari istilah kaffah
adalah keseluruhan atau totalitas (totality). Dengan demikian, menjadi
mu’min yang total. Dalam ayat di atas ada dua kata perintah udkhulu (masuklah kallian), dan yang
kedua adalah kata as-silm(u) yang merupakan sinonim sari as-salam(u) yang
artinya agama islam.
Dilihat dari asbabun nuzul ayat
"udkhuluu fis silmi kaaffaah", Islam kaffah itu sebenarnya
berkenaan dengan aqidah. Jangan menyembah Allah dengan setengah-setengah; kita
dituntut untuk bertauhid dengan penuh totalitas. BerIslam secara kaffah itu artinya
tidak sinkretisme: mencampurbaurkan berbagai ajaran agama.
Di luar persoalan aqidah, Islam
kaffah itu masuk pada wilayah penafsiran. Contohnya, bagi mereka yang
berpandangan bahwa Islam itu mewajibkan bentuk dan sistem ketatanegaraan
tertentu, maka ber-Islam secara kaffah artinya mendukung dan berjuang untuk
menegakkan sistem dan bentuk ketatanegaraan tsb.
Sebaliknya, bagi mereka yang
bepandangan bahwa Islam tidak mewajibkan secara syar'i akan bentuk dan sistem
ketatanegaraan tertentu, maka mereka tidak merasa berkurang ke-kaffah-an mereka
dalam ber-Islam hanya karena tidak mendukung sistem dan bentuk ketatanegaraan
tertentu.
Mereka berpandangan --sesuai
dengan pemahaman mereka terhadap nash-- bahwa Islam hanya memberikan petunjuk
akan prinsip-prinsip tertentu yang dapat digunakan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Bentuk dan sistem ketatanegaraan yang dipilih ummat tidaklah
menjadi soal selama prinsip-prinsip tersebut terpenuhi.
3. Mencapai muhsin
Allah berfirman,
المحسنين يحب اللهان اواحسبو
“… dan berbuat baiklah karena
sesunggunya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (al-Baqarah: 195)
“sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (an-Nahl:
128)
Dan Rasulullah SAW bersabda:
“sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan
(berbuat baik) atas segala sesuatu.” (HR Ahmad, Muslim, Imam Empat)
Di dalam
sebuah hadits diceritakan dialog Nabi Muhammad SAW, dengan malaikat Jibril.
Jibril berkata kepada beliau,
“terangkan aku tentang ihsan!”
Lalu beliau menjawab,
“yaitu engkau beribadah kepada Allah
seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka engkau
yakin benarlah bahwa Allah melihatnu.” (HR Bukhari dan Muslim)
Nabi
Muhammad SAW menjelaskan dalam hadits tersebut bahwa iman itu mempunyai 2
tingkat. Tingkat yang tertinggi (pertama) ialah beribadah kepada Allah
seolah-olah engaku melihat-Nya. Ini disebut maqam (kedudukan) musyahadah, yaitu
si hamba beramal menurut tuntutan penyaksiannya kepada Allah Ta’ala dengan
kalbunya, yaitu hatinya disinari oleh iman dan mata hatinya menembus
pengetahuan sehingga jadilah yang gaib itu seperti kenyataan. Dan inilah
hakikat maqam ihsan. Kedua, maqam muraqabah, yaitu si hamba melakukan ibadah
dengan merasa diawasi oleh Allah serta ia selalu merasa dekat dengan-Nya. Bila
perasaan si hamba dalam melakukan semua amal adalah seperti itu, dan dia
beramal dengan perasaan seperti itu, maka amalnya akan tulus karena Allah.
Perasaan hati yang demikian akan mencegahnya berpaling kepada selain Allah.
Para ahli kedua maqam ini memiliki tingkat berbeda-beda, sesuai dengan
ketajaman hatinya.[11]
Adapun tiga tingkatan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Tingkat At-taqwa,
yaitu tingkatan paling bawah dengan derajad yang berbeda-beda.
2. Tingkat Al-bir,
yaitu tingkat menengah dengan derajat yang berbeda-beda.
3. Tingkat Al-ihsan,
yaitu tingkat paling atas dengan derajat yang berbeda-beda.
Tingkat taqwa
Tingkat
taqwa adalah tingkatan dimana seluruh derajatnya dihuni oleh mereka yang masuk
kategori Al-muttaqin, sesuai dengan derajad ketaqwan masing-masing.
Taqwa akan menjadi sempurna
dengan menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi serta meninggalkan segala
apa yang dilarangNya, hal ini berarti meninggalkan salah satu perintah Allah
saja dapat mengakibatkan sangsi, dan melakukan salah satu laranganNya saja
adalah dosa. Dengan demikian puncak taqwa adalah menjalankan semua perintah
Allah serta menjauhi segala laranganNya.
Namun ada satu hal yang harus
dipahami dengan benar, yaitu bahwa Allah Swt. Maha mengetahui mengetahui
keadaan hamba-hambaNya yang memiliki berbagai kelemahan, yang dengan kelemahannya
itu seorang hamba melakukan dosa. Oleh karena itu Allah membuat satu cara
penghapusan dosa, yaitu dengan cara bertobat dan pengampunan. Melalui hal
tersebut, Allah akan mengampuni hambaNya yang berdosa karena kelalaiannya dari
menunaikan hak-hak taqwa. Sementara itu, ketika seorang hamba naik peringkat
puncak taqwa, boleh jadi ia akan naik peringkatnya pada peringkat bir atau
ihsan. Peringkat ini disebut martabat taqwa, karena amalan-amalan yang ada pada
derajat ini membebaskannya dari siksaan atas kesalahan yang dilakukannya.
Adapun derajat yang paling rendah dari peringkat ini adalah derajat dimana
seseorang menjaga dirinya dari kekalnya
dalam neraka, yaitu dengan iman yang benar dan diterima oleh Allah Swt.
Tingkat Al-bir
Peringkat
ini akan dihuni oleh mereka yang masuk kategoi Al-abror, hal ini sesuai dengan
amalan-amalan kebaikan yang mereka lakukan dari ibadah-ibadah sunnah serta
segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah Swt. hal ini dilakukan
setelah mereka melakukan hal yang wajib, yakni yang ada pada peringkat
At-taqwa.
Peringkat ini disebut derajat
Al-bir (kebaikan), karena derajat ini merupakan perluasan pada hal-hal yang
sifatnya sunnah, sesuai sifatnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada
Allah dan merupakan tambahan dari batasan-batasan yang wajib serta yang di
haramkanNya. Amalan-amalan ini tidak diwajibkan oleh Allah kepada hambaNya,
tetapi perintah itu bersifat anjuran, sekaligus terdapat janji pahala
didalamnya.
Akan tetapi mereka yang melakukan
amalan tambahan ini tidak akan masuk kedalam tingkatan Al-bir, kecuali mereka
telah melaksanakan peringkat yang pertama, yaitu peringkat taqwa. Karena
melaksanakan hal yang pertama menjadi syarat mutlak untuk naik keperingkat yang
selanjutnya.
Dengan demikian,barang siapa yang
mengklaim dirinya telah melakukan kebaikan sedang ia tidak mengimani
unsure-unsur kaidaah iman dalam ihsan, serta tidak terhindar dari siksaan
neraka , maka ia tidak dapat masuk kedalam peringkat ini. (Al-bir). Allah Swt.
telah berfirman,
“Bukanlah kebaikan dengan
memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaikan itu adalah taqwa,
dan datangilah rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertaqwalah kepada Allah
agar kalian beruntung.” (Qs. Al-baqarah: 189).
“ya tuhan kami, sesungguhnya kami
mendengar seruan orang yang menyeru kepada iman, yaitu berimanlah kamu kepada
tuhanmu, maka kamipun beriman. Ya tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami
dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami bersama
orang-orang yang banyak berbuat baik.” (Al-imran: 193) .
Tingkat ihsan
Tingkatan
ini akan dicapai oleh mereka yang masuk dalam kategori Muhsinun, mereka adalah
orang yang telah melewati tingkat pertama dan kedua (peringkat At-taqwa dan
Al-bir).
Ketika kita mencermati pengertian
ihsan dengan sempurna, maka kita akan mendapatkan kesimpulan bahwa ihsan
memiliki dua sisi yaitu : Pertama, ihsan adalah kesempurnaan dalam beramal
sambil menjaga keiklasan dan jujur dalam beramal.
Kedua, ihsaan adalah sensntiasa
memaksimalkan amalan-amalan sunnah yang dapat mendekat diri kepada Allah Swt.
selama hal itu adalah sesuatu yang diridhaiNya dan dianjurkan untuk
melaksanakannya.
Untuk dapat naik
kemartabat ihsan dalam segala amal , hanya bisa dicapai melalui amalan-amalan
wajib dan amalan-amalan sunnah yang dicintai oleh Allah Swt. serta dilakukan
atas dasar mencari ridha Allah Swt.
D. Korelasi antara Iman, Islam, dan Ihsan
Dimensi-dimensi Islam berawal dari
sebuah hadits yang meriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang dimuat
dalam masing-masing kitab sahihnya yang menceritakan dialog antara Nabi
Muhammad SAW dengan malaikat Jibril tentang trilogy ajaran Ilahi:
“Nabi Muhammad SAW keluar dan
(berada di sekitar sahabat) seseorang datang menghadap beliau dan bertanya:
“Haai Rasul Allah, apakah yang dimaksud dengan iman?” beliau menjawab: “Iman
adalah engkau percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, pertemuan
dengan-Nya, para utusan-Nya, dan percaya kepada kebangkitan.” Laki-laki itu
kemudian bertanya lagi: “apakah yang dimaksud dengan Islam?” beliau menjawab:
“Islam adalah engaku menyembah Allah dan tidak musyrik kepada-Nya, engkau
tegakkan salat wajib, engkau tunaikan zakat wajib, dan engkau berpuasa pada
bulan Ramadhan.” Laki-laki itu kemudian bertanya lagi: “apakah yang dimaksud
dengan ihsan?” Nabi Muhammad SAW menjawab: “engkau sembah Tuhan seakan-akan
engkau melihat-Nya; apabila engaku tidak melihat-Nya, maka (engkau
berkeyakinan) bahwa Dia melihatmu…”(Buhkari, I, t.th: 23).
Hadits di atas memberikan ide kepada
umat Islam sunni tentang rukun iman yang enam, rukun Islam yang lima, dan
penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha hadir dalam hidup. Sebenarnya, ketiga hal
itu hanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Antara yang satu
dengan yang lainnya memiliki keterkaitan.
Setiap pemeluk agama Islam
mengetahui dengan pasti bahwa Islam tidak abash tanpa iman, dan iman tidak
sempurna tanpa ihsan. Sebaliknya, ihsan adalah mustahil tanpa iman, dan iman
juga mustahil tanpa Islam. Dalam penelitian lebih lanjut, sering terjadi
tumpang tindih antara tiga istilah tersebut: dalam iman terdapat Islam dan
ihsan; dalam Islam terdapat iman dan ihsan, dan dalam ihsan terdapat iman dan
Islam. Dari situlah, Nurcholish Madjid (1994: 463) melihat iman, Islam, dan
ihsan sebagai trilogi ajaran Ilahi.
Ibnu Timiah menjelaskan bahwa din
itu terdiri dari tiga unsure, yaitu iman, Islam, dan ihsan. Dalam tiga unsure
itu terselip makna kejenjangan (tingkatan): orang yang memulai dengan Islam,
kemudian berkembang kea rah iman, dan memuncak dalam ihsan.
Rujukan Ibnu Taimiah dalam
mengemukakan pendapatnya adalah surat al-Fathir [35] ayat 32: “kemudian kitab
itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba
kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri; dan di
antara mereka ada yang pertengahan; dan di antara mereka ada pula yang lebih
cepat berbuat kebaikan dengan izin Allah … ”
Di dalam al-Qur’an dan terjemahnya
yang diterbitkan Departemen Agama dijelaskan sebagai berikut: pertama, “orang-orang
yang menganiaya dirinya sendiri” (fa minhum zalim li nafsih) adalah orang-orang
yang lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya; kedua, “orang-orang
pertengahan” (muqtashid) adalah orang-orang yang antara kebaikan dengan
kejelekannya berbanding; dan ketiga, “orang-orang yang lebih dulu berbuat
keaikan” (sabiq bi al-khairat) adalah orang-orang yang kebaikannya amat banyak
dan jarang melakukan kesalahan.
Dengan penjelasan yang agak berbeda,
Ibnu Taimiah menjelaskan sebagai berikut: pertama, orang-orang yang menerima
warisan kitab suci dengan mempercayai dan berpegang teguh pada
ajaran-ajarannya, namun masih melakukan perbuatan-perbuatan zaim, adalah orang
yang baru ber-islam, suatu tingkat permulaan dalam kebenaran; kdua, orang yang
menerima warisan kitab suci itu dapat berkembang menjadi seorang mukmin,
tingkat menengah, yaitu orang yang telah sedang-sedang saja; ketiga, perjalanan
mukmin itu (yang telah terbatas dari perbuatan zalim) berkembang perbuatan
kebajikannya sehingga ia menjadi pelomba (sabiq) perbuatan kebajikannya; maka
ia mencapau derajat ihsan. “orang yang telah mencapai tingkat ihsan,” kata Ibnu
Taimiah, “akan masuk surge tanpa megalami azab.”
Imam al-Syahrastani dalam kitabnya,
al-milal wa al-hilal, menjelaskan bahwa islam adalah menyerahkan diri secara
lahir. Oleh akrena itu, baik mukmin maupun munafik adalah Muslim. Sedangkan
iman adalah pemebanaran terhadap Allah, para utusan-Nya, kitab-kitab-Nya, hari
kiamat, dan menerima qadla dan qadar. Integrasi antara Islam dan iman adalah kesempurnaan
(al-Kamal). Atas dasar penjelasan itu, al-Syahrastani juga menunjukkan bahwa
islam adala mabda’ (pemula); iman adalah menengah (wasath); dan ihsan adalah
kesempurnaan (al-kamal).[12]
Islam, Iman & Ihsan adalah satu kesatuan yg tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Iman adalah keyakinan yang menjadi dasar akidah.
Keyakinan tersebut kemudian diwujudkan melalui pelaksanaan kelima rukun Islam.
Sedangkan pelaksanaan rukun Islam dilakukan dangan cara ihsan, sebagai upaya pendekatan
diri kepada Allah.
Untuk mempelajari ketiga pokok ajaran agama tersebut, para
ulama mengelompokkannya lewat 3 cabang ilmu pengetahuan. Rukun Islam berupa
praktek amal lahiriyah disusun dalam
ilmu Fiqh, yaitu ilmu mengenai perbuatan amal lahiriyah manusia sebagai hamba Allah. Iman
dipelajari melalui ilmu Tauhid (teologi) yg menjelaskan tentang pokok-pokok
keyakinan. Sedangkan untuk mempelajari ihsan sebagai tata cara
beribadah adalah bagian dari ilmu
Tasawuf.[13]