REPUBLIKA.CO.ID, Di masa jahiliah, perbudakan masih merajalela dan
menjadi tradisi bangsa Arab. Praktik memelihara dan jual-beli budak
menjadi pemandangan lumrah.
Dan, meskipun Islam perlahan menghapus budaya tersebut tetapi perbudakan berlangsung hingga beberapa dekade saat dinasti-dinasti berkuasa. Bagi budak itu sendiri, kebebasan adalah barang yang mahal.
Karenanya, bagi Tsaubiyyah al- Aslamiyyah yang diperbudak oleh Abu Lahab, paman Rasulullah, bebas adalah utopis belaka. Lepas dari jerat kekuasaan tuannya, barangkali hanya sebuah mimpi yang akan dibawa hingga mati.
Tetapi, Allah SWT berkehendak lain. Mimpi yang menurutnya mustahil terwujud, sebuah kebebasan, akhirnya bisa ia raih. Ia bahagia tiada terkira. Peristiwa itu, kembali pada kisah mengharu-biru terkait kelahiran bayi laki-laki yang dinanti-nantikan oleh Bani Hasyim dari suku Quraisy.
Kurang dari 50 hari menyusul upaya penyerangan Abrahah dengan pasukan gajahnya untuk merobohkan Ka’bah, lahir putra dari pasangan Abdullah dan Aminah.
Kehadiran anak laki-laki yang kelak diberinama Muhammad tersebut, seketika mengubah kesedihan yang menyelimuti segenap suku akibat wafatnya Abdullah dan menggeser kisah heroik Abdul Muthalib saat mengusir penguasa Habasyah tersebut dari Makkah.
Aminah bergegas memberitahukan kabar gembira itu kepada Abdul Muthalib. Berita itu sontak membuat sang kakek girang bukan main. Ia segera menengok cucunya itu, lalu menggendongnya.
Di kedua lengannya, sang cucu diajak bertawaf. Untuk meluapkan kegembiraannya, Abdul Muthalib lalu menyembelih kambing dan membagikan makanan untuk warga Makkah.
Kegembiraan yang sama juga dirasakan oleh Tsaubiyyah. Ia berlari untuk menghadap tuannya, Abu Lahab. Ekspresi sukacita tampak kentara dalam diri paman Rasulullah tersebut. Sampai-sampai, ia tak tahu lagi bagaimana harus berterima kasih dan membalas Tsaubiyyah.
Spontan, paman yang kelak menentang dakwah Rasulullah itu menghadiahkan kemerdekaan untuk Tsaubiyyah. Ia akhirnya merdeka. Kelahiran anak laki-laki yang dinanti itu menjadi berkah baginya. Ia pun mencintainya dengan sepenuh jiwanya.
Dan, meskipun Islam perlahan menghapus budaya tersebut tetapi perbudakan berlangsung hingga beberapa dekade saat dinasti-dinasti berkuasa. Bagi budak itu sendiri, kebebasan adalah barang yang mahal.
Karenanya, bagi Tsaubiyyah al- Aslamiyyah yang diperbudak oleh Abu Lahab, paman Rasulullah, bebas adalah utopis belaka. Lepas dari jerat kekuasaan tuannya, barangkali hanya sebuah mimpi yang akan dibawa hingga mati.
Tetapi, Allah SWT berkehendak lain. Mimpi yang menurutnya mustahil terwujud, sebuah kebebasan, akhirnya bisa ia raih. Ia bahagia tiada terkira. Peristiwa itu, kembali pada kisah mengharu-biru terkait kelahiran bayi laki-laki yang dinanti-nantikan oleh Bani Hasyim dari suku Quraisy.
Kurang dari 50 hari menyusul upaya penyerangan Abrahah dengan pasukan gajahnya untuk merobohkan Ka’bah, lahir putra dari pasangan Abdullah dan Aminah.
Kehadiran anak laki-laki yang kelak diberinama Muhammad tersebut, seketika mengubah kesedihan yang menyelimuti segenap suku akibat wafatnya Abdullah dan menggeser kisah heroik Abdul Muthalib saat mengusir penguasa Habasyah tersebut dari Makkah.
Aminah bergegas memberitahukan kabar gembira itu kepada Abdul Muthalib. Berita itu sontak membuat sang kakek girang bukan main. Ia segera menengok cucunya itu, lalu menggendongnya.
Di kedua lengannya, sang cucu diajak bertawaf. Untuk meluapkan kegembiraannya, Abdul Muthalib lalu menyembelih kambing dan membagikan makanan untuk warga Makkah.
Kegembiraan yang sama juga dirasakan oleh Tsaubiyyah. Ia berlari untuk menghadap tuannya, Abu Lahab. Ekspresi sukacita tampak kentara dalam diri paman Rasulullah tersebut. Sampai-sampai, ia tak tahu lagi bagaimana harus berterima kasih dan membalas Tsaubiyyah.
Spontan, paman yang kelak menentang dakwah Rasulullah itu menghadiahkan kemerdekaan untuk Tsaubiyyah. Ia akhirnya merdeka. Kelahiran anak laki-laki yang dinanti itu menjadi berkah baginya. Ia pun mencintainya dengan sepenuh jiwanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar