REPUBLIKA.CO.ID, Aisyah binti Abi Bakar adalah sosok Muslimah yang
cerdas. Ia banyak meriwayatkan hadis. Bahkan, ia dikenal kaya dengan
riwayat yang jarang ditemukan oleh perawi lainnya.
Periwayatannya itu lantas disebut dengan istidrakat Aisyah. Kepandaiannya di bidang agama itu ditularkan ke kalangan perempuan kala itu. Baik dari generasi sahabat atau tabiin.
Tak heran, ia memiliki banyak murid. Ada dua tokoh perempuan tabi’in yang menjadi muridnya. Keduanya ialah Hafshah binti Sirin dan Amrah binti Abdurrahman bin Sa’ad bin Zurarah Ibnu Hibban.
Nama terakhir, disebut-sebut sebagai ‘duplikat’ Aisyah soal keilmuan. Ini lantaran Aisyah banyak membagi pengetahuan kepadanya.
Makanya, Ibnu Hibban menyebut Amrah adalah pakar hadis-hadis Aisyah. Sebutan ini pun ditegaskan oleh Umar bin Abd Al-Aziz. Ia menegaskan, Amrah merupakan sosok yang paling memahami seluk-beluk hadis Aisyah.
Beruntung Amrah yang lahir pada 21 H dikaruniai kecerdasan yang cemerlang, daya ingat yang kuat, dan wawasan luas. Karunia Allah itu ia manfaatkan untuk menggali ilmu-ilmu Islam dari sumbernya langsung. Yakni dengan cara rajin mendatangi kediaman sang guru, Aisyah istri Nabi Muhammad SAW. Ia mengisi hari-harinya belajar kepada Aisyah.
Tak hanya piawai meriwayatkan hadis Aisyah, tabi’iyat (sebutan untuk tabiin perempuan) ini juga memiliki sanad-sanad hadis dari Ummu Salamah, Rafi Ibn Khudaij, serta Ummu Hisyam binti Haritsah.
Ia tak pelit ilmu. Ia berbagi dan mengajarkan ilmunya itu kepada para murid. Di antara deretan nama muridnya ialah Abu Rijal Muhammad bin Abdurrahman, yang tak lain ialah putranya sendiri.
Periwayatannya itu lantas disebut dengan istidrakat Aisyah. Kepandaiannya di bidang agama itu ditularkan ke kalangan perempuan kala itu. Baik dari generasi sahabat atau tabiin.
Tak heran, ia memiliki banyak murid. Ada dua tokoh perempuan tabi’in yang menjadi muridnya. Keduanya ialah Hafshah binti Sirin dan Amrah binti Abdurrahman bin Sa’ad bin Zurarah Ibnu Hibban.
Nama terakhir, disebut-sebut sebagai ‘duplikat’ Aisyah soal keilmuan. Ini lantaran Aisyah banyak membagi pengetahuan kepadanya.
Makanya, Ibnu Hibban menyebut Amrah adalah pakar hadis-hadis Aisyah. Sebutan ini pun ditegaskan oleh Umar bin Abd Al-Aziz. Ia menegaskan, Amrah merupakan sosok yang paling memahami seluk-beluk hadis Aisyah.
Beruntung Amrah yang lahir pada 21 H dikaruniai kecerdasan yang cemerlang, daya ingat yang kuat, dan wawasan luas. Karunia Allah itu ia manfaatkan untuk menggali ilmu-ilmu Islam dari sumbernya langsung. Yakni dengan cara rajin mendatangi kediaman sang guru, Aisyah istri Nabi Muhammad SAW. Ia mengisi hari-harinya belajar kepada Aisyah.
Tak hanya piawai meriwayatkan hadis Aisyah, tabi’iyat (sebutan untuk tabiin perempuan) ini juga memiliki sanad-sanad hadis dari Ummu Salamah, Rafi Ibn Khudaij, serta Ummu Hisyam binti Haritsah.
Ia tak pelit ilmu. Ia berbagi dan mengajarkan ilmunya itu kepada para murid. Di antara deretan nama muridnya ialah Abu Rijal Muhammad bin Abdurrahman, yang tak lain ialah putranya sendiri.
Ada juga kemenakannya, Haritsah dan Malik, serta Al-Qadhi Abu Bakar bin
Hazim beserta kedua putranya, Abdullah dan Muhammad. Dari kalangan
pemuda muncul nama Ibnu Syihab Az-Zuhri.
Keputusan berguru kepada Amrah itu keluar, setelah Ibnu Syihab mendapat nasihat dari Al-Qasim bin Muhammad. “Jika ingin mendapatkan bejana ilmu, Amrah tempatnya. Hendaknya kamu mengambil ilmu dari Amrah, karena dia dulu berada dalam bimbingan Aisyah.”
Kodifikasi hadis
Masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz pada awal abad kedua Hijriah, satu per satu ahli hadis meninggal dunia.
Di sisi lain, meluasnya kekuasaan Islam membuat para penghafal hadis terpencar di berbagai wilayah. Kondisi ini berdampak pada rentannya pemalsuan hadis. Agar tidak kian parah, sang khalifah mengusulkan kodifikasi hadis segera.
Tugas mulia itu disampaikan Khalifah kepada Gubernur Madinah Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm yang pernah menjadi murid Amrah. Oleh karenanya, ketika misi ini dijalankan Gubernur Madinah mengundang dua ulama besar Madinah yang dikenal sebagai penghafal hadis.
Mereka adalah Amrah binti Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar As-Siddiq. Ensiklopedi Islam menyebutkan, kedua ulama besar ini paling banyak menerima hadis dan paling dipercaya dalam meriwayatkan hadis dari Aisyah binti Abu Bakar.
Selain itu di Madinah, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan Muhammad bin Syihab Az-Zuhri menghimpun hadis yang dikuasai oleh para ulama di Hijaz dan Suriah. Mereka fokus mengumpulkan hadis-hadis dari para penghafal hadis ataupun yang tertulis di berbagai media, lalu membukukannya.
Keputusan berguru kepada Amrah itu keluar, setelah Ibnu Syihab mendapat nasihat dari Al-Qasim bin Muhammad. “Jika ingin mendapatkan bejana ilmu, Amrah tempatnya. Hendaknya kamu mengambil ilmu dari Amrah, karena dia dulu berada dalam bimbingan Aisyah.”
Kodifikasi hadis
Masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz pada awal abad kedua Hijriah, satu per satu ahli hadis meninggal dunia.
Di sisi lain, meluasnya kekuasaan Islam membuat para penghafal hadis terpencar di berbagai wilayah. Kondisi ini berdampak pada rentannya pemalsuan hadis. Agar tidak kian parah, sang khalifah mengusulkan kodifikasi hadis segera.
Tugas mulia itu disampaikan Khalifah kepada Gubernur Madinah Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm yang pernah menjadi murid Amrah. Oleh karenanya, ketika misi ini dijalankan Gubernur Madinah mengundang dua ulama besar Madinah yang dikenal sebagai penghafal hadis.
Mereka adalah Amrah binti Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar As-Siddiq. Ensiklopedi Islam menyebutkan, kedua ulama besar ini paling banyak menerima hadis dan paling dipercaya dalam meriwayatkan hadis dari Aisyah binti Abu Bakar.
Selain itu di Madinah, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan Muhammad bin Syihab Az-Zuhri menghimpun hadis yang dikuasai oleh para ulama di Hijaz dan Suriah. Mereka fokus mengumpulkan hadis-hadis dari para penghafal hadis ataupun yang tertulis di berbagai media, lalu membukukannya.
Fikih perempuanSebagai ahli fikih, banyak hadis
yang diriwayatkan Amrah dari Aisyah, terutama berkenaan dengan
perempuan. Seperti hadis tentang pelaksanaan thawaf ifadhah bagi
perempuan yang sedang haid.
Diriwayatkan dari Amrah binti Abdurrahman dari Aisyah Ummul Mukminin berkata, “Wahai Rasulullah, Shafiyyah binti Huyyai telah haid.”
Rasulullah bersabda, “Dia bisa menjadi penghalang kami, tapi bukankah dia telah melaksanakan thawaf di Ka’bah bersama kalian?”
Mereka menjawab, “Iya.”
Rasulullah SAW bersabda, “Berangkatlah kalian!”
Hadis lainnya diriwayatkan Amrah bin Abdurrahman ketika perjalanan haji Aisyah bersama jamaah perempuan yang merasa takut keluar haid.
“Maka ia mendahulukan mereka pada Hari Nahr, hingga bisa melakukan thawaf ifadah. Jika setelah itu mereka mengalami haid, maka ia tidak menunggu hingga suci, tapi langsung melakukan thawaf ifadah, sementara mereka dalam keadaan haid. Demikian jika mereka telah melakukan thawaf ifadah sebelumnya.”
Hukum menjalankan shalat di masjid bagi perempuan diriwayatkan pula oleh Amrah dari Aisyah. “Seandainya Rasulullah SAW melihat apa yang dilakukan para perempuan, nicaya beliau akan melarang mereka untuk mendatangi masjid sebagaimana para perempuan Bani Israil yang juga dilarang.”
Yahya bin Sa’id berkata, “Aku bertanya kepada Amrah, apakah para perempuan Bani Israil dilarang mendatangi masjid?”
Dia menjawab, “Iya.”
Masih banyak hadis lain yang diriwayatkan Amrah binti Abdurrahman. Sejarah Islam mencatat namanya sebagai perempuan pertama yang telah membukukan ilmu yang dikuasainya.
Semasa hidupnya, Amrah menghabiskan waktu untuk beribadah dan mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Ia wafat pada tahun 98 Hijriah dalam usia 77 tahun di Madinah.
Diriwayatkan dari Amrah binti Abdurrahman dari Aisyah Ummul Mukminin berkata, “Wahai Rasulullah, Shafiyyah binti Huyyai telah haid.”
Rasulullah bersabda, “Dia bisa menjadi penghalang kami, tapi bukankah dia telah melaksanakan thawaf di Ka’bah bersama kalian?”
Mereka menjawab, “Iya.”
Rasulullah SAW bersabda, “Berangkatlah kalian!”
Hadis lainnya diriwayatkan Amrah bin Abdurrahman ketika perjalanan haji Aisyah bersama jamaah perempuan yang merasa takut keluar haid.
“Maka ia mendahulukan mereka pada Hari Nahr, hingga bisa melakukan thawaf ifadah. Jika setelah itu mereka mengalami haid, maka ia tidak menunggu hingga suci, tapi langsung melakukan thawaf ifadah, sementara mereka dalam keadaan haid. Demikian jika mereka telah melakukan thawaf ifadah sebelumnya.”
Hukum menjalankan shalat di masjid bagi perempuan diriwayatkan pula oleh Amrah dari Aisyah. “Seandainya Rasulullah SAW melihat apa yang dilakukan para perempuan, nicaya beliau akan melarang mereka untuk mendatangi masjid sebagaimana para perempuan Bani Israil yang juga dilarang.”
Yahya bin Sa’id berkata, “Aku bertanya kepada Amrah, apakah para perempuan Bani Israil dilarang mendatangi masjid?”
Dia menjawab, “Iya.”
Masih banyak hadis lain yang diriwayatkan Amrah binti Abdurrahman. Sejarah Islam mencatat namanya sebagai perempuan pertama yang telah membukukan ilmu yang dikuasainya.
Semasa hidupnya, Amrah menghabiskan waktu untuk beribadah dan mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Ia wafat pada tahun 98 Hijriah dalam usia 77 tahun di Madinah.