Minggu, 16 November 2014

EVALUASI KURIKULUM 2013

JAKARTA - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan akhirnya bersikap terbuka terhadap Kurikulum 2013 (K-13). Dia segera mengevaluasi implementasi K-13 dengan mengumpulkan masukan dari masyarakat.
Meskipun begitu, belum ada tanda-tanda ia akan mengubah kurikulum anyar itu secara total.

Sejak awal Anies mengatakan, pada prinsipnya dia menyukuri perkembangan dan program-program pendidikan yang dirancang Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. "Tetapi jika ada yang kurang, harus kita perbaiki," katanya di Jakarta kemarin.

Terkait dengan program K-13, mantan rektor Universitas Paramadina itu berencana melakukan evaluasi. Dia menjelaskan evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan implementasi kurikulum yang sudah berjalan dua tahun itu.

Selain itu Anies mengatakan, akan mengundang semua elemen masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. "Kami akan menggali masukan-masukan dari semua pihak. Ada para praktisi dan pengamat pendidikan," katanya.

Menteri kelahiran Kuningan, Jawa Barat itu mengatakan, evaluasi K-13 sangat penting. Diantaranya adalah untuk melihat secara serius implementasi selama ini. Titik utama evaluasi ini bukan semata mengukur kuantitas atau jangkauan implementasi.
Lebih dari itu juga melihat kualitas dan intensitas implementasi konten kurikulumnya.

Tokoh penggagas program Indonesia Mengajar itu mengatakan, implementasi kurikulum tidak hanya urusan pemerintah saja. Tetapi juga menuntut keterlibatan banyak pihak.

"Dalam menjalankan evaluasi ini, kita ingin melihat implementasi kurikulum secara jernih," papar dia. Sehingga bisa segera diputuskan solusi terkait permasalah implementasi yang ada. Seperti urusan penyebaran buku yang belum beres dan sejenisnya.

Anies mengatakan Kemendikbud tidak akan memperjuangkan ego untuk nekad menjalankan terus implementasi K-13 tanpa evaluasi. Menurutnya, kurikulum merupakan urusan negara karena menyangkut masa depan anak-anak Indonesia.
"Saat evaluasi nanti, lepaskan semua kepentingan. Kepentingan utama harus masa depan anak-anak," pungkasnya.

Dari aspek penganggaran di APBN 2015, potensi terjadi revisi K-13 tahun depan sangat sulit. Sebab saat rancangan APBN 2015 disusun oleh kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, nama mata anggarannya sudah "dikunci".
Mata anggaran itu sudah diberi nama kegiatan memantapkan implementasi K-13 di tahun anggaran 2015 sekitar Rp 1,3 triliun.

Irjen Kemendikbud Haryono Umar mengatakan, urusan anggaran K-13 ini sama dengan anggaran BSM yang berubah nama menjadi KIP. Haryono mengatakan harus ada revisi nomenklatur anggaran, jika pemerintah saat ini memaksakan ada agenda baru. "BSM dan kurikulum ini sama. Kalau mau diubah harus ada revisi nomenklatur," paparnya.

Pada 2015 nanti, anggaran kurikulum di Kemendikbud difokuskan untuk menuntaskan implementasi K-13. Tahun depan, siswa di kelas III dan VI SD, III SMP dan SMA mulai merasakan kurikulum baru. Sedangkan tahun ini, K-13 diterapkan untuk anak kelas I, II, IV, dan V SD, serta siswa kelas I-II SMP dan SMA.

Pengamat pendidikan Mohammad Abduhzen mengatakan, sikap Mendikbud Anies yang terbuka akan mengevaluasi K-13 patut disambut positif. Mumpung anggaran 2015 belum terpakai, sebaiknya K-13 dievaluasi dulu.

Abduhzen memberikan masukan, selama proses evaluasi ini, harus disiapkan blue print (cetak biru) arah pendidikan Kabine Kerja. "Cetak biru itu harus disesuaikan dengan semangat yang diusung Presiden Joko Widodo," katanya.

Diantaranya terkait dengan karakter mandiri, revolusi mental, dan penguatan maritim. Menurut Abduhzen, K-13 belum menjangkau gagasan-gagasan Jokowi itu.
Sehingga wajar-wajar saja jika selama era Presiden Jokowi bakal ada revisi kurikulum. "Saya tidak tahu pastinya kapan revisi itu. Tetapi pasti akan ada perbaikan," paparnya. (wan)

Jumat, 14 November 2014

Kurikulum 2013 Tak Sesuai Visi Misi Jokowi


JAKARTA - Implementasi kurikulum 2013 akan mengalami hambatan baru. Pasalnya, acuan terbaru pendidikan Indonesia itu tidak sesuai dengan visi misi Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam bidang pendidikan, Jokowi memiliki setidaknya empat visi misi penting. Pertama, pelaksanaan wajib belajar 12 tahun; kedua, pengadaan program Kartu Indonesia Pintar (KIP); ketiga, penyesuaian kurikulum; dan keempat, menghapus model keseragaman, termasuk Ujian Nasional (UN).
Salah satu visi misi yang dikritisi oleh Pengamat Pendidikan Dharmaningtyas ialah penyesuaian kurikulum. Pendapat tersebut disampaikan oleh Tyas dalam diskusi bertajuk Akses Pendidikan Berkualitas untuk Semua besutan Network for Education Watch (NEW) atau Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI).
"Jokowi mau kurikulum memberikan keseimbangan antara aspek lokal dan nasional. Maka kurikulum 2013 tidak cocok karena terlalu sentralistik, yang pas adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sehingga daerah punya wewenang dan kreasi lebih besar untuk mengembangkan aspek lokal," ujar Tyas di Hotel Mega Matraman, Matraman, Jakarta Pusat, Sabtu (8/11/2014).
Menurut Tyas, kurikulum 2013 tidak dapat diterapkan di daerah terpencil. Hanya sekolah di pusat kota serta siap secara sarana dan prasarana maupun sumber daya manusia, dalam hal ini kualitas dan kuantitas guru, yang bisa menerapkan kurikulum baru tersebut.
"Kurikulum 2013 cocok untuk di Jakarta tapi yang di Papua akan semakin ketinggalan. Sekolah yang sudah siap silakan pakai Kurikulum 2013, kalau belum siap pakai saja KTSP. Dan kalau Kurikulum 2013 mau diterapkan secara nasional, harus ada penambahan konsep," tuturnya.
Tyas berpendapat, melihat keragaman di Indonesia, maka tidak salah jika memiliki kurikulum lebih dari satu. Dia menyarankan, setiap sekolah hendaknya memiliki kebebasan untuk menentukan jenis kurikulum yang sesuai dengan kondisi masing-masing.
"Sekolah dapat memilih kurikulum yang paling pas dengan kondisi sekolah. Sebagai negara yang beragam dan luas, seperti Indonesia tidak dosa bila mempunyai kurikulum lebih dari satu dan model evaluasi yang beragam pula," urai Tyas.

Gagas "Gerakan Hormati Gurumu", Anies Siapkan Sejumlah Keistimewaan untuk Guru


JAKARTA, KOMPAS.com – Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan mengatakan, salah satu prioritasnya adalah mengembalikan marwah guru. Gerakan penghormatan terhadap guru, kata Anies, harus dilakukan dari segala lini dan tak hanya sekadar seremoni atau pun dalam bentuk materi.

“Bulan ini saya akan launching Gerakan Hormati Gurumu. Banyak yang harus dilakukan. Saya ingin buat gerakan untuk guru, tidak hanya sebagai program,” ujar Anies, dalam wawancara dengan Kompas dan Kompas.com, di kediamannya di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Selasa (11/11/2014).

Anies mengusulkan agar bentuk penghormatan guru dilakukan dalam banyak hal yang melibatkan masyarakat dalam cakupan besar. Saat ini, kata Anies, ia tengah mengupayakan program diskon toko buku bagi guru hingga prioritas boarding naik ke pesawat terbang. Meski sederhanaan, keistimewaan ini dinilai akan menumbuhkan kesadaran bagi banyak orang bahwa mereka tidak bisa lepas dari peran guru. 

“Apa susahnya sih kasih diskon untuk guru untuk semua urusan. Datang ke toko buku, datang ke toko apa pun dapat keringanan. Kalau guru mau terbang, izinkan dulu guru boarding. Saya mau ngomong ke CEO airline, biar semua orang di tempat itu sadar bahwa saya bisa duduk di tempat itu karena guru,” papar penggagas Gerakan Indonesia Mengajar itu.

“Jadi menghormati guru tidak hanya sekadar menaikkan revenue, diupacarakan, tapi gerakan seluruh rakyat, yuk kita ramai-ramai. Maka dari itu, sifatnya jangan uang,” katanya.

Dengan membudayakan penghormatan terhadap guru mulai dari hal-hal kecil itu, Anies menilai suasana belajar pun akan berubah. Sementara, peran negara dalam gerakan ini, kata Anies, tetap sebagai pemberi fasilitas dan pendorong gerakan masyarakat.

“Bagian kami kasih insentif pajak, tapi yang bergerak di depan ya seluruh rakyat. Ini memungkinkan karena ada kemajuan teknologi dan memungkinkan bahwa ada lapisan menengah baru di Indonesia. Kalau dulu enggak bisa karena semua miskin, karena itu hanya negara yang bisa melakukan,” kata Anies.

Anies Ajak Semua Orang Temui Guru pada 25 November

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan mengajak semua orang untuk mendatangi para guru mereka pada peringatan Hari Guru 25 November. Peringatan Hari Guru akan dijadikan awal membawa pendidikan sebagai gerakan bersama.
Pada Hari Guru, Anies mengajak semua pihak untuk mengunjungi guru yang pernah mengajari masing-masing orang. Ia mengungkapkan rencana itu pada acara internal di kementeriannya.
"Kapan terakhir kali kita mengunjungi Guru SD, lama sekali mungkin. Penghormatan pada guru harus mulai kita lakukan saat ini," ucap Anies seperti dikutip Antara, Kamis (13/11/2014).
Anies mencontohkan hal tersebut dengan mendatangi Guru SD dan SMP yang pernah mengajarnya pada Minggu lalu di Yogyakarta. Ia mendatangi SD Percobaan 2 dan SMP Negeri 5 Yogyakarta untuk menemui guru dan mengucapkan terima kasih kepada mereka.
"Di tiap karya kita ada jejak nyata pendidikan yang diberikan oleh bapak ibu sekalian," ujar Anies saat menemui guru-guru SD-nya Minggu lalu.
Ia mengatakan, semua harus menghormati jasa guru dan tidak memandang mereka sebelah mata karena merekalah orang bisa menjadikan kita seperti saat ini.

Ini Kata Anies Baswedan soal Beda Kartu Indonesia Pintar dan Beasiswa Siswa Miskin

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Pendidikan Dasar, Menengah, dan Kebudayaan, Anies Baswedan, menegaskan bahwa Kartu Indonesia Pintar bukan semata pergantian nama dari Beasiswa Siswa Miskin.

Namun, kata Anies, anggaran KIP untuk sementara akan sama dengan anggaran yang sudah dialokasikan untuk program bantuan BSM. Menurut dia, pemerintah sekarang tengah melakukan pemutakhiran data untuk KIP.

"Saya harap begitu (data sudah lengkap sebelum APBNP 2015)," kata Anies kepada wartawan di Kantor Kementerian Keuangan, Jumat (7/11/2014). Dia pun lalu memaparkan beda antara KIP dan BSM.

Menurut Anies, ada perbedaan mendasar dalam konsep KIP dengan BSM. Bila BSM hanya menyasar siswa miskin berdasarkan data dari sekolah, papar dia, maka KIP menjangkau semua anak usia sekolah dari keluarga miskin.

Data baru untuk KIP akan berdasarkan jumlah rumah tangga miskin yang memiliki anak usia sekolah. "Karena (KIP) bukan hanya (untuk yang berstatus) siswa," ujar Anies. "KIP itu tujuannya agar anak yang sudah keluar sekolah bisa kembali ke sekolah atau menggunakan dananya untuk ikut pelatihan seperti di BLK atau kursus-kursus sehingga mereka bisa mendapatkan pekerjaan."

"Jadi bukan namanya saja tapi konsepnya juga berubah," tegas Anies. Menurut dia, untuk dua bulan terakhir pada 2014 ini penyaluran alokasi dana KIP masih mengacu pada data dan anggaran BSM.

Sejumlah menteri dalam Kabinet Kerja menggelar rapat di Kementerian Keuangan pada Jumat malam. Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas.com, agenda rapat itu mencakup evaluasi serapan APBN 2014, persiapan RAPBN 2014, dan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN).

Beberapa menteri yang terlihat hadir di Kementerian Keuangan ini, selain Anies adalah Menteri Koperasi dan UKM Puspayoga, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri ESDM Sudirman Said, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menristek dan Pendidikan Tinggi M Nasir, serta Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto.

Menunggu Gebrakan Pendidikan

KOMPAS.com - Setelah menunggu lama, publik tetap saja tidak menemukan satu pernyataan yang kuat tentang gebrakan yang akan dilakukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan untuk mendongkrak kualitas pendidikan. Padahal, gebrakan banyak menteri lain luar biasa.
Revolusi mental yang digagas Presiden Joko Widodo sesungguhnya adalah sebuah gerakan ke dalam, yaitu perbaikan sikap diri sebagai individu, dan perbaikan evaluasi diri sistem yang sudah rusak karena korup, tidak adil, dan malah bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Satu-satunya individu yang sekaligus mewakili sistem pendidikan nasional sekarang adalah Anies. Sungguh mengherankan mengapa Anies malah ragu bertindak?
Jika Anies ragu-ragu, arah pendidikan nasional ke depan akan semakin runyam dan tidak jelas. Padahal, posisi Anies sangatlah strategis dalam mengaktualisasikan revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi.
Persoalan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, apabila kita petakan, sudah jelas merujuk pada lima pokok persoalan yang sering dikaji para praktisi, akademisi, dan pemerhati pendidikan. Lima tema itu adalah ujian nasional, Kurikulum 2013, lunturnya nilai-nilai keragaman dalam pendidikan, kekerasan dalam pendidikan, dan korupsi pendidikan.
Apabila mau melakukan revolusi mental, sebagai awal, Anies bisa memilih salah satu dari lima prioritas persoalan ini.
Ujian nasional
Ujian nasional (UN) jelas sebuah kebijakan yang akan berat disentuh Anies sebab di sana ada Jusuf Kalla sebagai penggagas UN. Namun, persoalan ini sebenarnya jelas ditilik dari sudut pandang moral. Sebuah kebijakan yang telah terbukti tidak meningkatkan kualitas pendidikan nasional tidak pantas untuk dilanjutkan.
Masalahnya adalah kita sering mencampurkan pilihan politis dengan pilihan moral. Jika Anies memilih pilihan politis, artinya dia akan tunduk kepada Jusuf Kalla sebagai penggagas UN. Ini berarti membiarkan bangsa ini semakin terpuruk kualitas pendidikannya, bahkan di tingkat internasional. Jika berani mengambil pilihan moral, ia akan segera menghentikan ujian nasional sebagai syarat kelulusan, melakukan moratorium UN (bukankah sebelum menjadi menteri, Anies juga menyuarakan moratorium UN?) dan untuk sementara, menyerahkan penilaian kelulusan kepada guru dan sekolah.
Untuk proses seleksi ke perguruan tinggi, Anies perlu kerja sama dengan perguruan tinggi agar dihasilkan sistem seleksi yang sifatnya meritokratis, adil, independen, dan terbuka bagi semua. Sistem seleksi jalur undangan yang sering jadi sumber manipulasi nilai perlu dihentikan, digantikan dengan seleksi jalur mandiri yang sungguh independen dan tidak diskriminatif pada penyandang disabilitas.
Kurikulum 2013
Banyak kajian tentang Kurikulum 2013 menunjukkan bahwa kurikulum ini tidak pantas diteruskan. Bagaimana solusinya? Apakah upaya berbiaya triliunan rupiah tersebut akan dibiarkan sia-sia?
Pilihan politis atas hal ini tidak mudah. Namun, pilihan moral bisa menjadi alternatifnya. Adalah semakin mencederai keadilan dan melanggar prinsip moral apabila kita tahu sebuah program yang jelas-jelas buruk tetap kita biayai dengan biaya negara. Sudah hilang uang banyak, hasil pun tidak ada.
Solusi praktisnya adalah kembali saja dulu ke KTSP 2006, yang sudah ada buku yang tersedia. Untuk itu, Anies hanya perlu membatalkan berbagai macam peraturan yang mengatur Kurikulum 2013 serta mengevaluasinya untuk mencari yang perlu dihilangkan dan yang perlu dilanjutkan. Konsep pedagogis, landasan filosofis, dan sistem penilaian yang tidak relevan bisa dihilangkan, sedangkan kebutuhan pelatihan guru diteruskan.
Lunturnya nilai-nilai keragaman dan kebangsaan semakin nyata kita saksikan bahwa sekolah-sekolah negeri yang mestinya menyemai benih-benih keragaman kini mengutamakan kultur agama mayoritas. Kecenderungan intoleransi antaragama meningkat dan ironisnya ini justru disemai dalam lembaga pendidikan.
Di Jakarta, ada siswa dari kelompok agama tertentu yang tak boleh merayakan hari besar agama di lingkungan sekolah. Yang lebih memprihatinkan adalah mulai masuknya kelompok radikal teroris yang menunggangi paham agama untuk merekrut anak-anak sekolah sebagai pelaku teror, pembuat bom.
Situasi ini semakin menjadi-jadi dengan munculnya politisasi yang menyegregasi beragam kebijakan sekolah. Para guru yang memiliki afiliasi politik tertentu berusaha menanamkan paham-pahamnya dalam praktik pendidikan di sekolah. Jika sekolah sudah disesaki dengan para politisi yang mau menanamkan ideologinya, fungsi pendidikan sebagai proses pembentukan watak hilang karena yang terjadi adalah indoktrinasi dan matinya berpikir kritis.
Matinya kemampuan berpikir kritis akan membuat para siswa mudah dimobilisasi untuk melakukan tindak kekerasan, bahkan atas nama agama.
Lunturnya nilai-nilai keragaman ini hanya bisa dihentikan dengan cara bersinergi antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri. Politisasi pendidikan yang melahirkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif terjadi karena otonomi daerah sehingga banyak peraturan daerah pendidikan yang melanggar nilai-nilai Pancasila.
Di antaranya fokus pada pengembangan keagamaan sempit dan mengutamakan ritual dan simbol. Ini yang perlu diselesaikan dengan membangun kerja sama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama sehingga tidak ada peraturan dari Kementerian Agama yang bertentangan dengan kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, apalagi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Lunturnya keragaman ini, apabila tak diselesaikan, akan menjadikan pendidikan sebagai tempat berebut pengaruh dan kuasa dalam memperjuangkan ideologi sektarian politisi dan teroris yang memanfaatkan kelemahan kebijakan pendidikan.
Kekerasan
Kekerasan dalam pendidikan sudah berada pada tingkat darurat. Banyak siswa meninggal karena kegiatan sekolah yang tidak terpantau dengan baik. Perundungan (bullying) dalam lembaga pendidikan dan tawuran pelajar sampai sekarang tidak pernah kita garap serius. Akibatnya, akan selalu muncul korban jiwa sia-sia. Zero tolerance terhadap kekerasan harus menjadi fokus pengembangan kebijakan dalam pendidikan.
Korupsi dalam lembaga pendidikan jelas melukai keadilan publik. Uang anggaran negara yang semestinya dipergunakan sekolah untuk melayani dan menyediakan pendidikan bermutu hilang dicuri para koruptor.
Laporan ICW tentang korupsi pendidikan selama sepuluh tahun, yang jumlah kerugiannya tidak mencapai Rp 1 triliun bukanlah representasi dari gurita korupsi yang menghancurkan pendidikan kita.
Sekadar gambaran, Dinas Pendidikan DKI, setelah dalam delapan bulan mengevaluasi program pendidikan di DKI, akhirnya mengembalikan uang negara Rp 2,4 triliun karena berbagai program pendidikan yang ada dianggap tidak relevan. Bahkan setelah diselidiki, pada beberapa sekolah swasta di Jakarta indikasi korupsi itu sangat jelas terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Beberapa sekolah dipaksa mengembalikan uang ke negara yang besarnya ratusan juta sampai miliaran rupiah.
Dana pendidikan memang paling menarik bagi para koruptor untuk mencurinya karena di sana tersedia banyak sekali ruang bebas untuk menjarah anggaran negara. Tentu, hal seperti ini tak dilakukan sendirian, tetapi ada semacam sistem yang terstruktur dan sistematis, mulai dari proses seleksi kepala sekolah, pengawas, dan kepala dinas. Revolusi mental harus menghancurkan sistem pendidikan yang korup seperti ini.
Jelas bahwa tantangan pendidikan tidak mudah. Namun, ini semua tergantung dari Anies dalam menempatkan dirinya sendiri. Apakah ia akan lebih memilih sebagai politisi atau individu yang memiliki pilihan moral sekaligus menjadi representasi kekuatan perubahan dalam pendidikan.
Jika ia lebih memilih dirinya sebagai politisi, gebrakan pendidikan tidak akan terlahir dalam pemerintah Jokowi ini, dan ini berarti Jokowi telah salah memilih Mendikbud.
Namun, apabila pertimbangan Presiden Jokowi memilih Anies adalah karena Anies memiliki kredibilitas moral, dan dengan demikian, pilihan-pilihan morallah yang diharapkan keluar dari sosok Anies sebagai Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah, mestinya Anies tidak perlu ragu mengambil keputusan dan segera melakukan gebrakan pendidikan.
Doni Koesoema
Pemerhati Pendidikan

Anies Baswedan: Yang Harus Direvolusi Mental Pendidiknya, Bukan Anak-anak

JAKARTA, KOMPAS.com —Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah Anies Baswedan mengaku akan menurunkan konsep revolusi mental dalam dunia pendidikan di Indonesia. Namun, revolusi mental itu bukan difokuskan kepada anak-anak, melainkan para pendidik.
"Yang harus direvolusi mental adalah pendidiknya. Bukan anak yang menjadi fokus, melainkan gurunya. Saya melihat dalam konteks pendidikan, jangan lihat anak-anak kita sebagai botol yang harus diisi sehingga harus diisi materi sebanyak-banyaknya," kata Anies dalam wawancara dengan Kompas dan Kompas.com di Jakarta, Selasa (11/11/2014).
Mantan Rektor Universitas Paramadina itu juga menilai, proses belajar anak-anak tidak bisa disamakan dengan berlari sprint. Dia menganalogikan proses belajar mereka seperti berlari maraton yang stabil dan berkelanjutan.
"Jangan sampai anak jadi lelah dalam proses belajar dan merasa bersekolah itu sebagai sesuatu yang membebani, belajar untuk sesuatu yang tak menyenangkan. Belajar harus menyenangkan dan membahagiakan," kata penggagas gerakan Indonesia Mengajar itu.
Selain guru, Anies juga menilai perlunya jajaran birokrat di kementeriannya untuk mendapat pencerahan revolusi mental. Struktur birokrasi yang gemuk, kerja yang tidak efektif, serta program tanpa berorientasi hasil akan menjadi materi evaluasi yang akan dilakukan Anies di internal kementeriannya.
"Saya perhatikan, mereka melaporkan apa yang sudah dikerjakan. Hasilnya apa? Biasanya karena penyerapan, maka laporannya pun sebatas apa yang sudah dikerjakan. Saya berharap setelah ini orang akan berpikir dua kali atas apa yang dikerjakannya di kementerian," kata Anies.
Pembenahan cara pandang di kementerian, menurut Anies, adalah salah satu pekerjaan rumah yang cukup berat. Menurut dia, semua aparat di kementerian harus sadar akan tugasnya untuk membentuk masa depan bangsa Indonesia.