Senin, 03 Februari 2020

IMS 2020: 7 Fakta Mendikbud Millennial Indonesia, Nadiem Makarim


Jakarta, IDN Times - Joko "Jokowi" Widodo kembali terpilih menjadi Presiden Indonesia untuk kedua kalinya di periode 2019-2024. Di era kepemimpinannya, Jokowi memberikan ruang cukup banyak untuk kalangan millennial.
Salah satu sosok millennial yang dipilih Jokowi untuk membantu kabinetnya adalah Nadiem Anwar Makarim. Dirinya ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) untuk meningkatkan mutu kualitas pendidikan di Tanah Air serta mengabdi kepada negeri. 
Sosok Nadiem sebenarnya sudah dikenal dan digandrungi banyak anak muda sejak menjabat sebagai CEO Gojek. Namun, berikut ini ada 7 fakta tentang sosok Nadiem Anwar Makarim.

1. Ada darah pahlawan di dalam diri Nadiem

Siapa sangka sosok Mendikbud millennial ini punya darah pahlawan yang mengalir dalam dirinya.
Nadiem merupakan putra dari Nono Anwar Makarim, salah satu aktivis dan pengacara terkemuka di Indonesia. Ibunya seorang penulis lepas, Atika Algadri.
Kakek Nadiem ternyata juga seorang pejuang dalam masa perintis kemerdekaan Indonesia. Hamid Algadri, begitu nama kakek Nadiem yang merupakan keturunan Pasuruan-Arab.
Kakek Nadiem kerap menjadi penasihat delegasi bagi petinggi bangsa dalam sejumlah pertemuan atau perundingan. Mulai dari perundingan Renville hingga Konvensi Meja Bundar di Den Haag.

2. Lulusan luar negeri dari universitas ternama

IMS 2020: 7 Fakta Mendikbud Millennial Indonesia, Nadiem MakarimMenteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim meninjau langsung SDN Cirimekar 02, Bogor. (IDN Times/Margith Juita Damanik)
Nadiem menempuh sembilan tahun pertama pendidikannya di Indonesia. Dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama. Setelahnya ia melanjutkan Sekolah Menengah Atas di Singapura.
Nadiem melanjutkan pendidikan tingginya di Brown University jurusan Hubungan Internasional. Nadiem kemudian melanjutkan S2 ke Harvard University dan meraih gelar Master of Business Administration.
Usai mendapat gelar magisternya, Nadiem kembali ke tanah air dan bekerja di perusahaan konsultan bertaraf internasional, McKinsey & Company di Jakarta.

3. Dirikan bisnis berstatus Decacorn pertama di Indonesia


IMS 2020: 7 Fakta Mendikbud Millennial Indonesia, Nadiem Makariminstagram.com/nadiemmakarimofficial
Gojek menjadi salah satu perusahaan Decacorn pertama di Indonesia. Nadiem mendirikannya sejak masih berstatus start up pemula.
10 tahun beroperasi, bisnis yang menyediakan layanan transportasi, pengiriman makanan, hingga pembayaran yang melibatkan banyak transaksi keuangan ini telah menjadi super app yang paling banyak digemari di Indonesia.
Hubungan Nadiem dan Gojek terbilang awet. Hingga akhirnya Nadiem harus keluar dari zona nyamannya itu saat diminta menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 2019-2024.

4. Masuk dalam jajaran TIME 100 Next 2019 Leaders

IMS 2020: 7 Fakta Mendikbud Millennial Indonesia, Nadiem MakarimMenteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim (Dok.Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat (BKLM) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan)
Nama Nadiem masuk dalam Time 100 Next 2019 Leaders bersama sejumlah tokoh internasional lainnya. Beberapa di antaranya, Presiden Kosta Rika Carlos Alvarado Quesadda dan Menteri Lingkunga Hidup Jepang Shinjiro Koizumi.
Dalam keterangan di laman resmi Time 100 Next 2019, time.com/collection/time-100-next-2019, Nadiem dikenal sebagai mendikbud dan juga sebagai mantan pimpinan Gojek yang aplikasinya populer dengan pelayanan jasa, mulai dari antar jemput, pembayaran, hingga pemesanan makanan secara online.
Wakil Direktur Pusat Studi Strategis dan Internasional, Brian Harding menyebut, Nadiem sebagai sosok muda dan cerdas yang masuk dalam susunan Kabinet Indonesia Maju.
Posisi Nadiem sebagai Mendikbud, disebut dapat memberinya peluang untuk membentuk pemimpin masa depan. Terutama sebagai pemimpin ekonomi terbesar ke-16 di dunia

5. Diangkat sebagai Mendikbud, Jokowi sapa Nadiem dengan panggilan "Mas Menteri"

IMS 2020: 7 Fakta Mendikbud Millennial Indonesia, Nadiem MakarimMenteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim (Dok.Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat (BKLM) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan)
Nama Nadiem dibacakan Jokowi secara resmi sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudyaaan ketika jajaran menteri kabinet Indonesia Maju diperkenalkan di hadapan publik berlokasi di Istana Negara, Jakarta Pusat, pada Rabu (23/10) lalu.
Kala itu, Jokowi menyapa Nadiem dengan sebutan "Mas Menteri" lantaran Nadiem menjadi menteri paling muda dalam jajaran kabinet Indonesia Maju. Panggilan itu lantas melekat pada Nadiem hingga saat ini.

6. Satu-satunya menteri millennials Jokowi

IMS 2020: 7 Fakta Mendikbud Millennial Indonesia, Nadiem MakarimIDN Times/Teatrika Handiko Putri
Nadiem diangkat menjadi menteri ketika berusia 33 tahun. Usia ini membuat Nadiem masuk dalam kategori kelompok Millennials.
Menariknya, dalam jajaran kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin ini, tak sedikit sosok-sosok muda yang dipilih untuk mengabdi bersama untuk bangsa dan negara.
Tapi hanya Nadiem yang merupakan sosok dalam ketegori usia millennial di sana. Nadiem menggantikan posisi Muhadjir Effendy sebagai Mendikbud. Muhadjir sendiri diangkat Jokowi sebagai Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK).

7. Perkenalkan gerakan Merdeka Belajar sebelum genap 100 hari menjabat

IMS 2020: 7 Fakta Mendikbud Millennial Indonesia, Nadiem MakarimMendikbud Nadiem Anwar Makarim di sela Rapat Koordinasi dengan Dinas Pendidikan se-Indonesia (IDN Times/Margith Juita Damanik)
Mendikbud menetapkan empat program baru sebagai pembelajaran nasional yang disebut sebagai kebijakan Merdeka Belajar. Empat program ini disampaikan Nadiem dalam rapat koordinasi bersama Dinas Pendidikan se-Indonesia di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan pada Rabu (11/12) lalu.
"Program tersebut meliputi Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi," kata Nadiem menyebutkan empat program yang akan diterapkan.
Nadiem juga mengatakan program-program ini digunakan sebagai langkah awal terwujudnya kemerdekaan belajar di Indonesia.
Jika dalam momen-momen awal terpilihnya Nadiem kerap meminta waktu kepada masyarajat untuk dia belajar sebagai Mendikbud dalam 100 hari, kebijakan awal Nadiem ini dikeluarkan sebelum dia genap 100 hari menjabat sebagai Mendikbud.
Keren ya mendikbud kita?!
IDN Times menggelar Indonesia Millennial Summit 2020. Acara dengan tema "Shaping Indonesia's Future" ini berlangsung pada 17-18 Januari 2020 di The Tribrata, Dharmawangsa, Jakarta.
IMS 2020 menghadirkan lebih dari 60 pembicara kompeten di berbagai bidang, dari politik, ekonomi, bisnis, olahraga, budaya, lintas agama, sosial, lingkungan sampai kepemimpinan millennial.
Ajang millennial terbesar di Tanah Air ini dihadiri oleh lebih dari 4.000 pemimpin millennial. Dalam IMS 2020, IDN Times juga meluncurkan Indonesia Millennial Report 2020 yang melibatkan 5.500 responden di 11 kota di Indonesia. Survei yang dilakukan oleh IDN Research Institute bersama Nielsen bertujuan untuk memahami perilaku sekaligus menepis mitos stereotip di kalangan millennial.

Kamis, 21 November 2019

4 Prioritas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim


TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyampaikan empat prioritas kementeriannya. Empat hal ini disampaikan dalam rapat koordinasi bersama di Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Prioritas pertama, kata Nadiem, adalah pembelajaran anak. Ia akan mengecek apakah yang diberikan oleh kementerian terserap oleh para siswa. Ia menekankan hal tersebut diminta oleh Presiden Jokowi, agar hasil dan dampak dapat terpantau.

“Satu konsep yang sangat penting itu adalah studi badan-badan. Semua peraturan dan penggunaan dana kita harus dicek,” kata dia di kantor Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis 31 Oktober 2019.

Kedua, struktur kelembagaan. Nadiem mengatakan struktur kelembagaan baik internal maupun eksternal badan-badan akan mendukung tujuan pembelajaran. Struktur kelembagaan ini kata dia, bisa berdampak positif juga terhadap kualitas pembelajaran.

Ketiga, menggerakkan revolusi mental di masyarakat. Nadiem menyebut untuk menyukseskan program revolusi mental Presiden Jokowi, tidak dapat hanya dilakukan di sistem institusi pendidikan saja.

“Jadi pengembangan karakter itu bukan hanya dari kurikulum, bukan hanya pembelajaran dari guru tapi masyarakat secara luas. Itu yang akan kami kembangkan,” kata dia.

Keempat, pengembangan teknologi. Nadiem menyebut dalam hal ini banyak yang harus difokuskan. Fokus dari teknologi ini ia sebut bisa membantu guru, dalam menjalankan kegiatan pendidikan.
Ia menyebut ada paradigma yang keliru di masyarakat soal pengembangan teknologi ini. Menurutnya selama ini teknologi di ranah pendidikan banyak disalahpahami, diartikan akan mengganti peran guru dan menembus batas ruang kelas. Persepsi ini ia sebut sangat keliru.

“Teknologi itu untuk memperbaiki atau meng-enhance, meningkatkan kapasitas. Bukan untuk mengantikan,” ujar mantan CEO Go-Jek ini.

4 Usulan Pakar UPI kepada Nadiem dalam Membongkar Kurikulum

TEMPO.CO, Jakarta - Pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Ace Suryadi, memberi saran kepada Mendikbud Nadiem Makarim yang mendapat perintah Presiden Jokowi untuk merombak kurikulum secara besar-besaran.

Menurut Ace, kurikulum yang sekarang berlaku memang sudah waktunya diganti. Alasannya karena kurikulum ini lebih berbasis pada konten pelajaran teori ketimbang aplikasi atau terapan.

“Saya kira sudah waktunya sekarang,” kata guru besar dari Fakultas Ilmu Pendidikan UPI Bandung itu, Rabu, 6 November 2019.

Menurut Ace kurikulum sekolah sekarang ini lebih banyak memuat teori ilmu. Anak-anak diajari ilmu pengetahuan sejak kecil. “Padahal mereka tidak bakal jadi ilmuwan semua, paling yang jadi ilmuwan nggak sampai satu persen,” ujarnya.

Sebagian besar siswa akan terjun untuk bergaul dan bekerja di masyarakat. Karena itu perubahan kurikulum SD, SMP, SMA sebagai pendidikan dasar harus jadi prioritasAda beberapa prinsip yang harus diperhatikan Mendikbud,” kata Ace.

Kurikulum sekolah menurutnya tidak perlu diorganisir dalam mata pelajaran seperti sekarang. Ace mengatakan perlu kemasan baru kurikulum dalam bentuk program-program pendidikan. 

Program itu dibagi empat. Pertama program pendidikan literasi agar siswa berkemampuan belajar sepanjang hayat (lifelong learning skills). “Karena itu adalah tema sentral industri 4.0, setiap orang dituntut memilikinya.”

Program berkomposisi sekitar 25 persen dari kurilukum sekolah itu harus memuat kemampuan membaca agar siswa memahami isi bacaan dengan cepat dan tepat.’ Kemudian kemampuan menulis untuk mengungkapkan gagasan dan pendapat secara jelas, tegas, dan santun.
Lalu kemampuan menyimakserta mampu menuturkan secara lisan gagasan dan pendapat yang mudah difahami secara santun. “Satu lagi adalah matematika dasar, yaitu memahami logika angka, ruang dan bidang atau yang disebut numerasi.”

Program kedua yaitu pengetahuan dasar (basic learning content) yang kini dipelajari di SD hingga SMA. “Nantinya  pendidikan pengetahuan dasar perlu disampaikan secara tematik,” kata Ace. Tujuannya untuk mengenalkan dan menganalisis tema atau isu sosial di lingkungan sekitarnya. Porsi bagian program  kurikulum ini cukup 25 persen.

Program kurikulum ketiga yang berporsi 40 persen yaitu kecakapan terpakai (applied skills) atau sebelumnya disebut kecakapan hidup (life skills). Materinya berbasis kebutuhan daerah sehingga perlu dirancang kurikulumnya oleh pemerintah daerah. Sekolah juga perlu memfasilitasi minat siswa seperti berbisnis, olahraga, seni, teknologi informatika, dan menunya harus disiapkan.

Kemudian program kurikulum berporsi 10 persen untuk pendidikan perekat NKRI, misalnya pendidikan karakter bangsa, agama, PPKN, sejarah nasional, Bahasa Indonesia. 
Ace yakin Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bisa mengganti kurikulum seperti itu. “Karena beliau punya wewenang, kekuasaan dan pengalaman di bidang digital,” kata dia. Adapun aspek teknologi digital menurutnya adalah alat bukan isi dari kurikulum. Teknologi itu dapat diaplikasikan untuk pembelajaran semua isi program kurikulum. 





Mendikbud Nadiem Makarim Mulai Bahas Perubahan Kurikulum Pendidikan

JawaPos.com – Kurikulum pendidikan bisa jadi bakal berubah. Mendikbud Nadiem Makarim telah mengundang sejumlah organisasi guru ke kantornya. Dia ingin mendengar cerita dan solusi masalah pendidikan tanah air dari para guru. Dalam pertemuan pada 4 November itulah muncul wacana mengubah kurikulum.

Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia Muhammad Ramli Rahim ikut hadir dan berdiskusi dalam acara tersebut. Menurut dia, rencananya, bahasa Indonesia, matematika, bahasa Inggris, serta pendidikan karakter berbasis agama dan Pancasila menjadi mata pelajaran (mapel) utama di SD. ”Karena itu, mapel bahasa Inggris dihapus untuk SMP dan SMA. Karena sudah dituntaskan di SD,” katanya.

Pembelajaran bahasa Inggris yang dimaksud Mendikbud Nadiem, lanjut Ramli, lebih difokuskan untuk mengajarkan percakapan. Bukan tata bahasa. Kemudian, untuk SMP, tidak boleh lebih dari lima mapel yang diajarkan kepada siswa. Sedangkan di SMA maksimal ada enam mapel tanpa penjurusan. ”Siswa yang ingin fokus pada keahlian tertentu dipersilakan memilih SMK,” terang Ramli menirukan ucapan Nadiem.

Karena SMK fokus mengajarkan keahlian tertentu, muncul wacana untuk menggunakan sistem SKS (satuan kredit semester). Dengan begitu, siswa yang dianggap pintar dan lebih cepat menguasai keahlian tertentu bisa lulus setelah dua tahun saja menempuh pembelajaran (kegiatan belajar-mengajar) di sekolah. Sedangkan siswa yang lambat menyerap ilmu bisa sampai empat tahun untuk lulus.

Menurut Ramli, Nadiem bahkan mengusulkan agar ujian kelulusan SMK tidak hanya normatif. Lebih ke praktis untuk mengukur keterampilan dan keahlian siswa. ”SMK tidak boleh kalah dengan balai latihan kerja yang hanya 3, 6, atau 12 bulan,” ujarnya.
Sementara itu, Nadiem menyatakan hanya mengikuti arahan Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan dan mengelola sumber daya manusia Indonesia agar lebih maju. Menurut dia, mengubah kurikulum itu tidak hanya mengubah konten. Esensinya adalah menyederhanakan dan mengubah cara penyampaian materi kepada siswa untuk tidak sekadar menghafal.

”Dan itu adalah PR (pekerjaan rumah, Red) saya untuk bisa mengubahnya. Tapi, itu bukan sesuatu yang bisa diubah dalam waktu cepat. Dibutuhkan pemikiran yang sangat matang dan masukan dari para guru dan pihak lain. Jadi, penyempurnaan, penyederhanaan, dan perubahan kurikulum itu saya mengacu pada guru,” beber mantan CEO Gojek tersebut. Sebab, kata Nadiem, gurulah yang paling mengetahui apa yang dibutuhkan siswa-siswanya.
Menurut Nadiem, guru-guru era sekarang sudah canggih. Mampu menggunakan teknologi sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Dengan teknologi, guru bisa bebas memilih konten seperti apa yang cocok dengan materi pelajaran. Dengan begitu, banyak inovasi yang akan muncul.

”Namun, yang perlu diingat, teknologi tidak bisa menggantikan peran seorang guru. Sebab, pembelajaran yang sesungguhnya adalah adanya koneksi batin antara guru dan siswa. Teknologi adalah alat, bukan segalanya,” tutur dia.


Rabu, 13 November 2019

2019: MENJINAKKAN DUA DISRUPSI

Tahun 2019 dua disrupsi – disrupsi teknologi (tech disruption) dan disrupsi milenial (millennial disruption) – akan menemukan critical mass. Disrupsi teknologi memengaruhi pasar dari sisi penawaran (supply side); sementara disrupsi milenial dari sisi permintaan (demand side).
Dua disrupsi itu merupakan ancaman terbesar (di samping “trade war” AS vs Cina di tingkat global dan “Pemilu effect” di tingkat lokal) bagi setiap bisnis di tahun 2019. Tapi ingat, marketer/entrepreneur hebat selalu bisa membalik setiap ancaman (threat) menjadi peluang (opportunity) .
Karena itu tak bisa ditunda lagi, 2019 adalah tahun dimana marketers/entrepreneurs harus bisa menjinakkan disrupsi kembar tersebut. Mampu tidaknya Anda menjinakkan disrupsi kembar akan menentukan apakah Anda bisa mewujudkan pertumbuhan tinggi (bahkan eksponensial 10X) atau sebaliknya stagnan karena tak mampu menciptakan ruang pertumbuhan.
Saya akan memberikan berapa clue mengenai disrupsi kembar ini. Untuk minggu ini khusus mengenai disrupsi teknologi; sementara tulisan minggu depan mengulas disrupsi milenial.
Machine Learning in Retail Store
Perkembangan teknologi digital yang disruptif telah merevolusi sektor retail, khususnya e-commerce. Tak cukup hadir secara online, beberapa e-commerce kini juga membangun offline store dengan sentuhan teknologi artificial intelligence dan machine learning.

Amazon sebagai raja e-commerce global, melalui Amazon Go tahun lalu memperkenalkan konsep retail offline-nya yang sangat revolusioner dengan meniadakan kasir. Bahkan, mereka memberikan pelayanan pengiriman barang melalui drone.
Tak mau ketinggalan, JD.ID menawarkan experience yang sama dengan membuka JD.ID Xmart di PIK Avenue Mal Jakarta. Konsumen cukup melakukan transaksi melalui aplikasi yang tersedia.
Convenience Revolution
Selain e-commerce, tren offline store yang cashier-less kini diikuti oleh peritel konvensional lainnya. McD misalnya, beberapa gerainya kini dilengkapi dengan teknologi self-ordering kiosk yang memudahkan konsumen dalam melakukan pemesanan dan pembayaran produk di McD.

Teknologi layar sentuh akan mempercepat proses pemesanan serta mengurangi kesalahan pesanan. Dengan cashless payment, konsumen tak harus mengantri di konter order seperti restoran cepat saji pada umumnya.
Self Ordering Kiosk dengan layar sentuh ini dibuat user-friendly untuk memudahkan konsumen saat menggunakannya. Welcome convenience revolution!
Digital Payment Is Going Mainstream
Disrupsi digital juga melahirkan revolusi dalam hal pembayaran transaksi. Konsumen kini kian massif mengadopsi cashless lifestyle dengan melakukan pembayaran secara digital.

Hadirnya berbagai startup digital yang mengusung fintech, khususnya payment semakin massif. Sebut saja Go-Pay, Ovo, T-Cash hingga Dana berlomba-lomba mengakuisisi konsumen dengan beraneka promo diskon maupun cashback. Mereka saling berlomba untuk mengembangkan ekosistem sendiri dengan semboyan: move fast, dominate the market!!!
Go-Pay misalnya, kini tak hanya bisa digunakan untuk transaksi di dalam ekosistem layanan Gojek. Mereka sangat ekspansif dengan merambah UMKM khususnya kuliner dan pedagang-pedagang kecil, bahkan semua pembayaran. Ambisi mereka: “mengGoPaykan semua pembayaran”.
P2P Lending Euphoria
Selain payment, revolusi fintech juga menyentuh sektor lending dengan hadirnya berbagai layanan peer-to-peer (P2P) lending. Sebut saja Amartha, Investree, atau Koinworks.

Dengan fungsi yang hampir mirip dengan bank, fintech P2P lending memberikan layanan yang lebih mudah bagi konsumen untuk melakukan pinjaman secara online.
Namun sayangnya, banyak pemain “abal-abal” bermunculan yang menimbulkan ekses negatif dari isu pelanggaran privasi sampai bunga yang mencekik sehingga dianggap sebagai “rentenir online”.
Euforia P2P lending ini akan berlanjut dengan rasionalisasi industri dimana mereka yang tangguh akan tersisa, sementara yang abal-abal akan mati ditelan jaman.
The Birth of Lazy Economy
Hadirnya Gojek telah membuat konsumen semakin mendapat kemudahan dan kenyamanan lewat berbagai layanan yang ditawarkan.

Setelah sukses dengan layanan transportasinya, Gojek mengembangkan berbagai layanan on-demand yang semakin memudahkan konsumen. Go-Food, Go-Life, hingga Go-Daily menghadirkan layanan yang sangat memanjakan konsumen untuk pesan makanan, perawatan tubuh, membersihkan rumah, hingga pesan air galon.
Berbagai layanan ini menimbulkan fenomena yang disebut lazy economy dimana konsumen tidak perlu repot, cukup order ini-itu melalui apps.
O2O Revolution
Online to Offline (O2O) akan berkembang menjadi layanan omni-channel retailing dan dapat dijadikan sebagai solusi alternatif dalam memecahkan masalah logistik layanan e-commerce di Indonesia.

Saat ini adopsi O2O memang masih sangat terbatas di Indonesia, namun terus berkembang. Misalnya Tokopedia yang menggandeng Indomaret sebagai channel pembayaran cukup menjadi solusi bagi konsumen yang unbankable.
Demikian juga Bukalapak dengan program Mitra Bukalapak yang menggandeng warung-warung untuk layanan berbagai pembayaran tagihan.
IoT Attack!
Internet of Things (IoT) merupakan sebuah teknologi yang mampu mengubah perangkat menjadi sesuatu yang berharga, di antaranya untuk monitoring dan analisis. Beberapa tahun terakhir perkembangannya semakin massif, khususnya di Indonesia.

Xiaomi yang sebelumnya sangat perkasa dengan produk smartphone, kini mulai menggempur pasar Indonesia dengan produk-produk berbasis IoT. Produk-produk solusi untuk smarthome tersebut diantaranya adalah lampu, rice cooker, air purifier hingga vacuum cleaner yang bisa dikendalikan melalui smartphone.
Masuknya pemain-pemain Cina di ranah IoT ini akan berpengaruh terhadap kencangnya adopsi IoT di Indonesia baik dari sisi demand maupun supply. Dari sisi demand, konsumen akan kian teredukasi dan terbiasa. Dari sisi supply, pemain lain akan makin keras berkompetisi memperebutkan kue pasar produk barbasis IoT yang bakal menggeliat di Indonesia.

Apa Asosiasi Nadiem Dengan Dunia Pendidikan Kita?

Kita kini kaget dan bertanya-tanya. Saat Presiden Joko Widodo mengejawantahkan urusan pendidikan ke Nadiem Makarim di Kabinet Indonesia Maju. Sebagai mantan pendiri perusahaan penyedia layanan Gojek, ia tak ada sangkut pautnya dengan dunia pendidikan. Walau pernah mengenyam pendidikan di Harvard University, namun ia banyak berfokus pada bisnis.
Pengalaman membesarkan dan mengelola Gojek dan diversifikasi usahanya pun jauh dari kesan akademis. Jika banyak Mendikbud sebelumnya adalah akademisi dan peneliti. Penunjukkan Nadiem sebagai Mendikbud menjadi bisa jadi awan mendung untuk para penggelut pendidikan. Apalagi saat lembaga membawahi Riset kini dikembalikan ke dalam tubuh Kemendikbud.Melihat rumit dan kompleksnya dunia pendidikan Indonesia. Lalu apa asosiasi Nadiem dengan dunia pendidikan di Indonesia? Dalam 5 tahun ke depan, gebrakan apa yang mungkin akan Nadiem lakukan?
Setidaknya ada asosiasi signifikan yang bisa kita amati. Nadiem yang sukses membesarkan startup seperti Gojek memiliki latar bisnis dan teknologi yang mumpuni. Maka ranah pendidikan vokasi atau dunia kerja begitu erat kaitannya dengan Nadiem. Dalam dunia pendidikan, VET (Vocational Education and Training) bukan ranah yang baru.
Pendidikan vokasi yang dicanangkan Nawacita dengan Program Revitalisasi Vokasi belum signifikan berkembang. Walau program tahun 2016 ini sudah dibawah lima kementrian yaitu Kemenperin, Kemendikbud, Kemenristekdikti, Kemenaker, dan Kemen-BUMN.
Pendidikan VET masih tergagap dan terseok dalam pengembangannya. Lulusan SMK masih banyak menganggur daripada lulusan SMA. Di awal tahun 2018 lalu, Mentri BPPN Bambang Brodjonegoro menyayangkan angka penggangguran dari SMK yang cukup tinggi.
Dengan data BPS menunjukkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) SMK sebesar 11% di 2018. Persentase ini lebih tinggi dari SMA yang besarnya 7,95%. Ironisnya, jumlah SMK yang mencapai 14.000 dan masih terus ditambah. Belum mampu menjawab tantangan dunia kerja menurut Kemendikbud sebelumnya, Muhadjir Effendi.
Link and match antara SMK dan industri juga menjadi penyebab tertatihnya serapan tenaga kerja SMK. Walau menurut Kemenperin, ada lebih dari 4.000 perusahaan membuat MoU dengan SMK di tahun 2017.
Namun menurut Kemendikbud, banyak industri tidak akan menyerap 100% lulusan SMK. Hal ini karena dibutuhkan pre-service atau training lebih lanjut untuk lulusan SMK. Menteri BPPN waktu itu menekankan perlunya industri turut serta dari awal sampai akhir pendidikan vokasi di SMK. Dengan kata lain tidak menerima begitu saja tenaga kerja SMK di akhir pendidikan mereka.
Pendidikan vokasi telah menjadi fokus di Uni Eropa sejak 2005. Dengan peningkatan kerja tingkat lanjut vokasi (Continuing Vocational Training) cukup signifikan. CVT ini adalah upaya perusahaan melatih dan memberikan pelatihan lanjut bagi pekerjanya yang berbasis pendidikan VET.  Sebagai contoh signifikan, hampir semua perusahaan (90,4%) di Norwegia menyediakan CVT bagi pekerjanya. Di Australia sejak 2007 sampai 2016, para lulusan yang telah bekerja merasa puas (78%) atas skill vokasi yang mereka pelajari.
Nadiem pun dihadapkan pada peliknya latar profesi dan cita-cita Nawacita, yaitu revitalisasi pendidikan vokasi. Padahal, isu pendidikan Indonesia bukan hanya vokasi. Masih ada kesejahteraan guru honorer, infrastruktur dan akses pendidikan daerah 3T.
Kurikulum nasional yang masih begitu tentatif dan non-solutif. Belum lagi ditambah beban ranah penelitian dan pengembangan Indonesia yang begitu kompleks. Menjawab semua tantangan ini dengan kecakapan membesarkan perusahaan teknologi belum tentu menjawab tantangan tersebut.
Kemudian asosiasi lain berhubung dengan kecakapan digital Nadiem. Dengan pemikiran ala ’Silicon Valley’ yang diasah via pengembangan aplikasi dan layanan dalam Gojek. Teknologi menjadi fokus kedua penguatan pendidikan vokasi.
Menjawab disrupsi 4.0 dunia pendidikan, dibutuhkan mindset move fast and break stuff ala pembuat perusahaan rintisan. Nadiem baiknya bisa membawa angin segar dalam konstelasi birokratif yang dianggap konservatif dan formil. Apalagi, Nadiem termasuk menteri muda dalam jajaran Kabinet Indonesia Maju.
Kecakapan digital adalah solusi ironis pendidikan. Pada satu sisi, literasi digital mampu meningkatkan life skill peserta didik. Guru yang melek literasi digital dan mampu beradaptasi dengan tantangan digital.
Akan menjadi pendidik yang menjadi role model peserta didik atau siswanya. Namun di sisi lain, kecakapan ini justru mampu di asah di luar sekolah. Google memfasilitasi belajar generasi one-click saat ini. Satu generasi yang terbiasa mencari informasi, mempelajari kecakapan, dan bebas beropini cukup dengan menekan satu/dua klik.
Literasi digital bukan hal baru juga di Indonesia. Setidaknya beberapa tahun ke belakang, literasi digital menjadi buzzword. Namun, dengan kepemimpinan Menteri yang berasal dari baby boomers atau digital immigrant.
Ada kesungkanan dan pesimisme yang tersirat dari publik. Saat pendekatan konservatif pendidikan menjawab tantangan digital dengan memperkuat dan mengadaptasi program yang sudah ada. Nadiem menjadi sosok pembawa optimisme karena dia berasal dari digital natives. Dan tentunya, program di dunia industri yang tidak cukup hanya inovatif, namun disruptif dalam nuansa yang positif.
Menggabungkan wawasan dunia digital dengan pengalaman dunia industri digital menjadi keunggulan Nadiem. Publik pun optimis jika ada kemampuan vokasi yang tepat dengan tuntutan dunia kerja. Dengan dunia yang dikuasai vendor teknologi The Big Five (Alphabet, Apple, Amazon, Facebook, dan Microsoft). Nadiem sudah memiliki wawasan yang cukup tentang bagaimana menjawab dunia kerja dibawah kuasa The Big Five. Dalam hal ini, mengubah mindset, skill, dan tuntutan dunia kerja di era disrupsi ini.
Kedua paduan asosiasi ini menjadikan Nadiem, Mendikbud rasa digital natives. Nadiem sebagai generasi Millenials setidaknya paham kebutuhan digital natives ke depan. Tantangan digital natives tidak saja menghadapi persaingan dunia kerja lokal dan regional, tapi juga secara global.
Gig economy yang menjamin profesi yang bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja belum ada disentuh dalam pendidikan kita. Ancaman digital workforce yang menggantikan pekerja analog pun tidak dapat dielakkan. Saat ini New Zealand sudah menguji coba dan mengembangkan guru berbasis AI untuk mengajarkan siswa SD.
Nadiem kini patut menjawab tantangan vokasi sekaligus tuntutan ekonomi digital di Indonesia. Ibarat peribahasa sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Nadiem memiliki daya dayung dua tiga pulau tersebut.
Namun tidak dengan perahu yang akan digunakan. Perahu ini adalah Kementerian lain yang berkolaborasi dalam mengembangkan pendidikan dari hulu ke hilir. Namun, membangun perahu bersama ini akan tersangkut dengan ego sektoral. Nadiem pun harus bisa menyatukan banyak ego membangun sekocinya sendiri dari tiap Kementrian. Akankah ia mampu?

NADIEM DAN DISRUPSI PENDIDIKAN KITA

Prof. Clayton Christensen, pencipta teori disrupsi, pada tahun 2014 memberikan prediksi yang membuat dunia tercengang: “50% dari seluruh universitas di AS akan bangkrut dalam 10-15 tahun ke depan.” Penyebabnya, karena universitas-universitas itu terdisrupsi oleh beragam terobosan inovasi seperti online learning dan MOOCs (Massive Online Open Courses).
Prof. Christensen bukan satu-satunya yang bicara betapa mencemaskannya gonjang-ganjing disrupsi yang menerpa dunia pendidikan kita:
  • 65% anak-anak kita yang kini memulai sekolah nantinya bakal mendapatkan pekerjaan-pekerjaan yang saat ini belum ada.
  • 75 juta (42%) pekerjaan manusia akan digantikan oleh robot dan artificial intelligence pada tahun 2022 (World Economic Forum, 2018).
  • 60% universitas di seluruh dunia akan menggunakan teknologi virtual reality (VR) pada tahun 2021 untuk menghasilkan lingkungan pembelajaran yang imersif (Gartner, 2018).
Peringatan pakar dan lembaga think tank global tersebut menjadi wake-up call bagi stakeholders pendidikan kita. Bahwa kalau dunia pendidikan dikelola dengan cara-cara yang BAU (business as usual) pada akhirnya akan menjadi obsolet, tak relevan, dan akhirnya melapuk.
Celakanya, pendidikan adalah salah-satu institusi yang dikenal paling sulit berubah menghadapi terpaan disrupsi. Tak heran, jika kondisi dan metode pembelajaran hari ini tak jauh berbeda dengan kondisi seabad yang lampau.
Menjadi sangat mencemaskan ketika kita menghadapi kenyataan bahwa dunia pendidikan kita diterpa tiga gelombang disrupsi yang membuat sistem yang bertahun-tahun dibangun menjadi usang dan tidak relevan lagi.
Disrupsi Milenial
Dari sisi anak didik, disrupsi datang dari kaum milenial (dan neo-milenial atau generasi Z) yang perilaku belajarnya berbeda sama sekali dengan generasi sebelumnya. Perubahan perilaku ini menuntut perubahan radikal dalam pendekatan pendidikan kita.

Anak didik milenial adalah generasi yang highly-mobileapps-dependent, dan selalu terhubung secara online (“always connected”). Mereka begitu cepat menerima dan berbagi informasi melalui jejaring sosial. Mereka adalah self-learner yang selalu mencari sendiri pengetahuan yang mereka butuhkan melalui YouTube atau Khan Academy. Mereka menolak digurui.
Mereka adalah generasi yang sangat melek visual (visually-literate), oleh karena itu lebih menyukai belajar secara visual (melalui video di YouTube, online games, bahkan menggunakan augmented reality) ketimbang melalui teks (membaca buku) atau mendengar ceramah guru di kelas.
Mereka juga sangat melek data (data-literate) sehingga piawai berselancar di Google mengulik, memproses, mengurasi, dan menganalisis informasi ketimbang pasif berkubang di perpustakaan. Itu dilakukan dengan super-cepat melalui 3M: multi-media, multi-platform, dan multi-tasking.
Dan mereka lebih nyaman belajar secara kolaboratif di dalam proyek riil atau pendekatan peer-to-peer melalui komunitas atau jejaring sosial (menggunakan social learning platform). Bagi mereka peers lebih kredibel ketimbang guru. Dan ingat, mereka lebih suka menggunakan interactive gaming (gamifikasi) untuk belajar, ketimbang suntuk mengerjakan PR.
Disrupsi Teknologi
Teknologi pendidikan juga telah berkembang secara eksponensial sehingga berpotensi mendisrupsi sekolah tradisional.

Berbagai inovasi disruptif di sektor pendidikan seperti MOOC, open educational resources (OER), situs tutorial online seperti RuangGuru atau Khan Academy, social learning platform, personalized/customized learning, professional learning network (PLN), hingga massively multi-player online (MMO) learning games kini sedang antri untuk mencapai titik critical mass. Begitu itu terjadi, kita akan mendapatkan pendekatan pembelajaran baru yang lebih terbuka, kolaboratif, personal, ekperensial, dan sosial.
Dengan beragam inovasi tersebut barangkali ruang kelas kurang diperlukan lagi. Guru akan berubah peran secara drastis sebagai mentor, motivator, dan model. Dan yang jelas akan tersedia begitu banyak learning channel dan sekolah tak lagi bisa memonopoli proses pembelajaran.
Sebagai wahana pembelajaran, sekolah tradisional akan tergeser dari posisi “core” menjadi “peripheral”. Proses pembelajaran tak melulu di kelas tapi bisa dilakukan anytime, anywhere, any platform/device. Guru juga tak hanya yang ada di kelas tapi bisa dari manapun termasuk “guru” yang diperankan oleh AI atau AR/VR.
Disrupsi Kompetensi
Teknologi 4.0 menghasilkan kompetensi (skill-set) baru sekaligus mendisrupsi kompetensi lama yang tak relevan lagi karena tergantikan oleh robot dan AI. Tak hanya pekerjaan-pekerjaan yang bersifat repetitif, pekerjaan-pekerjaan analitis dari beragam profesi seperti dokter, pengacara, analis keuangan, konsultan pajak, wartawan, akuntan, hingga penerjemah.

The fourth industrial revolution seems to be creating fewer jobs in new industries than previous revolutions,” ujar Klaus Schwab pendiri World Economic Forum dan penulis The Fourth Industrial Revolutions (2016).
Dengan kemajuan teknologi machine learning, AI, big data analytics, IoT, AR/VR, hingga 3D printing, maka pekerjaan akan bergeser dari manual occupations dan routine/repetitive jobs ke cognitive/creative jobs. Dan nantinya kesuksesan ditentukan oleh kemampuan kolaborasi “human+robot”.
Itu dari sisi hard skill. Untuk soft skill, Tony Wagner (2008) merumuskan “Seven Survival Skills for 21st Century” yaitu: critical thinking and probelm solving; collaboration across network; agility and adaptability; Initiative and entrepreneurship; Accessing and analysing information; effective communication; curiosity and imagination.
Celakanya, tujuh skill-set itu minim diajarkan di sekolah-sekolah kita saat ini. Karena itu sekolah-sekolah kita harus meredefinisi kurikulumnya dengan mengakomodasi skill-set baru tersebut.
Nadiem
Tiga disrupsi di atas membutuhkan terobosan kreatif dan pendekatan baru yang tidak BAU. Paradigma baru yang melahirkan tiga disrupsi tersebut membutuhkan pendekatan baru yang fresh dan bervisi jauh ke depan. Pendekatan lama dari orang-orang lama yang puritan dan resisten hanya akan membuat ekosistem pendidikan kita kian terpuruk dan melapuk.

Dunia pendidikan kita membutuhkan sosok muda (milenial) yang memiliki default pemikiran yang fit dengan logika zaman baru yang akan kita masuki. Dalam konteks inilah pengangkatan Nadiem Makarim sebagai Mendikbud menemukan substansi dan urgensinya.
Dunia pendidikan yang terimbas gelombang besar disrupsi membutuhkan pemimpin disruptif (disruptive leader) yang mumpuni. Dan seperti telah dibuktikannya di Go-Jek yang menghadapi challenges yang sama, peran ini seharusnya mampu dimainkan oleh seorang Nadiem. Setidaknya dalam setahun kepemimpinannya, Nadiem harus melakukan tiga terobosan kunci.
Pertama, ia harus bisa menemukan “end destination” yang menunjukkan ke arah mana sektor pendidikan kita akan dibawa di tengah pusaran disrupsi. Persis seperti ketika ia mampu menavigasi Go-Jek menjadi mega-platform dengan multi-layanan.
Kedua, ia harus bisa menanggalkan (unlearn) paradigma lama Kementerian dan melumerkan (unfreeze) budaya kerja lama yang terlanjur mengeras puluhan tahun agar lincah bertransformasi. Ini adalah pekerjaan tersulit di tengah birokrasi Kementerian yang terlanjur gemuk, lambat, kronis.
Ketiga, dengan cepat menghasilkan creative solution untuk memecahkan persoalan-persoalan kekinian pendidikan kita. Kita menunggu terobosan-terobosannya di Go-Jek dengan segudang cretive solution dari Go-Ride, Go-Car, Go-Send, Go-Food, hingga Go-Pay bisa terulang untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan kita.
Banyak tantangan lama pembangunan pendidikan yang telah bertahun-tahun tak kunjung bisa dituntaskan seperti: pemerataan pendidikan di seluruh pelosok Nusantara, tingginya angka putus sekolah, kesenjangan dunia pendidikan dan dunia kerja, hingga yang paling “jadul” pemberantasan buta huruf di pedesaan.
Namun jangan lupa, tantangan pendidikan ke depan seperti saya gambarkan dengan tiga gelombang disrupsi di atas tak kalah urgennya untuk disolusikan. Gagal paham dan kekeliruan dalam merespons tantangan pendidikan masa depan akan dibayar mahal oleh bangsa ini: alih-alih menjadi negara maju, Indonesia justru bakal terjebak ke dalam “middle-income trap” bahkan tergelincir kembali menjadi negara miskin.
Dan rupanya Jokowi jeli melihat persoalan pendidikan kita dari perspektif tantangan masa depan… dengan mengangkat Nadiem.

Sumber foto: Sindonews